Orang yang Tidak Bisa Diajak Berdebat
HIDAYATUNA.COM – Perdebatan adalah sistem dimana dua orang atau lebih beradu Hujjah (dalil) dalam sebuah masalah yang ada perbedaan signifikan antara kedua orang tersebut. Seperti ketika salah satunya menghalalkan kemudian yang satunya mengharamkan dan mesti masalah yang diperdebatkan kebenarannya susah untuk diketahui atau lebih dikenal dengan masalah Nazoriyah bukan masalah yang Dhoruriyah yang kebenarannya bisa dengan mudah diketahui karena masalah seperti ini tidak perlu diperdebatkan. kemudian maksud dari pada kedua belah pihak adalah mencari kebenaran.
Dari penjelasan di atas para Ulama mensyaratkan bahwa untuk berdebat atau berdiskusi antara keduanya. Orang yang terlibat harus mempunya level yang sama atau berdekatan dalam pengetahuan mereka di masalah tersebut karena Munazoroh diambil dari kata-kata Nazir yang artinya “mirip atau serupa”. Jika tidak sama levelnya seperti salah seorang sudah mempunyai gelar Profesor dan yang satunya masih Degree (S1) maka itu bukan perdebatan tapi kegiatan belajar mengajar.
Begitu pula orang-orang yang tidak bisa diajak berdebat adalah orang yang mengingkari kebenaran (degil atau ngeyel). Sekiranya kebenaran sudah dia pahami dan dalilnya sudah dipatahkan tapi dia masih tidak menerima kekalahannya. Jika anda bertemu orang semacam ini maka berpalinglah dari dia karena orang semacam ini adalah Mukabir. Berdebat dengan orang semacam ini mengahabiskan waktu, tenaga,pikiran & kuota.
Begitu juga orang yang tidak punya malu atau akhlaq (Safih) tidak perlu anda berdebat dengannya. Karena orang semacam ini akan merubah perdebatan ilmiyah menjadi ajang cacimaki, bodishaming, buka aib dll. Yang mana para ulama tidak terbisa semacam itu akhirnya mereka akan diam ketika dicaci maki dan dianggap kalah karena diam. Padahal mereka diam bukan karena mereka kalah Hujjah karena perdebatan ilmiyah sudah berubah menjadi ajang cacimaki yang mana para Ulama tidak terlatih untuk hal tersebut. Saya melihat macam terakhir ini banyak sekali terjadi di facebook.
Kemudian saya beritahu ketika berdebat maka kedua pihak adalah Mujtahid Mutlaq dengan arti yang menguatkan mereka adalah dalil mereka bukan menukil perkataan ulama lain atau menakut-nakuti. Contohnya : jangan kritik Ibn Taimiyah karena beliau adalah Syekhul Islam, jangan kritik Ibn Arobi karena dia adalah Wali besar dll. Kata-kata semacam ini adalah omong kosong dalam perdebatan karena ketika anda memilih untuk berdebat maka derajat anda sepadan dengan para Mujtahid minimal dalam masa perdebatan saja dan dalam masalah yang anda perdebatkan.
Ketika semua tatacara perdebatan itu ditaati maka perdebatan akan membuahkan hasil yang makimal. Yaitu sampai kepada kebenaran yang mana perdebatan itu dibuat untuk sampai pada kebenaran. Bukan seperti sekarang perdebatan menjadi panjang tanpa hasil dan berubah menjadi ajang copas dan caci maki antara kelompok.