Moderasi Beragama Ala Gus Baha: Gerakan Cangkem Elek

 Moderasi Beragama Ala Gus Baha: Gerakan Cangkem Elek

Moderasi Beragama Ala Gus Baha: Gerakan Cangkem Elek (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Gerakan cangkem elek bukanlah hal baru. Dalam lintasan sejarah, cangkem elek dilakukan sebagai sarana menyampaikan pesan kebenaran oleh banyak tokoh.

Contohnya Gus Dur, presiden RI ke-4, yang populer dengan kalimat “gitu aja kok repot.”

Gus Baha mengungkapkan bahwa ia memiliki sekian sanad dalam memprakarsai gerakan cangkem elek ini.

Ia telah memikirkan matang-matang tindakan ini sehingga tujuan utama mengkampanyekan setiap muslim sebagai ahli surga dapat tercapai.

Gus Baha tidak secara terperinci mendeskripsikan landasan mempopulerkan gerakan cangkem elek.

Namun setidaknya penulis dapat mengklasifikasikan landasan gerakan ini dalam dua sumber. Pertama, ibrah kisah Al-Qur’an, khususnya kisah Nabi Ibrahim as. Kedua, kisah beberapa sahabat Nabi Muhammad saw.

Kisah Nabi Ibrahim a.s.

Sebelum terjadinya peristiwa fenomenal yang menyelamatkan Nabi Ibrahim as. dari eksekusi pembakaran oleh pemuka kaumnya, ia menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh para kaumnya.

Kisah Nabi Ibrahim a.s. yang dimaksud Gus Baha terdapat dalam Q.S. Al-Anbiya’ ayat 58-67:

Artinya:

“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berkeping-keping, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.

Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.”

Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.”

Mereka berkata: “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.”

Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?”

Dia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.”

Maka mereka kembali kepada kesadaran mereka dan berkata, “Sesungguhnya kamulah yang menzalimi (diri sendiri).”

Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu berkata), “Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.”

Dia (Ibrahim) berkata, “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu?

Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?” (Q.S. Al-Anbiya’ ayat 58-67)

Atas ayat tersebut, Gus Baha mengisahkan:

“Nabi Ibrahim as. ketika faja’alahu jużāżan illā kabīran (Nabi Ibrahim as. menghancurkan berhala-berhala tersebut kecuali yang paling besar).

Ia kemudian mengalungkan kapak pada berhala paling besar. Maka para pemuka kaum marah.

Ketika mereka marah dan bertanya, “Ini siapa yang memecahkan berhala-berhala kecil?”

“Ya kira-kira Ibrahim lah.”

Terus Nabi Ibrahim as. didatangkan, “Siapa yang melakukan ini semua?”

Ini jawaban Nabi Ibrahim as., “Bal fa’alahu kabiruhum hadza. Ya tanya yang bawa kapak. Saya kan tidak bawa.”

Terus kata orang-orang, “Otak kamu itu di mana? Masak disuruh bertanya ke berhala, kan tidak bisa ngomong!”

Nabi Ibrahim menimpali, “Uffil lakum walima ta’budūna mindūnillah.

Lalu otak kamu di mana? Sudah tahu tidak bisa ngomong kok disembah!”

Itu ada kata ‘uffin’ lho! Uffin itu kalau diterjemah, kira-kira ya agak-agak jancok gitu lah.

Hahaha. Jadi, mulai dahulu, melawan kebatilan itu harus pakai logika yang vulgar. Karena nggak mungkin dengan bahasa-bahasa priayi,” terang Gus Baha.

Nabi Ibrahim a.s. pada konteks ini menggunakan istilah uffin yang dalam ayat lain dikatakan bahwa kata tersebut dilarang diucapkan kepada kedua orang tua. Hal tersebut karena kata uff merupakan sebuah kata kasar. Oleh sebab itu, kata tersebut dilarang secara jelas dalam Q.S. al-Isra’ (17): 23.

Sementara penggunaan kata uff  dalam kisah Nabi Ibrahim as. ini bermakna kasar pula, namun objeknya adalah orang fasik. Kata uffin dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai cangkem elek.

Jadi, Gus Baha melihat hal ini masih relevan dilakukan pada masa kini untuk menjawab sesat pikir orang-orang fasik yang sama sekali tidak moderat dalam beragama.

Kisah Sahabat Nabi

Selain kisah Nabi Ibrahim as., Gus Baha juga mengutip contoh para sahabat yang dalam beberapa kesempatan menggunakan cangkem elek untuk memoderasi cara pikir orang fasik pada masanya.

Meskipun Gus Baha tidak menyandarkan langsung gerakan cangkem elek pada sahabat, namun beberapa narasi Gus Baha menunjukkan bahwa sahabat nabi juga turut menggunakan cara yang efektif ini.

Gus Baha mengisahkan:

“Dahulu para sahabat nabi itu (anda saja bukan sahabat) ya cangkem elek karena jengkel pada orang munafik. Orang munafik itu sangat menjengkelkan Nabi Muhammad saw. karena sangat menginginkan nabi terlihat goblok dan terlihat salah. Suatu saat seorang munafik datang membawa unta lalu bertanya kepada Nabi saw., “Mad, unta saya itu yang mengawini siapa kok anaknya nggak kembar?”

Lalu sahabat yang cangkem elek menimpali, “ nazautu ‘alaiha, saya yang menyelingkuhi, terus kamu mau apa?”

Karena sahabat tersebut tidak terima nabi diberi pertanyaan yang tidak masuk akal.

Di kesempatan lain, nabi ditanya orang Badui munafik,

“Wahai Muhammad, kamu mengklaim mendapatkan wahyu, mengetahui barang ghaib. Sekarang unta saya hilang, lalu posisi unta saya dimana?”

Sahabat ya akhirnya cangkem elek, “saya yang mencurinya, terus kamu mau apa?”

Pokoknya intinya sama-sama menjengkelkan. Makanya pada zaman nabi terdapat sahabat seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid untuk menghadapi orang-orang yang demikian.”

Tentu jawaban sahabat yang diungkapkan tersebut tidak benar-benar dilakukan dan tidak bermaksud berbohong.

Sesuai konteks yang diungkapkan bahwa pertanyaan yang ditujukan pada nabi tersebut bukan semata-mata bertanya dari ketidaktahuan mereka, melainkan untuk menjatuhkan harkat martabat nabi.

Oleh karena itu, para sahabat “mengorbankan diri” menjawab pertanyaan para munafik tersebut dengan cangkem elek-nya.

Dua cuplikan kisah tersebut menjadi landasan kuat untuk menginisiasi gerakan cangkem elek.

Ketika hendak menyampaikan pesan kebenaran dengan cara yang santun kepada “preman” atau orang fasik tidak dapat dilakukan, maka cangkem elek menjadi pilihan terbaik.

Jadi pada prinsipnya, komunikasi harus dilakukan secara seimbang; santun ditanggapi santun, ketus ditanggapi ketus. []

Toifah Faqoth

Penulis yang biasa disapa Toifah, dari Yayasan Mata Air Hikmah Yogyakarta. Dapat dihubungi melalui sosial media Instagram: @toifah.faqoth atau Facebook toifah faqoth.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *