Perlukah Ustaz Mengikuti Kompetensi Bahasa Arab?

 Perlukah Ustaz Mengikuti Kompetensi Bahasa Arab?

Perbedaan Dakwah Bertahap dan Dakwah Merusak (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Ada seorang ustaz salah dalam membaca kitab. Lalu dikoreksi dan dikritik oleh ustaz yang lain.

Tiba-tiba datang ustaz ketiga lalu membela ustaz pertama, sambil berkata, “Apakah ustaz tak boleh salah? Itu hal biasa saja. Jangan hanya lihat kesalahannya dalam membaca kitab saja, lihat juga sisi-sisi positif dan kebaikannya yang lain.”

Ilustrasi di atas tidak berangkat dari khayalan belaka. Ini memang terjadi. Hanya saja sengaja dideskripsikan secara simpel dan tidak menyebut pihak-pihak yang terlibat.

Pembelaan dari ustaz yang terakhir terhadap ustaz pertama yang salah dalam membaca kitab bisa saja dimaklumi. Sedangkan ustaz kedua mengkritik ustaz pertama secara berlebihan, tidak memperhatikan etika dan tata-krama, atau bahkan sampai menjelek-jelekkan pribadi ustaz yang dikritiknya.

Tapi jika ustaz kedua mengkritik dengan sopan dan tetap menjaga harga diri ustaz yang dikritiknya, maka ustaz ketiga sesungguhnya tidak mengerti duduk permasalahan dan tujuan dari kritik yang disampaikan. Ia hanya mengandalkan ‘athifiyyah (emosional) atau ‘rasa setiakawan se-fikrah’ semata.

☆☆☆

Kritikan terhadap bacaan kitab perlu disampaikan untuk menyadarkan diri sang ustaz (yang dikritik) bahwa ia perlu belajar lagi. Ia mesti menyadari bahwa dengan kesalahan baca tersebut (apalagi yang bersifat jaliyy).

Ia belum sepatutnya memberikan fatwa atau melakukan istinbath hukum. Ia tidak akan kehilangan sebutan ‘ustaz’ nya dengan kesalahan itu, tapi ia belum layak untuk masuk ke ranah yang seharusnya belum dimasukinya. Ia bisa memainkan peran sebagai ustaz dalam konteks memberikan tadzkirah, tausiyah dan yang semisalnya.

Bagaimana kita akan yakin dengan kesimpulan hukum dari seorang ustaz yang belum mengerti apa itu fa’il, naib al-fa’il, maf’ul bih dan sebagainya? Bagaimana mungkin kita bisa menerima begitu saja penukilan fatwa yang dilakukan seorang ustaz kalau membaca isim yang majrur saja ia masih salah?

Bagaimana bisa kita hanya diam saja ketika ada ustaz yang berapi-api mengatakan ini halal dan ini haram, tapi ketika ia membaca :

أستغفر الله العظيم

Ia baca dengan kasrah pada huruf haˋ di lafaz jalalah, ia baca : astaghfirullahil ‘azim?

☆☆☆

Kompetensi bahasa sesungguhnya tidak hanya mutlak dimiliki oleh para ulama yang mau tak mau mesti berinteraksi dengan nash Arab. Para penguasa (khalifah) pun mesti memiliki kemampuan bahasa yang mumpuni. Apalagi dulu yang menjadi khatib Jumat adalah khalifah sendiri. Maka wajar kalau salah seorang khalifah berucap:

شيبني اعتلاء المنابر

“Saya dibuat beruban gara-gara harus naik mimbar.”

☆☆☆

Suatu ketika Abdul Malik bin Marwan, khalifah terkenal Bani Umayyah, berkhutbah di hari Jumat. Salah seorang jamaah yang datang adalah seorang Arab dari kampung (badui) yang keaslian bahasanya masih terjaga.

Tiba-tiba sang khalifah salah membaca satu kalimat, yang seharusnya marfu’ ia baca kasrah. Sensitifitas bahasa Arab badui ini terganggu. Ia langsung menangkap kesalahan itu.

Baginya kesalahan ini sangat fatal dari seorang khalifah. Tetapi karena khotbah sedang berlangsung ia menahan diri. Tapi mukanya sudah memerah menahan emosi.

Malangnya, sang khalifah salah lagi untuk kedua kalinya. Arab badui ini spontan berteriak:

أوه

Tapi ia masih berusaha menahan diri.

Untuk kali ketiga sang khalifah melakukan kesalahan kembali. Di sini kesabaran Arab badui sudah habis. Ia berdiri dan berkata:

أشهد أنك وليت هذا الأمر بقدر

“Saya yakin engkau mendapatkan posisi ini (sebagai khalifah) karena kebetulan saja…”

☆☆☆

Ini berbanding terbalik dengan para khulafa rasyidin. Mereka bukan hanya orang-orang yang sangat memahami Alquran dan Sunnah. Tetapi juga orang yang sangat mendalami bahasa Arab, balaghahnya, uslubnya, syair-syairnya dan sebagainya.

Suatu ketika Imam Ali bin Abi Thalib ra menerima laporan yang tidak baik tentang salah seorang gubernurnya. Ali kemudian meminta seorang pembantunya untuk menyampaikan pesannya pada sang gubernur. Pesan tersebut berupa sebait syair yang tegas, keras sekaligus menakjubkan. Baitnya:

غرك عزك فصار قصار ذلك ذلك     فاخش فاحش فعلك فعلك تهدى بهذى

Secara bebas bait ini bisa diartikan dengan :

Jabatanmu telah menipumu

Ujung-ujungnya kehinaanmu

Takutlah dampak buruk perbuatanmu

Semoga dengan ini ditunjuki dirimu

Yang unik, bait ini ketika dibuang titik-titiknya (perlu diingat bahwa di masa itu belum ada titik dalam bahasa Arab), terlihat dua-dua katanya sama bentuknya, seperti ini :

عرك عرك فصار فصار دلك دلك   فاحس فاحس فعلك فعلك ىهدى ىهدى

#هيا نتعلم العربية نطقا وكتابة وقراءة وفهما

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *