Muhammad Ali, Sang Pionir Wacana Korektif atas Pernikahan Aisyah

 Muhammad Ali, Sang Pionir Wacana Korektif atas Pernikahan Aisyah

Pilar Penanda Agama Islam Sebagai Agama Ilmu Pengetahuan (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Pandangan umum yang paling kuat mengenai Sayyidah Aisyah r.a. (Selanjutnya: Aisyah) masih terkait nikah muda yang dijalaninya.

Bahkan sering kali dan tidak sedikit dijadikan dasar pijakan orang-orang untuk melakukan nikah muda dengan dalih mengikuti sunah nabi yang menikahi Aisyah saat masih usia anak-anak.

Hampir sebagian orang melakukan praktik child marriage menggunakan dalil ini kuat-kuat.

Pasalnya, terkait pernikahan Nabi saw. dan Aisyah terdapat ragam rupa pendapat yang berpijak pada hadis-hadis yang tersebar, dan dinilai bahwa Aisyah dinikahi Nabi saat usianya masih anak-anak.

Bahkan periwayatan hadis tersebut oleh kolektor hadis yang menurut pandangan umum telah bersumber dari kitab yang paling otoritatif, dengan kata lain dianggap sebagai sumber rujukan utama setelah Alquran yang tidak boleh diganggu gugat.

Meski begitu, terdapat perkembangan wacana korektif atas riwayat-riwayat yang ada yang dibenturkan dengan analisis tajam, bukti-bukti sejarah, ditambah lagi tuduhan miring atas nabi saw. yang dianggap pedofil.

Terlepas dari kontroversinya, wacana ini membuat terobosan berani sekaligus mendongkrak pemahaman yang keluar dari pakem umum dalam lapangan studi hadis melalui tesis-tesis korektif yang menggugat bahwa Sayyidah Aisyah lebih tua dari usia yang diwartakan dalam literatur hadis.

Sebuah Terobosan Baru ala Ali

Muhammad Ali merupakan seorang pemimpin Ahmadiyya Ishaat-i-Islam (Ahmadiyya Association for the Propagation of Islam) yang menjabat antara tahun 1914-1951.

Ia dinisbatkan sebagai seorang sarjana yang melakukan pengoreksian pertama kali secara terbuka mengenai catatan klasik tentang usia Aisyah r.a. saat menikah dengan Nabi saw.

Percikan gagasan mengenai gugatan atas kesahihan usia nikah Aisyah tertuang dalam beberapa karyanya sebagaimana berikut.

Pertama, sebuah booklet atau buku kecil dalam bahasa Inggris bertajuk “The Prophet of Islam.”

Kedua, buku lainnya yang juga berbahasa Inggris, sebuah catatan yang lebih tebal dengan tajuk “Muhammad, The Prophet”, dan yang terakhir tertuang dalam karyanya yang berjudul “Living Thoughts of the Prophet Muhammad.”

Dari ketiga karya tersebutlah, Muhammad Ali mengguncang wacana korektif atas pakem kuat yang mengakar, yang lama tidak terjamah karena dianggap final.

Muhammad Ali menggugat bahwa usia nikah Aisyah dengan Nabi saat usia 6 atau 7 tahun dan 9 tahun saat memulai rumah tangganya sebagai sebuah kesalahpahaman yang teramat fatal.

Muhammad Ali menyebutnya sebagai a great misconception (lihat, Maulana Muhammad Ali, The Prophet of Islam (Ohio USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore). Periksa pula Maulana Muhammad Ali, Living Thoughts of the Prophet Muhammad.

Paling tidak, menurutnya tidak mungkin nabi menikahi seorang bocah, ia tidak ragu sedikit pun bahwa Aisyah setidaknya menikah dengan Nabi saat berusia 9 atau 10 tahun dan berusia 14 atau 15 tahun saat memulai berumah tangga.

Kesimpulan tersebut diperoleh melalui keraguannya yang menurutnya ketidakakuratan sebuah hadis yang tertuang dalam beberapa literatur-literatur hadis yang berbunyi bahwa Aisyah menikah saat berusia 6 hingga 7 tahun saat menikah dan 9 tahun saat memulai bahtera rumah tangga.

Muhammad Ali meragukan hal tersebut dengan mengajukan empat bukti:

Pertama, Abu Bakr telah merencanakan perkawinan Aisyah dengan Jubair Ibn Muth’im saat hijrah ke Habasyah pada tahun ke-8 sebelum hijrah.

Kedua, usia Aisyah 5 tahun lebih muda dari puteri Nabi saw, yakni Fatimah al-Zahra, yang dilahirkan 5 tahun sebelum kenabian yang bertepatan dengan renovasi Ka’bah.

Ketiga, Aisyah menjadi gadis belia (جارية – تعقل) saat QS al-Qamar diwahyukan pada tahun ke-6 dari tahun kenabian, yang dibuktikan bahwa ia ingat dan hafal beberapa ayatnya.

Keempat, ditemukan banyak bukti bahwa rumah tangganya berlangsung pada saat tahun ke-2 hijrah di bulan Syawwal, yang menunjukkan bahwa selama 5 tahun penuh berlalu antara upacara perkawinan dan permulaan kehidupan rumah tangganya.

Selain itu, Muhammad Ali menawarkan bukti lain yang diajukan dalam beberapa catatan kaki dari buku terjemahan dan komentarnya (edisi bahasa Urdu) atas Shahih al-Bukhari yang memiliki judul Fadhl al-Bari.

Di sini ia meragukan bahwa tidaklah mungkin Aisyah dilahirkan setelah tahun kenabian, yakni 610 M.

Argumen pertama, ia mendasarkannya pada sebuah hadits yang bersumber langsung dari Aisyah yang terekam dalam Shahih al-Bukhari, yakni terkait memorinya saat orang tuanya telah memeluk Islam.

Bunyi redaksi haditsnya begini,

“Saya sama sekali tidak ingat (masa kecilku) kecuali pada saat itu kedua orang tuaku telah menjadi pemeluk Islam.”

Sehingga menurut Muhammad Ali, Aisyah tentu sudah lahir beberapa waktu sebelum orang tuanya memeluk Islam (pada saat awal tahun kenabian), sehingga ia dapat mengingat orang tuanya dalam mempraktikkan Islam sejak awal.

Jika saja Aisyah lahir saat orang tuanya telah memeluk Islam, maka ia tidak akan mengatakan bahwa ia selalu mengingat bahwa orang tuanya telah Islam.

Hal ini kemudian yang membuat Muhammad Ali kekeuh bahwa redaksi hadits tadi justru hendak mengatakan yang sebaliknya, yang malah menunjukkan bahwa ia terlahir sebelum orang tuanya memeluk Islam.

Maka sangatlah masuk akal menurutnya untuk mengatakan sebagaimana redaksi hadits, bahwa terdapat pengecualian yang menunjukkan hanya dapat mengingat orang tuanya saat telah menjadi muslim, lantaran ia terlalu muda untuk mengingat segala hal sebelum mereka masuk Islam.

Argumen kedua, didasarkan pada keikutsertaan Aisyah dalam Perang Badar (tahun 2 H) dan Perang Uhud (pada tahun 3 H).

Menurut pandangan Muhammad Ali, Aisyah mulai mengarungi bahtera rumah tangga bersama Nabi saw hanya berselang 1 tahun sebelum Perang Uhud.

Sementara menurut pandangan umum, Aisyah saat tu telah berusia 10 tahun, yang tentu saja tidak cocok untuk terlibat dalam sebuah peperangan, karena masih tergolong  berusia anak-anak.

Fakta ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Aisyah saat itu, tidaklah semuda itu.

Muhammad Ali lalu membeberkan sebuah fakta terkait peperangan sebelumnya, yakni saat Perang Badar, yang ketika itu sejumah bocah muslim hendak berangkat bersama pasukan muslim lainnya untuk maju ke medan perang.

Nabi Muhammad saw. malah menyuruh mereka pula dengan pertimbangan usia yang masih terlalu belia untuk mengikuti sebuah perang.

Kecuali hanya memperbolehkan seorang anak muda bernama ‘Umair Ibn Abu Waqqas untuk menemani kakaknya, sahabat nabi yang terkenal, Sa’ad Ibn Abu Waqqas.

Dengan tandas Muhammad Ali menyatakan bahwa sangatlah tidak mungkin bila Aisyah saat itu masih berusia 10 tahun, sementara Nabi saw membiarkannya ikut serta dalam barisan pasukan ke medan perang.

Paling tidak menurutnya, Aisyah sekurang-kurangnya telah berusia 15 tahun ketika menemani Nabi saw. sebagai istrinya di tahun 2 Hijriyyah. Sementara pernikahannnya terjadi 5 tahun sebelumnya.

Maka dari itu, secara ringkas dapat ditarik kesimpulan dari bukti-bukti serta argumen yang dipasang Muhammad Ali bahwa Aisyah sekurang-kurangnya berusia 15 tahun saat menemani Nabi Muhammad saw. sebagai istrinya pada tahun dua Hijriah, dan perkawinannya terjadi 5 tahun sebelumnya, saat Aisyah berusia 10 tahun. Kira-kira begitu.

Wallahu a’lam bi al-shawab. []

Ali Yazid Hamdani

https://hidayatuna.com/

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *