Mitos Nikah Muda Sayyidah Aisyah Perspektif T.O. Shanavas

 Mitos Nikah Muda Sayyidah Aisyah Perspektif T.O. Shanavas

Pilar Penanda Agama Islam Sebagai Agama Ilmu Pengetahuan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Muhammad Ali sebagai pionir wacana korektif usia nikah Sayyidah Aisyah berhasil memantik pemikir-pemikir setelahnya untuk turut serta mendiskusikan wacana yang bergulir secara lebih lanjut.

Baca tulisan Ali Yazid Hamdani tentang pemikiran Muhammad Ali berikut ini, KLIK DI SINI.

Contohnya seperti T.O. Shanavas (selanjutnya: Shavanas). Betapapun ia dikatakan sebagai pemungut wacana korektif dari para pemikir sebelumnya seperti Muhammad Ali, Abu Thahir Irfani, Ghulam Nabi Muslim, dan Habib al-Rahman Siddiqui, namun ia memiliki kreasinya tersendiri dalam menyusun bukti-bukti yang ada, menonjolkan kreativitas yang dimiliki untuk mempermudah pembaca terlarut dengan kecamuk pemikiran wacana korektif yang sedang berkembang.

Meskipun perlu diakui, perdebatan ini mencapai puncaknya saat di tangan Kandhalvi.

Belum muncul lagi para pengkaji selanjutnya yang memberikan bukti-bukti baru, kecuali hanya berupa rangkuman, ringkasan, dan beberapa inovasi, dan mungkin tambahan lain untuk menguatkan argumen-argumen yang telah ada sebelumnya.

Shavanas juga memulai tulisannya dengan judul yang cukup bombastis Was Ayesha A Six-Year-Old Bride?

Lalu di bawahnya tertulis The Ancient Myth Exposed (mitos kuno), ini nantinya yang menjadi titik awal standing position-nya.  Ia mengajukan 9 bukti (nine evidences) dalam tulisannya.

Ia begitu lihai dalam memancing pembaca agar betah dengan tulisannya, paragraf pembuka yang dibuat begitu seksi dan dimulai dengan sebuah pertanyaan seorang Kristiani sebagai stimulusnya.

Kurang lebih begini redaksinya; “Will you marry your seven year old daughter to a fifty year old man?”

Lalu ditambah pertanyaan begini;

“If you would not, how can you approve the marriage of an innocent seven years old, Ayesha, with your Prophet?”

Dari pertanyaan tersebut, Shanavas berupaya menggali lebih jauh, hingga berani menyebutkan bahwa riwayat sebagaimana disinggung itu debatable antara ulama satu dengan ulama lainnya, dan juga tidak reliabel, bahkan cenderung kontradiktif dengan bukti-bukti sejarah. Dalam bahasa Shanavas menyebutnya highly unreliable.

Tidak segan Shanavas berani menyimpulkan bahwa riwayat tersebut selain sukar diterima oleh akal sehat juga dianggapnya sebagai mitos belaka, sebab ia yakin seorang panutan seperti Nabi Muhammad saw. tidak akan melakukan pernikahan semacam itu, ia menyebut nabi saw sebagai gentleman.

Shanavas membuat sebuah rentetan peristiwa-peristiwa yang dirasa perlu diperhatikan, akhirnya dia membuat sketsa kronologis ihwal momen-momen penting yang berkait-kelindan dengan perkawinan bersejarah itu.

Diakui atau tidak, daya kreasi yang dibikin cukup memudahkan pembaca dalam membaca ragam rupa data sejarah yang dibenturkan dengan redaksi hadis dan komentar para ahli sebagai pegangan untuk tetap mendudukkan kontroversi wacara korektif yang masih eksis itu.

Berikut 9 bukti yang ditawarkan Shanavas:

Pertama, Pengujian sumber (reliability of resource). Dalam bukti pertama ini, Shanavas tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat pemikir sebelumnya.

Anehnya Hisyam ibn ‘Urwah meriwayatkan hadis tersebut tatkala berada di Irak, sementara saat keberadaannya di Madinah, tak satupun perawi yang meriwayatkan.

Padahal di Madinah tidak kurang sedikitpun ulama-ulama terkemuka yang juga meriwayatkan hadis.

Paling tidak dalam argumen ini, Shanavas juga mengutip pendapat Ya’qub ibn Syaibah dengan Tahzib al-Tahzib-nya, juga menukil dari kitab “Mizan al-I’tidal.”

Dengan kata lain, Shanavas senafas dengan pemikir sebelumnya, yang menjadi titik tekan Shanavas ialah menggarisbawahi Hisyam yang telah memiliki ingatan yang sangat buruk, hingga akhirnya ia berkesimpulan bahwa riwayat yang bersumber drinnya tidaklah reliabel.

Kedua, pertunangan (betrothal). Untuk meragukan pakem pemahaman umum, Shanavas menyebutkan beberapa tokoh yang mengamini riwayat tersebut seperti al-Thabari, Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Sa’ad.

Namun ia juga mempertanyakan kontradiksi data yang juga disampaikan Thabari pada bagian lainnya yang menyangkut semua anak-anak Abu Bakr, keempatnya dilahirkan di era jahiliyah dari dua istrinya.

Mari kita perhatikan kontradiksi yang begitu kentara ini, bila Aisyah dipinang pada tahun 620 M saat usianya mencapai 7 tahun dan berumah tangga di tahun 623 M.

Maka akan menunjukkan bahwa Aisyah dilahirkan 613 M atau 3 tahun setelah masa Jahiliyah berakhir (610 M).

Namun, bila Aisyah dikatakan lahir di masa Jahiliyah, paling tidak ia berusia 11 tahun saat dipinang, dan berumur 14 hidup serumah dengan Nabi.

Lagi-lagi Shanavas menegaskan riwayat yang diwartakan al-Thabari juga tidak reliabel.

Ketiga, keterhubungan usia Aisyah dengan usia Fatimah. Kontradiksi berikutnya akan nampak lebih terang di sini, Shanavas juga mengambil dari Ibn Hajar dalam al-Ishabah bahwa Fatimah dilahirkan saat Ka’bah dibanggun ulang, saat itu Nabi berusi 35 tahun, sementara Aisyah selisih 5 tahun lebih muda dari Fatimah.

Jikalau pendapat Ibn Hajar ini valid, maka Aisyah dilahirkan saat nabi berumur 40 tahun. Jika nabi menikahinya di umur 52 tahun, maka usia Aisyah ketika itu berusia 12 tahun.

Ini yang kemudian membuat Shanavas lebih tandas lagi untuk menyebutnya sebagai mitos dan tidak berdasar lantaran riwayat yang ada begitu kontradiktif satu sama lain.

Keempat, keterhubungan usia Aisyah dengan usia ‘Asma yang penuh kontradiktif; Kelima, keterlibatan Aisyah dalam Perang Badr dan Uhud.

Untuk argumen ini, tidak jauh berbeda dengan pandangan Kandhalvi yang menyatakan bahwa antara tahun-tahun yang dikemukakan sama-sama memunculkan kontradiksi-kontradiksi yang dihadirkan melalui pendapat para ahli.

Keenam, ingatan Aisyah atas turunnya ayat al-Qamar. Menurut jumhur ulama mewartakan bahwa Aisyah dilahirkan pada tahun ke-8 sebelum hijrah.

Menurut Shahih al-Bukhari terdapat sebuah hadis yang merekam bahwa Aisyah pernah meriwayatkan bahwa “saya seorang gadis muda (jariyah; antara 6-13 tahun) ketika QS. Al-Qomar diturunkan.”

Sementara menurut M.M. al-Khabib dengan The Bounteous Koran-nya menyebut bahwa QS. Al-Qamar diturunkan pada tahun ke-8 sebelum hijrah.

Sehingga bagi Shanavas, itu jauh dari kata masuk akal, sebab menurutnya, Aisyah telah mengidentifikasi dirinya sebagai seorng gadis muda saat surat itu turun, bukan baru lahir.

Paling tidak, menurut kalkulasinya, Aisyah telah berusia antara 14-21 tahun saat menikah dengan Nabi.

Ketujuh, terminologi Bahasa Arab. Dalam hal ini mengacu pada sebuah hadis yang muncul dari Khaulah untuk membujuk nabi agar menikah lagi pasca kematian Khadijah. “anda dapat menikahi seorang perawan (bikr) atau janda (tsayyib).”

Saat nabi bertanya siapa gerangan perawan yang ditawarkan, Khaulah menjawab, Aisyah binti Abu Bakr.

Sehingga Shanavas semakin yakin, bahwa dari kata tersebut tidaklah mungkin ditujukan pada bocah ingusan berumur 7 atau 9 tahun.

Semua orang yang memahami Bahasa Arab akan mengetahui itu, justru untuk kata yang paling tepat untuk menunjukkan usia anak-anak adalah jariyah bukan malah bikr.

Kedelapan, teks Alquran. Shanavas mengajak pembaca agar mengecek ulang dalam Alquran sebagai rujukan utama umat islam.

Apakah Alquran melarang atau justru mengizinkan pemeluknya menikah dengan anak usia 7 tahun?

Menurut Shanavas tidak satupun ayat yang secara tegas dan terang membolehkan atau melarangnya.

Hanya saja ia menjadikan surah al-Nisa’ ayat 5-6 untuk menjawab persoalan tersebut. ayat ini secara substansial memberikan tuntunan atau sebagai tutorial dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim yang juga bisa diberlakukan pada anak sendiri.

Shanavas mengaitkan bagaimana Alquran menguji prasyarat yang diharuskan untuk menguji tingkat keamatangan fisik dan kedewasaan intelektual, sebelum diberikan tanggung jawab sepenuhnya.

Sehingga baginya akan sangat sulit dipercaya, bila seorang Abu Bakr yang notabennya seorang sahabat terkemuka menikahkan anaknya berusia 7 tahun dan melepasnya tinggal serumah dengan sahabatnya yang telah berusia 50-an tahun.

Kontradiksi antara rambu-rambu kedewasaan fisik dan kematangan intelektual yang diprasyaratkan Alquran dengan riwayat itulah yang membawa Shanavas menyimpulkan bahwa riwayat tu sebagai mitos dan perlu diuji kebenarannya.

Kesembilan, kesepakatan dalam perkawinan. Seorang perempuan yang akan dinikahkan harus ditanya dan diminta persetujuaannya agar perkawinanpada prinsip ini.

Sehingga bagi Shavanas, itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik itu secara secara moral maupun intelektual.

Sedangka menurut beberapa riwayat menyebutkan bahwa Aisyah masih suka bermain-main dengan bonekanya saat berumah tangga dengan nabi.

Bagaimana bisa seorang Abu Bakr meminta persetujuan kepada putrinya yang masih anak-anak yang berusia 7 tahun atau 9 tahun yang natabennya masih suka bermain.

Begitulah dasar-dasar pijakan yang digaungkan Shanavas hingga membawa pada kesimpulan bahwa riwayat itu disebutnya mitos yang patut diuji validitasnya.

Bahkan ia sangat yakin, nabi saw sebagai utusanNya menikahi seorang wanita yang telah dewasa secara fisik dan matang secara intelektual. []

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *