Perbedaan Syari’at Nabi Muhammad dengan Para Nabi Terdahulu

 Perbedaan Syari’at Nabi Muhammad dengan Para Nabi Terdahulu

I’tikaf Sebagai Seni Meditasi dalam Islam (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Pada dasarnya, agama para nabi dan para rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad adalah sama, yaitu Islam. Asasnya pun sama. Hanya saja syari’at antara satu nabi dengan nabi yang lain berbeda.

Syari’at Nabi Nuh misalnya tidak sama dengan syari’at Nabi Musa dalam sebagian hal. Syari’at Nabi Muhammad berbeda dengan syari’at Nabi Musa dan Isa dalam beberapa hal, dan begitu seterusnya.

Allah Swt. berfirman:

لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (QS. al-Maidah:48)

Kedudukan Syar’u Man Qablana sebagai Hujjah  

Ulama’ berbeda pendapat tentang kedudukan syar’u man qablana (syari’at nabi-nabi terdahulu) terhadap syari’at Nabi Muhammad. Menurut mayoritas ulama’ Hanafiyah, Hanabilah, sebagian Malikiyah dan Syafi’iyah, syari’at nabi terdahulu yang tidak dijelaskan baik dalam Alquran maupun hadis.

Tidak ada penjelasan keberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad, juga tidak ada kepastian bahwa syari’at tersebut telah di-naskh, Maka syari’at tersebut tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad.

Sementara sebagian ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa syari’at para nabi terdahulu yang tidak ada petunjuk keberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Tidak ada kejelasan penghapusannya, maka syari’at itu berlaku juga untuk umat ini.

Syari’at Nabi Muhammad Sebelum Menjadi Nabi

Muhammad Husain Haekal, mengutip pendapat imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa selama melakukan perenungan dan penyendirian di gua Hira. Nabi Muhammad menganut syari’at Nabi Nuh.

Alasannya karena Nabi Nuh adalah nabi paling pertama yang disebut-sebut sebagai pembawa syari’at (QS. al-Syura:13). Ada juga yang berpendapat bahwa beliau ber-syari’at kepada ajaran Nabi Ibrahim karena Nabi Ibrahim adalah yang meng-asaskan agama Islam (QS. Ali Imran:67). Juga, atau syari’at Nabi Musa, karena Nabi Musa adalah nabi pertama yang disebut sebagai pembawa kitab.

Namun ada juga ulama’ yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengamalkan syari’at atau ajaran tertentu. Hanya saja tidak dapat dipastikan, syari’at apa yang beliau anut.

Menurut Husain Haekal, pendapat terakhir lebih tepat karena sesuai dengan dasar-dasar perenungan dan pemikiran Nabi Muhammad. Ada lagi ulama’ yang bersikap tawaqquf. Artinya, mereka tidak menentukan sikap dan pendapat apakah Nabi Muhammad menjalankan syari’at para nabi pendahulunya atau tidak.

Meskipun ada kemungkinan bahwa pada saat itu syari’at lama (syar’u man qablana) masih berlaku. Di antara ulama’ yang memilih untuk tawaqquf adalah Qadhi Abdul Jabbar dan imam al-Amidi.

Syari’at Nabi Muhammad Versus Syaria’t Para Nabi Terdahulu

Perbedaan-perbedaan syari’at atau ajaran Nabi Muhammad dengan para nabi terdahulu terdapat dalam beberapa hal, antara lain:

Wudhu dan Tata Caranya

Imam al-Nawawi dalam Syah Muslim mengatakan bahwa menurut sebagain ulama’, wudhu bukan ajaran baru dalam syari’at Nabi Muhammad. Akan tetapi, ibadah ini sudah dikenal oleh para nabi dan menjadi salah satu ajaran pokok dalam agama mereka.

Perbedaannya, umat Nabi Muhammad diberi keistimewaan berupa al-ghurrah dan al-tahjil. Yaitu bahwa kelak di akhirat, wajah, kedua tangan dan kedua kaki mereka akan mengeluarkan cahaya laksana bulan purnama disebabkan oleh bekas air wudhu.

Selanjutnya, dalam syari’at nabi terdahulu, seseorang yang ingin berwudhu, tetapi ia tidak menemukan air, maka salat yang akan ia kerjakan ditunda sampai ia menemukan air. Tayamum tidak berlaku dalam syari’at para nabi sebelum Nabi Muhammad. Karena tayammum menjadi kekhususan umat beliau.

Tempat dan Rukun Salat

Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami dalam al-Bujairami ‘ala al-Khathib, menyampaikan keterangan bahwa dalam syari’at Nabi Muhammad, salat boleh dilakukan di mana saja. Asalkan tempatnya suci dari najis.

Namun dalam syari’at para nabi terdahulu, salat harus dilakukan di tempat khusus yang disebut mihrab. Meskipun tempat itu jauh dari rumah penduduk.

Perbedaanya lagi, para nabi tidak mengawali salat dengan takbiratul ihram (membaca Allahu akbar), tetapi dengan bacaan tauhid, tasbih dan tahlil. Mereka juga tidak membaca al-Fatihah, “amin”, salam (assalamu’alaikum warahmatullah), rabbana wa lakal-hamdu, basmalah dan lain-lain, karena bacaan-bacaan tersebut merupakan kekhususan umat Nabi Muhammad.

Berbuka Puasa

Dulu, di zaman nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad, orang yang berpuasa, diperbolehkan makan, minum dan berhubungan seks ketika matahari telah terbenam hingga terbit fajar. Asalkan ia belum tidur. Jika ia tertidur sebelum terbit fajar, maka tiga hal tersebut menjadi haram hingga terbenamnya matahari pada hari berikutnya.

Allah menghapus hukum tersebut dan memberikan keringan kepada umat Nabi Muhammad. Allah menghalalkan makan, minum dan berhubungan intim dengan pasangan sahnya mulai terbenamnya matahari (waktu maghrib) hingga terbit fajar (sebelum subuh), meski telah tertidur.

Cara Mensucikan Najis

Menurut Syaikh Sulaiman bin Muhammad, cara mensucikan pakaian yang terkena najis dalam syari’at nabi-nabi terdahulu. Seperti dalam syari’at Nabi Musa, tidak cukup hanya dengan membasuh atau mensucikannya saja. Akan tetapi bagian dari baju yang terkena najis tersebut harus dipotong atau digunting.

Lebih tragisnya lagi, menurut sebagian ulama’ jika sebagian anggota tubuh Bani Israi’il terkena najis, maka anggota yang terkena najis tersebut harus dipotong untuk mensucikannya. Imam Abu Dwud meriwayatkan hadis berikut:

كانوا إذا أصابهم البول قطعوا ما أصابه البول منهم (رواه أبو داود)

Ketika sesuatu dari Bani Isra’il terkena air kencing, maka sesuatu yang terkena air kencing tersebut dipotong. (HR. Abu Dawud)

Pelaku Dosa dan Tebusannya

Pada sebagian syariat para nabi terdahulu, jika ada seseorang melakukan dosa di malam hari, maka siang harinya dosa yang ia perbuat di malam hari tersebut akan ditulis di pintu rumahnya dengan jelas. Tanpa ada yang ditutup-tutupi. “Si fulan telah melakukan dosa ini dan itu dan tebusannya adalah ini dan itu”.

Berbeda dalam syari’at Nabi Muhammad. Siapa saja yang berbuat maksiat dan dosa, maka Allah tidak akan memberi tanda khusus pada diri orang tersebut atau menuliskan bentuk dosa yang dilakukannya. Bahkan Allah akan merahasiakannya dan menutupnya dengan rapat-rapat. Wallahu a’lam

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *