Pengertian Dalil dan Klasifikasinya

 Pengertian Dalil dan Klasifikasinya

Berjiwa Sebagai Peneliti (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Tak sedikit orang yang bilang bahwa Asy’ariyah tak punya dalil. Bicara tanpa dalil, hanya akal-akalan, hanya berfilsafat dan sebagainya. Hal ini terutama ketika membahas tentang akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah).

Kesimpulan tanpa bukti ini bahkan ditulis dalam buku-buku berbahasa Arab. Intinya mereka mengira bahwa yang dimaksud dengan dalil hanyalah teks berupa ayat, hadis dan qaul ulama saja.

Sekarang saya akan menjabarkan apa itu dalil dan apakah argumen rasional juga diperhitungkan oleh para ulama sebagai dalil.

Imam al-Amidy dalam karya monumentalnya, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, mendefinisikan dalil sebagai:

وَأَمَّا حَدُّهُ عَلَى الْعُرْفِ الْأُصُولِيِّ، فَهُوَ مَا  يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ بِهِ إِلَى الْعِلْمِ بِمَطْلُوبٍ خَبَرِيٍّ، وَهُوَ مُنْقَسِمٌ: إِلَى عَقْلِيٌّ مَحْضٌ، وَسَمْعِيٌّ  مَحْضٌ، وَمُرَكَّبٌ مِنَ الْأَمْرَيْنِ.

“Adapun definisinya menurut para ahli Ushul Fiqh adalah apa yang memungkinkan untuk sampai kepada pengetahuan yang diselidiki yang berupa kabar (bukan pengetahuan inderawi). Dalil tersebut terbagi menjadi dua, yaitu murni aqli, murni sam’i dan gabungan keduanya.”

Istilah Dalil Naqli dan Dalil Sam’i

Definisi serupa di atas mudah ditemukan dalam kitab-kitab lain, utamanya kitab ilmu Ushul Fiqh. Bedanya hanya soal istilah saja, sebagian memakai istilah “dalil sam’i” dan sebagian lagi memakai “dalil naqli”, keduanya merujuk pada hal yang sama.

Dalil naqli/sam’i adalah semua dalil tekstual dari sumber hukum islam, bisa berupa ayat Alquran, hadis shahih, ijma’ atau qaul mujtahid bagi para muqallid. Semua dalil tekstual ini adalah hujjah yang diakui.

Akan tetapi kandungannya masih bisa dipilah menjadi dua; ada yang qath’i ad-dilalah (petunjuknya sudah jelas tanpa ada kemungkinan multi tafsir). Ada pula yang dhanni ad-dilalah (petunjuknya masih belum jelas sebab mengandung beberapa kemungkinan penafsiran).

Dalil naqli yang qath’i ad-dilalah misalnya firman Allah هو الله أحد  (dialah Allah Yang Maha Esa). Petunjuk dalil ini sudah jelas tentang keesaan Allah dalam semua aspek dan tak bisa ditafsirkan lain, semisal dengan tafsiran esa dalam trinitas.

Adapun dalil naqli yang dhanni ad-dilalah misalnya firman Allah ثلاثة قروء (tiga quru’). Kata quru’ bisa bermaksud masa suci dan bisa bermaksud masa haid. Dalil naqli jenis dhanni ini banyak sekali bahkan mendominasi sehingga kita dapati para ulama berbeda pendapat dalam hampir semua hal. Meskipun Quran-nya ya hanya yang satu itu dan kitab hadisnya ya itu-itu saja dan semua ulama sudah membacanya.

Mereka membaca teks yang sama persis, semua mengimaninya sebagai hujjah akan tetapi mempunyai penafsiran berbeda atas teks itu sebab teksnya sendiri memang memungkinkan dipahami berbeda. Perbedaan penafsiran ini berlaku dalam teks akidah, fikih, akhlaq, dan lainnya.

Argumen Rasional Tentang Dalil Aqli

Adapun dalil aqli berarti dalil rasional, yakni dalil yang didapatkan dari pemikiran logis. Bila anda melihat seorang anak, tentu anda tahu bahwa anak itu mempunyai ibu meskipun anda tak pernah melihatnya.

Keberadaan ibu anak itu diperoleh dari kesimpulan rasional. Demikian juga ketika kita melihat semesta ini yang begitu teratur, kita tahu bahwa ada sosok Pencipta yang menciptakan dan mengaturnya sedemikian rupa. Dalil aqli ini juga diakui sebagai hujjah dalam agama, bahkan dalil naqli juga bergantung padanya.

Nyaris semua ilmu dalam khazanah Islam lahir dari rahim dalil aqli ini. sebab untuk memahami dalil naqli juga sering kali butuh argumen rasional. Berikut ini sedikit contohnya:

– Ilmu tafsir membutuhkan dalil aqli untuk menentukan apa munasabah suatu ayat/surat dengan ayat/surat lainnya. Kemudian untuk menyelesaikan tanaqudlul ayat (pertentangan antar ayat).

Lalu untuk menentukan mana tafsir yang paling rasional, untuk menentukan metodologi tafsir yang hendak dipakai dan seterusnya. Jangan dikira Allah dan Rasulullah sudah memberikan ketentuan tentang metodologi tafsir dan apa tafsiran tiap ayat yang sebenarnya dikehendaki Allah.

– Ilmu hadis membutuhkan dalil aqli. Hal ini berguna untuk menentukan teori sahih tidaknya suatu sanad, kriteria ketsiqahan para rawi. Selain itu juga untuk kriteria persambungan riwayat antar rawi dan kriteria kritik matan.

***

Lalu tata cara menyelesaikan tanaqudl (pertentangan makna), tatacara tarjih riwayat/matan dan seterusnya dalam ilmu hadis. Jangan dikira semua itu sudah dijelaskan dengan gamblang oleh Rasulullah. Bahkan menjelaskan bahwa hadis terbagi menjadi Shahih, Hasan dan dla’if saja Rasulullah tak pernah melakukannya.

– Ilmu Ushul Fiqh yang menjadi pondasi lahirnya fiqh juga disusun sepenuhnya oleh dalil aqli.

Jangan kira Allah dan Rasulullah pernah menjelaskan tatacara memperlakukan nash umum-khusus, nash mutlaq-muqayyad, nash muhkam- mutasyabih perbedaan manthuq-mafhum. Bagaimana memahami amar dan nahi, bagaimana menyelesaikan ta’arudul adillah, dan banyak hal lain yang dibahas dalam ilmu ushul fiqh.

Semua itu adalah olah akal para mujtahid dalam memahami teks, sama sekali tak ada petunjuk teknis yang jelas dari Allah dan Rasulullah. Bahkan petunjuk operasional melakukan qiyas saja tak dijelaskan meskipun keberadaan qiyas sendiri bisa dilacak sejak masa Rasulullah.

– Ilmu Fikih memerlukan dalil aqli untuk mencari definisi yang tepat, menentukan illat hukum suatu perkara. Sekaligus menentukan maqashid as-syari’ah, tahrir mahallin niza’ (mengurai inti perbedaan pendapat) dan lain sebagainya. Jangan kira ada petunjuk tekstual dari Allah dan Rasulullah untuk itu semua.

Wallahu a’lam dan semoga bermanfaat.

Abdul Wahab Ahmad

Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS Penulis Buku dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *