Pesan Mbah Manab Lirboyo untuk Para Santri

 Pesan Mbah Manab Lirboyo untuk Para Santri

Pesan Mbah Manab Lirboyo untuk Para Santri (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Ada pesan filosofis dari pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, KH Abdul Karim (Mbah Manab) kepada para santrinya.

Sebagai informasi, Mbah Manab merupakan seorang kyai yang terkenal ketawadluannya. Keluasan ilmunya tak membuat beliau menjadi pribadi yang sombong.

Itulah sebabnya banyak santri beliau mewarisi sikap rendah hati dalam mencari ilmu. Kisah ini disampaikan oleh KH. Abdul Aziz Manshur, Paculgowang Jombang, yang juga masih dzurriyah (keluarga) Mbah Manab.

Menurut Mbah Abdul Aziz, beliau selalu berpesan kepada santri-santrinya yang ingin boyong (pulang) agar nantinya bisa menjadi seperti paku.

“Kapan ono santri sing pamit muleh, Mbah Manab mesti dawuh, santri-santrine kudu iso dadi paku’,” ungkap Mbah Abdul Aziz sebagaimana dikutip dari buku karya Muh. Aminullah berjudul ‘Alhamdulillah Saya Mondok: Sepotong Sketsa Kehidupan Santri’.

Lalu mengapa harus seperti paku? Ada apa dengan benda kecil itu? Ternyata ada makna filosofis yang mendalam terkait pesan Mbah Manab tersebut.

Salah satu komponen bangunan yang sangat penting adalah paku. Walau ukurannya mungkin paling kecil dibanding dengan komponen lainnya, peran paku sangatlah besar.

Kayu-kayu dari berbagai macam bentuk dan ukuran tidak mungkin dapat membentuk suatu bangunan maupun perabot yang lebih berguna, jika tidak dikaitkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan pemersatu kayu-kayu tersebut.

Dari berbagai jenis, bentuk dan ukuran kayu dapat disatukan dan dibentuk dengan paku. Kayu jika sendirian saja, paling juga hanya bisa jadi sengget untuk mengambil buah di pohon atau hal-hal sepele lainnya. Dengan paku bisa disatukan dan dibentuk jadi barang yang lebih berguna seperti meja, kursi bahkan bangunan nan kokoh.

Maka dari itu kesimpulan dari kata bijak dari Mbah Manab antara lain adalah santri harus bisa menyatukan berbagai elemen masyarakat yang heterogen. Mulai kalangan bawah yang sering terpinggirkan sampai kalangan atas yang selalu menarik untuk diperhatikan.

“Santri dituntut untuk dapat beradaptasi dan menyatukan mereka. Sehingga terbentuklah suatu kehidupan yang kokoh dan dinamis,” jelasnya.

Romandhon MK

Peminat Sejarah Pengelola @podcasttanyasejarah

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *