Ingin Terkesan Canggih

 Ingin Terkesan Canggih

Ingin Terkesan Canggih (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kira-kira setahun lalu, saya mengejar matakuliah fikih ibadah di kampus kami.

Ada mahasiswa yang menghadap saya dengan menyodorkan makalah yang akan dia presentasikan dalam tema “Waktu-waktu shalat”.

Dalam sesi tatap muka itu, jadwalnya adalah membahas bagaimana penentuan waktu shalat yang benar.

Dengan bangga, mahasiswa tersebut bercerita bahwa dia membuat makalah berdasarkan penemuan terkini.

Dia membahas tentang alat-alat penunjuk waktu shalat semisal jam, jadwal, aplikasi dengan berbagai jenisnya di masa kini yang memudahkan untuk tahu waktu shalat.

Bahkan dia mengaku bahwa makalahnya ditulis dengan bantuan AI.

Setelah dia selesai bercerita, saya bilang bahwa makalahnya saya kembalikan.

Dia harus menulis ulang tugasnya dari awal hingga akhir. Bahasannya harus waktu shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah.

Penulisannya harus manual dari dirinya sendiri dan referensinya harus kitab fikih standar, bukan internet apalagi AI yang dalam hal fikih semuanya masih sangat bodoh itu.

Saya ulangi, semua jenis AI itu sangat bodoh dalam hal fikih dan ini adalah hasil pemgalaman saya terhadap berbagai AI yang ada di zaman ini.

Kemudian saya menjelaskan ke kelas bahwa meskipun sekarang sudah banyak alat bantu dan jadwal, tetapi kita tetap harus tahu aturan penentuan waktu shalat yang serba manual dengan melihat gejala alam sebagaimana diajarkan Rasulullah.

Alasannya adalah seluruh jenis ibadah tidak boleh bergantung pada keberadaan gadjet, kertas, buku, aplikasi atau alat apa pun.

Ibadah harus berjalan dalam kondisi apa pun dan alat bantu selamanya harus diposisikan sekedar sebagai alat bantu.

“Bagaimana kalian menentukan waktu shalat kalau suatu saat baterai kalian mati, jadwal kalian tertinggal, tak ada sinyal, atau kalian sedang berada di tengah hutan atau di atas gunung?” Tidak ada yang menjawab.

Saya melanjutkan bahwa alat-alat tersebut hanyalah alat bantu.

“Alat bantu itu hanya untuk memudahkan, tapi ilmu aslinya yang manual harus kalian kuasai sehingga kalian tidak tergantung pada alat atau jadwal. Andai jadwal shalatnya berbeda satu sama lain, kalian harus mengeceknya dengan cara melihat gejala alam secara manual untuk tahu mana yang benar.”

Itulah sebabnya meskipun sekarang ada kalkulator dan komputer canggih, semua siswa sekolah dasar tetap diajari perhitungan dasar secara manual agar saat tidak ada kalkulator tetap bisa berhitung.

Hanya guru matematika bodoh yang tidak mengajari siswanya cara berhitung manual dengan alasan sekarang sudah ada kalkulator.

Sama seperti itu, hanya orang bodoh yang tidak tahu cara penentuan waktu shalat manual dengan alasan sekarang sudah ada jadwal dan jam.

Jadi, perkataan seperti “sekarang zaman sudah canggih tak perlu belajar mengamati matahari secara manual” sesungguhnya bukan malah terkesan canggih tapi justru malah kelihatan kalau bodoh.

Ketika aplikasi satu dan lainnya, radio satu dan lainnya, jadwal satu dan lainnya berbeda menit, biasanya orang bodoh semacam itu hanya bisa berlagak bijak dengan berkata bahwa itu semua adalah ijtihad atau perbedaan pendapat yang harus dihormati.

Padahal seharusnya tinggal keluar rumah lalu melihat sendiri bayangan, posisi matahari, warna awan atau cahaya horizon, maka akan jelas sejelas-jelasnya mana yang benar dan mana yang salah.

Dan, hasil pengamatan langsung itu adalah fakta empiris yang tidak terbantahkan. Sekedar cerita satu fragmen di kelas kami. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *