Politik Identitas Berbasis Agama: Ancaman atau Tantangan?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pembahasan tentang politik identitas baru-baru ini muncul ketika para aktivis khilafah mengkritik penolakan politik identitas berbasis agama yang disampaikan oleh Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Akhmad Muzakki dalam penutupan AICIS (Annual International Conference on Islamic Studies) 2023 pada 5 Mei lalu.
Politik identitas ini sebenarnya merupakan pembahasan yang sangat sensitif mengingat bahwa tahun 2024 kita akan melakukan pemilu serentak.
Tahun ini adalah tahun politik di mana persoalan sosial yang berkenaan dengan politik akan menjadi sangat seksi untuk dibicarakan.
Pembahasan tentang politik identitas masih sangat kompleks ketika dihadapkan dengan positif dan negatif.
Di satu sisi beberapa pendapat mengungkapkan bahwa politik identitas dapat membantu memperkuat keberagaman dalam suatu negara dengan memberikan pengakutan dan representasi seimbang antar kelompok, utamanya kelompok minoritas yang menjadi bagian di dalamnya.
Artinya keberadaan politik identitas bisa merangkul semua kelompok dan melihat kepentingan yang diusung masing-masing kelompok.
Namun di sisi lain, beberapa argumen menyatakan bahwa keberadaan politik identitas justru sebaliknya.
Ketika politik identitas digunakan secara eksklusif hanya untuk kepentingan kelompok mayoritas, mengakibatkan hilangnya hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh kelompok minoritas, sehingga akan tercipta ketidakseimbangan sosial, di mana kelompok minoritas tertindas.
Kegelisahan yang diungkapkan oleh para aktivis khilafah dalam menanggapi politik identitas berbasis agama sebenarnya tidak lain penerimaan mereka terhadap politik identitas berbasis agama itu sendiri.
Sebab sejak awal, kehadiran mereka adalah untuk mengkampanyekan khilafah supaya tegak di Indonesia.
Segala bentuk persoalan yang terjadi di Indonesia, mulai dari isu sosial, kebencanaan dll.
Mereka membentuk opini kegagalan pemerintah yang gagal dalam menangani persoalan yang seharusnya diselesaikan.
Kegagalan ini kemudian dimanfaatkan untuk mengkampanyekan pemerintahan Islam di Indonesia.
Propaganda semacam ini tidak lain adalah sebuah tantangan dan ancaman bagi bangsa Indonesia sebagai negara majemuk.
Bagaimanapun, penegakan khilafah di Indonesia tidak cocok dalam konteks Indonesia yang majemuk. Praktik tersebut juga bisa kita sebut politik identitas berbasis agama.
Mengapa demikian?
Jika dilihat dari pemaknaannya, politik identitas berbasis agama merupakan fenomena di mana agama menjadi landasan utama dalam konteks politik dan kebijakan publik.
Fenomena ini terjadi ketika kelompok/individu menggunakan keyakinan agama sebagai dasar untuk membentuk opini publik terkait politik, mempengaruhi keputusan politik dan memperjuangkan suatu kebijakan demi kepentingan agama dan keyakinan.
Praktik politik identitas berbasi agama ini juga berusaha untuk memperoleh pengaruh politik dengan menggalang dukungan dan support dari kelompok yang memiliki visi misi serupa.
Hal ini jelas sudah dilakukan oleh para aktivis khilafah untuk mengumpulkan suara agar bersatu dalam mengkampanyekan penegakan pemerintahan Islam di Indonesia.
Praktik politik identitas berbasis agama menjadi ancaman yang nyata bagi Indonesia karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Ada beberapa dampak yang terdapat dalam politik identitas, di antaranya:
Pertama, eksklusivitas. Ketika politik didasarkan pada keyakinan/agama seseorang, kepentingan agamanya sendiri menjadi suatu hal yang prioritas sehingga dimungkinkan akan abai kepada kelompok minoritas.
Sikap eksklusif juga tampak ketika tidak melihat kelompok lain sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Kedua, konflik. Karena terdapat perbedaan yang begitu besar masing-masing agama, rentan terjadi konflik yang diakibatkan dari adanya polarisasi keteganan dan konflik sosial.
Ketiga, keterbatasan pemikiran yang diakibatkan oleh standart prioritas atas agamanya sendiri.
Fakta ini akan membatasi pemikiran kritis dan mereduksi kompleksitas kehidupan masyarakat ke dalam ruang agama yang sangat sempit.
Dalam melihat persoalan politik identitas utamanya yang berbasis agama, kita perlu memperkuat kesadaran tentang menyeimbangkan keberagaman dan persatuan.
Hal ini bisa dicapai dengan memperbanyak dialog terbuka yang inklusif antar kelompok sehingga melihat perbedaan dengan kacamata positif.
Menyatukan suara dengan berbagai pertimbangan dari masing-masing kelompok untuk menciptakan keputusan yang adil.
Penting bagi kita untuk menciptakan narasi positif, narasi toleransi, pemhaman dak persatuan di tengah keberagaman.
Sehingga kita memahami perbedaan bukan ancaman akan tetapi anugerah yang harus terus dirawat bersama.
Selain itu, keberadaan politik identitas berbasis agama merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah dalam dunia politik.
Sehingga hal ini harus menjadi warning bagi kita semua sebagai umat beragama sekaligus bangsa Indonesia. []