Rahasia Sukses Para Ulama dalam Bermasyarakat

 Rahasia Sukses Para Ulama dalam Bermasyarakat

Rahasia Sukses Para Ulama dalam Bermasyarakat (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Berikut ini sedikit ulasan mengenai rahasia sukses para ulama dalam bermasyarakat. Manusia pada hakikatnya memiliki sifat emosional yang sama, yakni mereka akan senang dengan orang yang berlaku baik padanya dan akan benci dengan seorang yang berlaku buruk padanya.

Hal ini pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Ahmad al-Hasyimi dalam kitab Mukhtarul Ahadits al-Nabawiyah.

جُبِلَتْ الْقُلُبْ عَلَى حُبِّ مَنْ أَحْسَنَ اِلَيْهَا وَبُغْضِ مَنْ أَسَاءَ اِلَيْهَا

Artinya:

”Hati manusia tercipta dengan tabiat menyukai orang yang berbuat baik padanya dan benci terhadap orang yang berbuat buruk padanya.”

Dengan dasar hadis diatas, maka kita akan tahu bahwa setiap tindak tanduk kita akan dinilai baik oleh orang lain jika kita berbuat baik padanya, jika sebaliknya maka kita akan dinilai buruk oleh orang lain.

Setiap manusia memiliki cara pandang masing-masing dalam menilai tingkah laku seseorang. Kaum sufi atau ahli tasawuf menilai semua apa yang terjadi padanya adalah ketetapan Allah Swt.

Oleh karena itu ia akan menilai bahwa hal itu adalah bentuk dari kasih sayang Allah padanya.  Dengan demikian para ahli tasawuf tidak memiliki penilaian buruk terhadap tingkah laku orang lain.

Cara pandang tersebut akan berbeda lagi jika dihadapkan pada seseorang yang memiliki kedudukan yang berbeda pula. Sebagai contoh seorang penguasa. Ia akan menilai baik dan buruknya tingkah laku seseorang menggunakan kaca mata penguasa.

Tingkah laku yang dinilai baik oleh orang lain jika tidak sama dengan apa yang ia tetapkan, maka akan tetap bernilai buruk dihadapannya.

Perbedaan cara pandang tersebutlah yang menuntut kita untuk saling memahami, agar tercipta suasana bermasyarakat yang ideal sesuai dengan hukum syariat dan juga hukum adat.

Para ulama terdahulu sudah mengajarkan bagaimana cara kita bermasyarakat dan bergaul terhadap orang lain.

Lantas bagaimana rahasia sukses para ulama dalam bermasyarakat? Salah seorang sahabat Nabi yang bernama Ahnaf bin Qais memberikan pesan kepada kita tentang bagaimana cara berbaur di dalam masyarakat.

فَمَا النَّاسُ اِلَّا وَاحِدٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ ۝ شَرِيْفٌ وَمَشْرُوْفٌ وَمِثْلُ مَقَاوِمُ

فَأَمَّا الَّذِيْ فَوْقِيْ فَأَعْرِفُ قَدْرَهُ ۝ وَأَتْبَعُ فِيْهِ الْحَقَّ وَالْحَقَّ لَازِمُ

وَأَمَّا الَّذِيْ مِثْلِيْ فَاِنْ زَلَّ أَوْهَفَا ۝ تَفَضَّلْت اِنَّ الْفَضْلَ بِالْفَخْرِ حَاكَمُ

وَأَمَّا الَّذِيْ دُوْنَيْ فَأَحْلُمُ دَائِبَا ۝ أَصُوْنُ بِهِ عَرْضِيْ وَاِنْ لَامَ لَائِمُ

Artinya:

”manusia pasti masuk kedalam tiga tingkatan, orang yang lebih mulia, orang yang dibawahnya, dan orang yang derajatnya sama.

Dengan orang diatasku ku fahami derajatnya dan ku penuhi hak-haknya, karena memenuhi haknya adalah lazim.

Dengan orang yang sepadan denganku ketika ia berbuat salah, maka akan ku maafkan kesalahannya.

Sedang dengan orang yang dibawahku aku dengan tekun bermurah hati padanya, aku akan menjaga harga diriku meskipun ada yang mencercanya”

Dalam syair diatas sahabat Ahnaf bin Qais mengajari kita untuk mengerti terlebih dahulu dengan siapa kita berhadapan. Apakah dengan seseorang yang derajatnya di atas kita, sepadan dengan kita atau dengan orang yang derajatnya dibawah kita. Setelah mengetahui derajat-detajat tersebut barulah kita akan mudah dalam menentukan sikap.

Pertama, seorang yang derajatnya di atas kita. Ketika kita berbaur dengan orang yag lebih tinggi dari kita, seperti orang yang tinggi ilmunya, pangkatnya, ibadahnya, keturunannya dan lain-lain.

Sikap yang tepat terhadap orang yang lebih tinggi derajatnya dengan kita adalah dengan malakuhkan tindakan yang menggambarkan tentang pengakuan terhadap kelebihan dan keunggulannya.

Contoh sederhananya adalah jika kita masyarakat awam pasti memiliki orang yang lebih tinggi dari kita yakni pemerintah dan para ulama. Maka kita harus menentukan sikap yang tepat terhadapnya agar tidak menyinggung perasaan mereka.

Terlebih jika kita berhadapan dengan ulama, karena ulama dalam agama diberi hak untuk di hormati. Maka sudah sepatutnya jika kita berhadapan dengan para ulama, maka kita harus memosisikan diri kita dibawahnya dan merendahkan diri dihadapannya.

Kedua, seorang yang derajatnya sepadan dengan kita. Ketika kita berbaur dengan orang derajatnya sepadan, kita sering sekali melakuhkan kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja.

Hal ini berbeda ketika kita berkumpul dengan orang yang derajatnya lebih tinggi, maka kita akan lebih berhati-hati dalam bertindak atau jika kita berkumpul dengan orang yang derjatanya dibawah kita, maka kita akan menutup-nutupi apa yang sekiranya tidak perlu kita tampilkan.

Oleh karenanya jika kita berbaur dengan orang yang derajatnya sepadan, maka hal yang harus kita lakuhkan adalah, saling memahami, saling menghormati dan saling memaafkan.

Ketiga, seorang yang derajatnya di bawah kita. Kita juga perlu menentukan sikap ketika kita berbaur dengan orang yang derajatnya berada di bawah kita.

Karena ketika seorang yang lebih tinggi melakuhkan sesuatu yang mencerminkan perilaku buruk, maka hal ini akan dapat dengan mudah merusah moral masyarakat.

Oleh karena itu sikap yang tepat ketika kita berbaur dengan orang yang derajatnya berada di bawah kita adalah dengan melakukan sesuatu yang dapat menjaga wibawa kita.

Seperti tidak meludah sembarangan, tidak berteriak-teriak, tidak tertawa keras dan tidak bergurau secara berlebihan.

Sebagai penutup dari pembahasan diatas, kiranya perlu ditekankan bahwa jika kita ingin menciptakan suasana bermasyarakat yang ideal, maka kita harus melakuhkan langkah-langkah di atas, yakni tentang rahasia sukses para ulama dalam bermasyarakat. Jika itu terwujud insyaallah hidup kita akan penuh dengan keberkahan.

Fuad Efandi

Pengajar di Pon-Pes Al-Ishlah Mataram Baru dan belajar di STAI Darussalam Lampung. Dapat disapa melalui Facebook Kang Efandi.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *