Kosmopolitanisme Muhammadiyah, Cegah Neo-Kolonialisme Melalui Dialog Islam dan Barat

 Kosmopolitanisme Muhammadiyah, Cegah Neo-Kolonialisme Melalui Dialog Islam dan Barat

Haedar Nashir sampaikan pesan dari Muhammadiyah untuk PBNU (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, YOGYAKARTA — Muhammadiyah kini tengah mengembangkan wawasan keislaman yang memperkirakan sikap positif terhadap perbedaan (kosmopolitanisme). Hal ini dilakukan guna menghadapi perkembangan kemanusiaan global.

Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah mengatakan, kosmopolitanisme merupakan kesadaran tentang kesatuan masyarakat seluruh dunia. Umat manusia yang melampaui sekat-sekat etnik, golongan, kebangsaan, dan agama.

“Kosmpolitanisme secara moral mengimplikasikan adanya solidaritas kemanusian universal dan rasa tanggung jawab universal kepada sesama manusia. Tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional,” tuturnya.

Melalui kerjasama yang dilakukan dengan berbagai pihak, baik  nasional maupun internasional, tentu menunjukkan wawasan kosmopolitanisme Muhammadiyah. Kosmopolitanisme tersebut misalnya berupa pengumpulkan donasi kemanusiaan untuk Palestina, Rohingya, Filipina, dan lainnya.

Kegiatan ini membuktikan bahwa Muhammadiyah dulu dan saat ini merupakan satu mata rantai wawasan Islam yang universal dan kosmopolitan.

“Kosmopolitan Islam selain memiliki jejak sejarah pada perjuangan Muhammadiyah juga secara ideologis harus menjadi bagian dari gerakan modernisme dan reformisme Islam. Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan reformis dan modernis, hal ini berkat persentuhan antar bangsa antar negara,” ungkap Haedar.

Mencegah Tumbuhnya Neo-Kolonialisme

Saat ini, kata Haedar, perkembangan dunia semakin kosmopolit. Hal ini menuntut Muhammadiyah untuk berperan aktif sebagai integral dari warga semesta.

Oleh sebab itu, komitmen Muhammadiyah pun dituntut lebih, terutama dalam menyebarluaskan gerakan pencerahan. Hal tersebut dapat dilakukan misalnya dengan membuka dialog Islam dan Barat dalam usaha meminimalisir konflik Palestina dan Israel.

“Dialog adalah kunci dari penciptaan dan terciptanya perdamaian antar bangsa dan antar negara. Ketika saat ini ada agresi militer Israel terhadap Palestina atau negeri-negeri lain yang tidak semestinya. Sesungguhnya negara-negara ‘neo-kolonialisme’ yang seperti itu telah kehilangan wawasan yang bersifat universalisme, seakan dunia milik mereka sendiri,” kata Haedar.

Haedar mengajak agar segenap bangsa dan masyarakat mengembangkan wawasan global berbasis etik dan kearifan global. Hal ini sebagai ikhtiar mencegah tumbuhnya neo-kolonialisme, sebab neo-kolonialisme akan menghancurkan dunia.

Tanda-tanda kehancuran dunia sepertinya semakin tampak saat ini, ketika ada satu negara atau tokoh yang rakus dan terus memperluas ekspansi. Mereka sibuk menancapkan penjajahan dan kekuasaan sehingga membahayakan negara-negara lain, dan hal ini tidak boleh kembali terjadi di era globalisasi.

Sebab itulah Haedar mengungkapkan, tatanan dunia yang baru memerlukan dialog, kerjasama, aliansi dan koeksistensi antar peradaban. Muhammadiyah memandang bahwa peradaban global dituntut untuk terus berdialog dengan kebudayaan-kebudayaan setempat agar peradaban tidak terjebak dalam neo-kolonialisme.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *