Menyoal Klaim Negatif Terhadap Tasawuf

 Menyoal Klaim Negatif Terhadap Tasawuf

Tarbiyah Ruhiyyah Melalui Puasa Ruh, Akal, dan Jiwa (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bicara soal tasawuf, ada banyak definisi tentangnya. Zakaria al-Anshari menyebut bahwa tasawuf adalah ilmu yang mengulas metode-metode dalam menyucikan jiwa, memperindah akhlak dan membina kesejahteraan lahir-batin dengan tujuan mencapai kebahagiaan yang abadi.

Sementara itu, Sayyed Hossein Nashr tidak memandang tasawuf sebagai satu cabang ilmu.

Menurutnya tasawuf merupakan suatu upaya melatih jiwa dengan beragam aktivitas yang dapat melepaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, di samping juga dapat mendekatkan manusia pada Allah Swt sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak al-karimah.

Meski definisi tasawuf yang disuguhkan oleh 2 tokoh tersebut seolah berbeda, tapi secara esensi tetap sama.

Kehadiran tasawuf tentu bukan tanpa tujuan. Menurut A. Rievar Siregar, tasawuf bertujuan untuk membuat hamba berada sedekat mungkin dengan Allah.

Dekat di sini memiliki 3 makna. Pertama, dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Allah swt dalam hati; kedua, dekat dalam arti berjumpa dengan Allah Swt, ketiga, dekat dalam arti penyatuan antara manusia dengan Allah.

Masih senada dengan A. Rievar Siregar, dalam pandangan Mustafa Zahri tujuan tasawuf adalah meleburnya perasaan keinsanan pada ke-baqa’-an Allah Swt.

Mengacu pada 2 pendapat termaktub, maka pada intinya tujuan tasawuf adalah ma’rifatullah (mengetahui/mengenal Allah swt dengan sebenar-benarnya).

Seiring berkembangnya  zaman, keberadaan tasawuf seolah tak lagi diminati oleh orang-orang.

Tasawuf malah cenderung dipinggirkan. Ini tentu tak lepas dari corak manusia modern yang cenderung materialistis. Namun manusia modern juga tak dapat sepenuhnya disalahkan.

Pasalnya, corak materialistis tersebut merupakan salah satu dampak dari sistem kehidupan hari ini, di mana mereka yang memiliki harta akan lebih leluasa melakukan apa pun yang diinginkan.

Dalam kondisi yang demikian, sebagian besar orang tak lagi menganggap tasawuf sebagai sesuatu yang penting bagi hidupnya.

Beberapa orang bahkan memberikan klaim negatif pada tasawuf.

Saya meringkas klaim-klaim negatif terhadap tasawuf ke dalam 2 pertanyaan utama, sebagai berikut.

Benarkah Tasawuf Sumber Fatalisme?

Dalam KBBI, fatalisme berarti ajaran/paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib. Sejarah Islam merekam bahwa pada masa lampau telah lahir kelompok fatalisme.

Mereka mewujud dalam mazhab teologi yang disebut Jabariyyah. Secara harfiah, Jabariyyah berakar dari kata “Jabara (جبر)” yang bermakna memaksa.

Aliran Jabariyyah menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kuasa sedikit pun atas apa yang terjadi pada dirinya.

Bagi mereka, semua yang terjadi adalah kehendak Allah swt, termasuk ketaatan dan kemaksiatan masing-masing orang.

Aliran ini lahir di Khurasan, Persia. Tokoh penggagasnya adalah Ja’d ibn Dirham, di kemudian hari pahamnya diteruskan oleh Jahm ibn Shafwan.

Tasawuf sendiri tidak ikut andil dalam proses berdirinya aliran Jabariyyah. Tasawuf dituduh sebagai sumber fatalisme lantaran beberapa ajaran inti di dalamnya, seperti zuhud, sabar, dan tawakkal.

Generalisasi ini tentu tak dapat disetujui begitu saja. Ada sudut pandang dari sebagian tokoh tasawuf terkait beberapa ajaran inti di atas yang patut dipertimbangkan.

Kita ambil contoh dari tokoh yang bernama Abdullah ibn Alwi al-Haddad. Definisi zuhud menurut al-Haddad adalah memandang remeh nilai dunia.

Bagi al-Haddad, orang yang zuhud akan bergeming ketika mendapat godaan duniawi berupa harta atau kedudukan.

Sekilas pandangan dari al-Haddad di atas mengindikasikan fatalisme. Namun, kita mesti membaca lebih dalam lagi.

Dunia diklasifikasikan menjadi 3 macam oleh al-Haddad, yakni al-dunya al-mahmudah (dunia yang terpuji), al-dunya al-mubahah (dunia yang dibolehkan) dan al-dunya al-madzmumah (dunia yang tercela).

Melalui pembagian tersebut, al-Haddad secara tidak langsung mencoba menjelaskan bahwa tidak semua (jenis) dunia mesti dipandang remeh.

Dunia yang masuk dalam kategori al-dunya al-mahmudah (atau minimal al-dunya al-mubahah) justru dapat dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Dengan demikian, jenis dunia yang mesti ditinggalkan, dalam perspektif al-Haddad, adalah al-dunya al-madzmumah, yakni dunia yang menyebabkan manusia meninggalkan ketaaatan dan/atau mendorong pada perbuatan maksiat.

Apakah Tasawuf Memiskinkan Umat?

Masih bersinggungan dengan poin pertama, kali ini saya hendak mengutip sebuah cerita yang cukup masyhur.

Satu hari, seorang sufi yang hidupnya begitu sederhana meminta kepada salah seorang muridnya untuk bertamu ke Mursia (sebuah daerah di Spanyol), tepatnya di rumah guru dari sang sufi tersebut.

Tujuan dari hal ini adalah meminta nasihat dari sang guru. Sesampainya di Mursia, murid tadi heran sebab masyarakat di sana menunjukkan bahwa sang guru tinggal di rumah yang begitu mewah.

Sang murid masih tak percaya karena mulanya ia berpikir akan bertemu dengan sosok yang hidupnya jauh lebih sederhana dari gurunya.

Kendati demikian, murid tersebut tetap menjalankan perintah dari gurunya untuk bertamu dan meminta nasihat.

Namun ia tambah keheranan ketika mendengar nasihat dari sang pemilik rumah. Nasehat itu kira-kira begini, “Jangan terlalu memikirkan dunia!”

Selesai bertamu, murid tadi pun pulang dan menyampaikan semua yang ia lihat dan dengar kepada gurunya.

Sufi sederhana ini lantas menjawab segala keresahan muridnya dengan berucap,

“Guruku benar. Zuhud bukan berarti harus hidup jauh dari harta. Meski hidup guruku tampak diliputi kemewahan, hatinya tetap terpaut pada Allah swt. Sementara aku sendiri, saat makan kepala ikan, masih kerap membayangkan bagaimana makan daging ikan yang sebenarnya.”

Berdasarkan cerita di atas, kita mendapat konklusi bahwa sebenarnya tasawuf sama sekali tak mendorong umat untuk hidup miskin.

Klaim-klaim negatif terhadap tasawuf lahir sebab konsep zuhud diterjemahkan secara ekstrem oleh beberapa orang.

Tentu hal ini tak dapat dijadikan fondasi atas klaim-klaim negatif yang menggeneralisasi.

Pada akhirnya, mesti diakui bahwa tujuan tasawuf adalah ketenangan, bukan kesenangan atau pun kemenangan. Wallahu A’lam. []

Mohammad Azharudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *