Tuhan Kita Berbeda
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Tuhan Kita Berbeda, kalimat ini, ketika dilontarkan kepada orang yang beda agama tentu sesuatu yang wajar dan dapat dipahami.
Tapi ketika ia dilontarkan pada sesama muslim maka akan menimbulkan tanda-tanya, keheranan, atau bahkan penolakan. Apalagi kalau disampaikan tanpa penjelasan yang cukup.
Allah Swt fi Dzatihi tentu saja tunggal. Dia Rabb seluruh alam dan manusia. Tapi ini tidak berarti bahwa Allah Swt dalam persepsi setiap manusia adalah sama.
Pemahaman, gambaran atau persepsi setiap manusia, bahkan setiap muslim, tentang Allah Swt sangat mungkin berbeda-beda. Ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup, apa yang dibaca, didengar, lingkungan pergaulan dan seterusnya.
Kita misalkan saja pada al-Quran. Ketika ada dua orang mengkaji al-Quran. Yang satu tamatan sekolah menengah, sementara satu lagi pakar astronomi?
Apakah akan sama persepsi mereka tentang al-Quran? Tentu tidak. Semakin dalam keilmuan seseorang semakin ia menyelami lautan mutiara al-Quran yang tak pernah habis dan usang untuk dikaji.
Atau ambil contoh yang lebih sederhana. Seorang publik figur yang terkenal (tanpa menyebut nama tertentu). Apakah persepsi setiap orang tentang dirinya akan sama?
Tentu tidak. Ada yang menganggapnya sebagai sosok pahlawan yang sangat berjasa dalam berbagai kemajuan. Ada juga yang menganggapnya sebagai iblis berwujud manusia.
Semua tak lepas dari sejauh mana kita mengenalnya dan informasi yang kita dapatkan tentang dirinya.
Kembali pada bahasan utama. Persepsi kita tentang Allah Swt berbeda-beda. Ada yang ‘menganggap’ Allah sebagai Dzat yang lebih dominan sisi azab-Nya.
Sehingga yang sering muncul dari mulutnya, apalagi kalau memberi nasehat, adalah ancaman. “Jangan kerjakan ini, nanti Allah marah…”.
“Berhentilah dari ini, kalau tidak azab Allah akan turun…” dan sebagainya. Tentu saja ini tak sepenuhnya salah.
Ada juga yang ‘membayangkan’ Allah Swt lebih dominan sisi rahmat-Nya. Sehingga kalau pun ada bencana, yang dilihat tidak selalu sisi azabnya, melainkan kasih-sayang Allah meski dalam bentuk bencana. Di dalam azab pun pasti tersimpan kasih sayang Allah Swt.
Kalau hal itu di dunia, apalagi di akhirat nanti. Tentu kasih sayang Allah akan lebih banyak dan luas.
Karena itu, menarik diperhatikan urutan ayat dalam al-Fatihah.
Setelah Allah Swt menegaskan bahwa Dia Rabb semesta alam (dan ini mencakup siapa saja dan apa saja), Allah Swt menegaskan bahwa Dia Maha
Pengasih Maha Penyayang. Dan segera setelah itu ditegaskan bahwa Dia Penguasa (Pemilik) hari pembalasan. Seolah-olah ada pesan tersirat bahwa rahmat dan kasih sayang-Nya akan sangat tampak dan terbukti di hari pembalasan nanti.
Karena itu dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللهَ خَلَقَ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِائَةَ رَحْمَةٍ كُلُّ رَحْمَةٍ طِبَاقَ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، فَجَعَلَ مِنْهَا فِي الْأَرْضِ رَحْمَةً، فَبِهَا تَعْطِفُ الْوَالِدَةُ عَلَى وَلَدِهَا، وَالْوَحْشُ وَالطَّيْرُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أَكْمَلَهَا بِهَذِهِ الرَّحْمَةِ
Artinya:
“Dari Salman, ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah, ketika menciptakan langit dan bumi, menciptakan seratus rahmat. Setiap rahmat sepenuh langit dan bumi.
Lalu Dia jadikan satu rahmat di bumi. Dengan satu rahmat itu seorang ibu menyayangi anaknya. Bahkan binatang buas dan burung saling menyayangi satu sama lain. Saat di hari kiamat nanti Dia menyempurnakan rahmat ini.”
Yang tak kalah menarik riwayat dalam shahih Imam Bukhari:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الرَّحْمَةَ يَوْمَ خَلَقَهَا مِائَةَ رَحْمَةٍ، فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً، وَأَرْسَلَ فِي خَلْقِهِ كُلِّهِمْ رَحْمَةً وَاحِدَةً، فَلَوْ يَعْلَمُ الكَافِرُ بِكُلِّ الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنَ الرَّحْمَةِ لَمْ يَيْئَسْ مِنَ الجَنَّةِ، وَلَوْ يَعْلَمُ المُؤْمِنُ بِكُلِّ الَّذِي عِنْدَ اللَّهِ مِنَ العَذَابِ لَمْ يَأْمَنْ مِنَ النَّارِ
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan seratus rahmat. Sembilan puluh sembilan (99) Dia tahan di sisi-Nya, dan satu Dia lepaskan pada seluruh makhluk-Nya.
Kalaulah seorang kafir mengetahui begitu besar rahmat di sisi Allah tentu ia tidak putus asa dari surga. Dan kalau seorang mukmin mengetahui azab-Nya tentu ia tidak akan merasa aman dari neraka.”
Karena itu, semakin tinggi maqam seorang hamba, apalagi kalau sampai ke derajat waliyyullah, semakin lapang dadanya dan tinggi harap-Nya terhadap rahmat Allah Swt.
Jangan heran kalau dari mulut mereka muncul kalimat-kalimat yang zhahirnya ‘sulit diterima’, seperti kalimat Maulana Jalaluddin ar-Rumi:
إن قلبي مثل الفرجار رجل ثابتة فى أرض الشريعة والأخرى تدور على اثنين وسبعين ملة
“Hatiku seperti jangkar; satu kaki berdiri kokoh di atas syariat dan kaki yang lain berputar di 72 agama.”
Atau kalimat Imam al-Ghazali dalam Faishal at-Tafriqah:
وأنا أقول إن الرحمة تشمل كثيرا من الأمم السالفة وإن كان أكثرهم يعرضون على النار إما عرضة خفيفة حتى فى لحظة أو فى ساعة وإما فى مدة حتى يطلق عليهم بعث النار، بل أقول: إن أكثر نصارى الروم والترك
فى هذا الزمان تشملهم الرحمة إن شاء الله … (ص 84)
Artinya:
“Saya mengatakan, rahmat Allah itu meliputi kebanyakan umat-umat terdahulu, meskipun sebagian besar mereka akan dihadapkan pada neraka, bisa jadi ringan;
Sesaat atau sebentar saja, bisa jadi juga sampai dimasukkan ke neraka (dalam masa tertentu). Bahkan saya mengatakan, sesungguhnya kebanyakan Nasrani Romawi dan Turki di masa ini diliputi oleh rahmat Allah, insya Allah…”
Kita bisa saja tidak sependapat dengan cara pandang para ulama dan awliya ini.
Tapi kita mesti sadar diri. Boleh jadi maqam mereka lebih tinggi dari maqam kita sehingga terbukalah untuk mereka apa yang masih tertutup dari kita. Menyadari hal ini membuat kita tidak cepat mengingkari mereka.
Mereka memang tidak maksum. Tapi ada baiknya kita ingat pesan bijak ini:
علم العلماء فى علم الأولياء كعلم الأطفال فى علم العلماء
“Ilmu ulama di hadapan ilmu awliya seperti ilmu anak-anak di hadapan ilmu ulama.”
أبصرنا الله أقدار أنفسنا ، آمين
[]