Menyoal Tuhan Buatan Manusia (?)

 Menyoal Tuhan Buatan Manusia (?)

Inilah Tips Membaca Takdir (Ilustrasi/Istimewa)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bagi para ateis, Tuhan tidak lebih dari sekedar gagasan buatan manusia. Sebab itu mereka berkata bahwa Tuhan adalah buatan manusia, bukan manusia buatan Tuhan.

Nalar ini tidak hanya menggelikan tetapi juga menunjukkan bahwa pengucapnya sama sekali tidak menggunakan nalar.

Meskipun Tuhan tidak berkenan dilihat di dunia, namun argumen teologis para ahli kalam untuk membuktikan keberadaan Tuhan berangkat dari bukti empiris yang bukan hanya dilihat tapi betul-betul diobservasi secara mendalam.

Argumen utamanya ada dua proposisi, yakni:

1. Alam semesta beserta seluruh isinya mengalami perubahan. Yang mengalami perubahan pastilah punya awal mula (didahului ketiadaan)

2. Yang keberadaannya punya awal mula, pastilah diciptakan.

Lihatlah seluruh semesta dengan cermat. Tidak satu pun yang tidak mengalami perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lain.

Itu bukti nyata dan sangat empiris bahwa semuanya didahului oleh ketiadaan.

Jauh sebelum para saintis menemukan teori Big-Bang yang diyakini sebagai titik awal mula semesta, para ahli kalam dan Filsuf klasik di seluruh dunia sudah tahu bahwa semesta ini pasti ada awal mulanya.

Meskipun mereka tidak memberi kejadian awal tersebut sebuah nama dan tidak pula menjelaskan bagaimana kejadiannya.

Yang jelas, nalar sehat sudah mampu membuktikan bahwa Tuhan semesta pasti punya awal mula, dan itu inti tugas mereka sedangkan memperinci detailnya adalah tugas para saintis, bukan ahli kalam.

Setelah bukti empiris sampai pada kesimpulan nalar bahwa segala yang punya awal mula pasti diciptakan dari tiada menjadi ada.

Maka nalar sehat akan sampai pada kesimpulan bahwa aktor di balik penciptaan yang memulai semuanya pastilah tidak punya awal mula dan pastinya tidak mengalami perubahan. Dan, itulah yang disebut Tuhan.

Sampai poin ini, pertanyaan seperti “lalu siapa yang menciptakan Tuhan?”menjadi pertanyaan konyol sebab pertanyaan tersebut haya dapat berlaku bagi sesuatu yang penya awal mula sedangkan Tuhan pastilah tidak punya awal mula.

Pertanyaan yang sama konyolnya adalah “kenapa tidak semesta saja yang menjadi awal segalanya tidak perlu Tuhan segala?”

Sebab pertanyaan tersebut muncul dari asumsi bahwa alam semesta tidak punya awal mula padalah sudah jelas bahwa yang mengalami perubahan pasti punya awal mula.

Kesimpulan nalar di atas bukan sebuah konsep atau sekedar angan-angan sebab ia berangkat dari bukti empiris yang nyata terlihat.

Ini sama seperti kesimpulan bahwa OS Android pasti ada yang menciptakan di mana kesimpulan ini bukanlah sekedar konsep dalam otak semata sebab OS Androidnya nyata kita lihat dan kita gunakan sehari-hari.

Nalar sehat pasti sampai pada kesimpulan bahwa OS Android yang menerima perubahan tersebut tidak mungkin ada tanpa awal mula.

Tapi diciptakan oleh pihak lain yang bukan Android dan bahkan bukan pula sebuah OS.

Urusan siapa nama pembuatnya, maka itu urusan lain di luar wilayah nalar tapi bagian dari berita yang perlu disampaikan oleh seorang pewarta.

Sama seperti siapa nama Tuhan dan apa yang Dia kehendaki, itu bukan wilayah nalar lagi tapi bagian dari berita yang didapat dari seorang pewarta (baca: Rasul).

Ateis biasanya berkata: “Ah pokoknya Tuhan itu tidak ada, kalau memang ada coba perlihatkan wujudnya!”

Perkataan seperti inilah yang sebenarnya sebuah konsep keimanan.

Ia tidak lagi berangkat dari pembuktian empiris tapi berangkat dari keimanan bahwa tuhan itu tidak ada sebab tidak pernah terlihat wujudnya.

Pokoknya harus tidak ada, titik. Jadi kaum ateisme sebenarnya adalah kaum paling beriman di dunia.

Sebab ia menelan dogma dan mengabaikan fakta, sama seperti orang yang beriman bahwa menara Eiffel tidak ada yang menciptakan sebab tidak pernah melihat wujud penciptanya. Pokoknya Eiffel tidak diciptakan, titik!

Selain itu, tantangan pembuktian agar diperlihatkan wujud Tuhan sebagaimana wujud lain yang dapat diobservasi di dunia ini hanya muncul dari pola pikir tajsim di mana Tuhan selalu dianggap punya bentuk fisik, bervolume menempati ruang dan terpengaruh oleh waktu.

Sebab itulah saya berulang kali menekankan bahaya akidah tajsim sebab salah satu ujung dari tajsim adalah ateisme.

Selama jisimnya tidak terlihat untuk diobservasi, maka dianggap tidak ada, itulah dogma materialisme, empirisme dan tentu saja ateisme.

Dengan kata lain, setiap ateis pastilah mujassim (punya konsep bahwa kalau tuhan memang ada, maka dia pasti punya jisim), meskipun tidak semua mujassim adalah ateis.

Semoga bermanfaat. []

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *