Bagaimana Nabi Menafsirkan Al-Qur’an?

 Bagaimana Nabi Menafsirkan Al-Qur’an?

Selayang Pandang Ibnu Arabi (Ilutstrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Dahulu kala, perbedaan pendapat dalam memahami Islam pada saat Nabi saw masih hidup tidak begitu kentara dan tidak sedahsyat saat ini yang teramat menganga.

Bahkan dari perbedaan pandangan yang lahir, tidak sedikit yang saling tuding kafir karena dianggap menyimpang dari arus kebenaran menurut versi golongannya, berebut otoritas kebenaran dan merasa paling berhak dan paling benar.

Perbedaan pendapat yang lahir itu, tiada lain karena dipengaruhi oleh ayat-ayat mutasyabihat (samar-samar) yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Sehingga muncullah ragam perbedaan penafsiran dalam memahami teks yang sama, dan terkadang ditemukan kecenderungan yang amat berbeda satu sama lainnya.

Berbicara mengenai penafsiran, awal mula munculnya tafsir Al-Qur’an adalah sejak Al-Qur’an itu turun, yakni terjadi saat era Nabi Muhammad saw.

Sejak saat itu pula lah beliau melakukan praktik dan proses penafsiran untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada para sahabat.

Tak ayal bila Nabi saw disebut sebagai the first interpreter of the Qur’an, yakni orang pertama yang menafsirkan Al-Qur’an dan dianggap paling otoritatif untuk menjelaskan Al-Qur’an pada umatnya.

Tidak satu pun para sahabat yang berani menafsirkan Al-Qur’an saat beliau masih hidup. Jika terdapat sesuatu yang tidak dipahami maka langsung ditanyakan kepada Nabi sebagai pemilik otoritas penafsiran.

Hal ini dapat dipahami karena tugas menjelaskan Al-Qur’an ada padanya dan memperoleh jaminan dari Tuhan langsung, lihat dalam Q.S. Al-Qiyamah ayat 17-19 dan Q.S. An-Nahl ayat 44 dan 64.

Lalu bagaimana Nabi saw menafsirkan Al-Qur’an?

Menurut Prof. Abdul Mustaqim dalam bukunya Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Modern-Kontemporer menyebutkan bahwa penafsiran Nabi saw dapat berupa penafsiran verbal (sunnah qauliyyah), atau tafsir aktual (sunnah fi’liyah).

Serta juga terdapat tafsir yang berupa keputusan Nabi saw (sunnah taqririyyah), yakni suatu bentuk pembiaran atas praktik sahabat saat melakukan sesuatu, baik berupa larangan, maupun perintah, teguran, bahkan diamnya juga.

Berikut ini saya sadur dari tulisan prof. Abdul Mustaqim (lihat, pada halaman 48-52):

Pertama, Bayan al-Ta’rif, penafsiran model ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan term atau istilah yang disebutkan dalam Al-Qur’an.

Hal ini tampak bagaimana Nabi menafsirkan surah al-Kautsar ayat 1, lalu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata al-Kautsar sebagai sungai  di surga yang kedua tepinya dilapisi dengan mutiara.

Keterangan ini terekam dalam Shahih al-Bukhari juz XV hlm 343 dalam Maktabah Syamilah.

Kedua, Bayan Tafshili, penafsiran jenis ini dapat dipahami sebagai penelasan yang bersifat rincian mengenai konsep-konsep yang terkandung dalam suatu lafaz.

Sebagai contoh Nabi saw menafsirkan kata ‘mushibah’ dalam surah al-Syura ayat 30 dengan memperinci pengertiannya dengan kalimat lain berupa “’uqubah” (siksa), “al-maradh” sakit atau penyakit, “al-nakbah” bencana, “al-bala’” cobaan di dunia ini.

Pendasaran tersebut dapat dilacak dalam karya Ibn Katsir yang bertajuk Tafsir  al-Quran al-‘Adzhim (lihat, juz VII, hlm 189) dan Sunan al-Tirmidzi (Juz XI, hlm, 49 dan juz X, hlm, 229)

Ketiga, Bayan Tausi’, model penafsiran ini merupakan penjelasan yang sifatnya memperluas pengertian yang terkandung dalam suatu term atau istilah.

Semisal seperti kata al-du’a yang awalnya ditafsirkan dengan berdoa dengan permohonan, kemudian ditafsirkan lebih luas dengan makna ibadah.

Misalnya dalam Surah al-Mukmin/Ghafir ayat 60 yang terdapat kata ud’uni ditafsirkan dengan beribadahlah kalian, hal ini dapat dilihat dalam Sunan al-Tirmidzi (Juz X, hlm, 229).

Keempat, Bayan Tamtsili, jenis penafsiran ini merupakan penjelasan yang sifatnya dalam konteks memberi contoh (‘ala sabil al-mitsal) sesuai dengan realitas kontekstual pada masa itu.

Hal ini sebagaimana tampak dalam Surah al-Anfal ayat 60. Dalam ayat tersebut ada kata “quwwah” yang ditafsirkan Nabi saw dengan kata “al-ramyu” yang memiliki arti memanah.

Keterangan ini pun juga termuat dalam Sunan al-Tirmidzi (Juz X, hlm. 348).

Salah satu bentuk kelebihan tafsir Nabi yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir setelahnya adalah selalu dibimbing wahyu, khususnya yang terkait dengan masalah syariat atau ibadah dan hal-hal gaib.

Meskipun dalam hal mu’amalah, seperti kebijakan politik dan strategi peran, maka Nabi juga berijtihad.

Sekaliun terdapat kekeliruan, maka wahyu akan segera turun sebagai bentuk teguran. Hal ini yang kemudian disebut dengan ma’shum, terpelihara dari kesalahan dan dosa.

Pasalnya, apakah Nabi saw telah menafsirkan semua ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an?

Paling tidak ulama berbeda pendapat dalam hal ini, pertama, golongan yang beranggapan bahwa Nabi telah menafsirkan kesemuanya.

Hal ini didasarkan pada Q.S. Al-Nahl ayat 44 yang memang merupakan tugas Nabi untuk menafsirkan Al-Qur’an.

Sehingga menurut barisan ini, rasa-rasanya mustahil bila Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman umat Islam tidak dijelaskan secara tuntas.

Kedua, golongan yang berpandangan sebaliknya, yang beranggapan bahwa tidak semua ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan Nabi saw, dengan kata lain beliau hanya menafsirkan ayat-ayat yang dirasa sulit dipahami.

Hal ini dibuktikan bahwa tidak banyak hadis-hadis yang memuat penafsiran beliau terhadap Al-Qur’an secara menyeluruh.

Jika saja Nabi saw telah menafsirkan semua ayat-ayat Al-Qur’an, konsekuensi logisnya adalah tidak akan terjadi perbedaan pendapat antar sahabat dalam hal menafsirkan.

Namun faktanya, tidak sedikit dari mereka yang berselisih pendapat, hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa tidak semua tafsir berasal dari Nabi. Kurang lebih begitu.

Wallahu a’lam bi al-shawab. []

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *