Ketika Seorang ‘Buya’ Mempertanyakan Eksistensi Abu Hurairah
HIDAYATUNA.COM – Sebuah dialog yang membawa tema “Dialog Kebangsaan” dengan narasumber dua orang kiai. Pertama, kiai yang biasa dipanggil Buya (selanjutnya, Buya S), dan yang kedua kiai yang biasa dipanggil Gus (sebut, GM).
Mengejutkannya lagi, khususnya bagi saya pribadi, adalah pernyataan Buya S di menit ke 23 : “Abu Hurairah ini, apa orangnya ada, apa lembaga (lembaga produsen hadis)?”
Ia mempertanyakan eksistensi Abu Hurairah karena hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sangat banyak. Bahkan ada hadis yang menurut Buya S adalah privasi Nabi yang tidak boleh dibicarakan.
Tidak hanya itu. Ia juga menilai bahwa Sirah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq sifatnya ‘by order’ (pesanan) untuk mencari legalitas historis bagi Daulah Abbasiyah.
***
Sesungguhnya syubuhat (kerancuan pemikiran) seputar sosok Abu Hurairah ra sudah lama dilontarkan. Terutama oleh para orientalis, baik orientalis Barat (terutama yang berkebangsaan Yahudi) seperti Goldziher, maupun orientalis Arab yang mengekor pada orientalis Barat seperti Abu Rayyah.
Tapi yang sangat menyedihkan (وشر البلية ما يضحك), Buya S selangkah lebih ‘maju’ dari para orientalis itu. Kalau para orientalis, bahkan yang paling ‘sangar’ sekalipun seperti Goldziher, ‘hanya’ meragukan kredibilitas hadis-hadis yang diriwayatkan oleh dan dari Abu Hurairah, atau berbagai kontradiksi yang terdapat dalam berbagai riwayatnya, Buya S lebih ‘hebat’ lagi.
Ia malah meragukan eksistensi Abu Hurairah. Ia mempertanyakan apakah sosok Abu Hurairah ini pernah ada dalam sejarah, atau jangan-jangan nama ‘Abu Hurairah’ hanyalah sebuah brand sebuah lembaga yang fungsinya memproduk hadis. La haula wala quwwata illa billah.
***
Ketika saya dikirimkan potongan video dialog tersebut oleh seorang tokoh pendidikan Sumatera Barat, saya sangat kaget dan hampir tak percaya. Apakah mungkin pernyataan seperti ini keluar dari seorang yang sudah dipanggil ‘Buya’?
Saya kemudian mengecek video itu di YouTube. Ternyata benar. Video itu di-upload setahun yang lalu. Saya berharap Buya S sudah rujuk dari pernyataan itu karena mempertanyakan eksistensi seorang sahabat seperti Abu Hurairah, sama artinya membantah sesuatu yang mutawatir.
Ketika seorang alim, atau orang yang dianggap alim keliru (zallah), apalagi tersesat, maka yang akan tersesat bukan hanya dirinya sendiri melainkan umat yang mendengarkannya.
Suatu ketika Tamim ad-Dari meminta izin pada Umar bin Khattab untuk menyampaikan ceramah. Umar mengizinkan. Dalam ceramah itu, Tamim berkata :
اتَّقُوْا زَلَّةَ الْعَالِمِ
“Waspadalah tergelincirnya seorang alim.”
Mendengar itu Umar berkata pada Ibnu Abbas yang juga hadir di sana, “Kalau ia sudah selesai, tanyakan padanya apa yang ia maksud dengan ‘tergelincirnya seorang alim’?”
***
Selesai Tamim berceramah, Ibnu Abbas menanyakan apa yang diminta oleh Umar tadi. Tamim berkata:
الْعَالِمُ يَزِلُّ بِالنَّاسِ فَيُؤْخَذُ بِهِ، فَعَسَى أَنْ يَتُوبَ مِنْهُ الْعَالِمُ وَالنَّاسُ يَأْخُذُونَ بِهِ
“Seorang alim ketika tergelincir maka ia juga akan menggelincirkan manusia lain, dan itu akan diambil (jadi pijakan). Boleh jadi alim itu bertaubat dan rujuk, namun orang-orang sudah terlanjur mengambil hal yang salah itu darinya.”
Meski demikian, kita tetap berharap ia rujuk dari pernyataan tersebut dan menyampaikannya secara terbuka di berbagai media.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan al-Baihaqi, dan dinilai sebagai hadis yang sangat lemah oleh para ulama hadis, bahkan diantara rawinya ada yang dicap sebagai pembohong, disebutkan :
اتَّقُوْا زَلَّةَ الْعَالِمِ وَانْتَظِرُوْا فَيْئَتَهُ
“Waspadalah tergelincirnya seorang alim dan tunggulah ia rujuk.”
Secara sanad hadisnya memang sangat lemah, atau bahkan palsu. Tapi secara makna (substansi) hadis ini masih menyisakan harapan bahwa seorang alim yang keliru dan tergelincir akan rujuk dari kesalahannya.
Apalagi kekeliruan yang sangat fatal seperti yang dilakukan Buya S dengan meragukan eksistensi seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadis. Kalau sosoknya saja diragukan apalagi hadis-hadis yang datang dari jalurnya.
Kalau sahabat se-populer Abu Hurairah ra saja diragukan apalagi sahabat-sahabat lain yang tidak se-populer dirinya. Ketika sahabat sebagai pembawa (naqalah) ajaran Islam diragukan, ini bisa menjadi batu loncatan untuk meragukan Islam itu sendiri. Semoga itu tidak terjadi.
اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك وطاعتك