Menyelami Keawaman dan Introspeksi Diri Ala Imam Ghazali

 Menyelami Keawaman dan Introspeksi Diri Ala Imam Ghazali

Tulisan ini mencoba menyelami keawaman dan introspeksi diri ala Imam Ghazali yang sekiranya penting untuk dijadikan referensi seorang diri.

HIDAYATUNA.COM – Pergaulan dunia yang semakin terbuka dan instan karena telah banyak teknologi yang memudahkan segala urusan lambat laun menggerus kedirian. Persebaran informasi yang begitu masif memungkinkan setiap orang tahu tentang berbagai hal. Ini kemudian menjadikan banyak diantara kita tidak mengerti tentang kedirian, terutama batas kemampuan dan keawaman.

Orang tidak sadar bahwa dirinya merasa tahu dan mengerti tentang berbagai hal, sampai-sampai tiap kali ada saudara atau temannya bertanya merasa penting untuk bisa menjawab. Meskipun dia sadari apa yang ditanyakan sebenarnya bukan bidang yang dia kuasai. Akhirnya, berbekal pengetahuan ala kadarnya ia memberikan jawaban yang menyesatkan.

Parahnya lagi ketika diprotes bahwa kemudian diketahui jawaban atau solusi yang diberikan salah, ia tidak mau mengakuinya. Tidak jarang bersikukuh dengan dalil pengetahuan yang sepenggal dan kemudian tak ayal menyaksikan perdebatan-perdebatan tidak berujung, karena bersumber pada kebodohan.

Gengsi dan berat untuk mengatakan tidak tahu telah menjangkiti sebagian diantara kita bahkan mungkin diri kita sendiri. Kita seolah tidak menyadari bahwa sesungguhnya sangat awam sekali tentang banyak hal. Banyak sekali yang tidak kita ketahui tentang dunia ini, maka dari itu Imam Ghazali dalam kitabnya Iljamul Awam al-Ilmi al-Kalam mengajak kita untuk bercermin dan introspeksi diri.

Penting sekali menyadari keawaman diri sendiri agara tidak sesat dan menyesatkan. Ditangan orang awam yang tidak sadar agama yang seharusnya membawa rahmah justru dipertontonkan dengan amarah. Jelas bukan kedamaian yang didapat bisa-bisa justru menyulut permusuhan dan pertikaian.

Menjadi Awam

Dalam usaha menjadikan diri awam sebagai anti-tesis dari pemikiran profesionalisme yang menuntut menguasai semua. Imam al-Ghazali memberikan lima poin penting agar seseorang menyadari dan menjadi awam yang baik. Pertama, Mensucikan diri (Taqdis) artinya sebagai seorang muslim harus memasrahkan segala sesuatu kepada Allah SWT. Kepasrahan ini menjadi bentuk puncak dari penghambaan bahwa segala sesuatu dapat terjadi atau tidak terjadi hanya dengan izin Allah SWT.

Kedua,  Beriman dan percaya (Al-iman wa tasdiq) percaya dan membenarkan segalanya tentang kekuasaan Allah SWT. Sebagaimana kita percaya bahwa ikhtiar orang sakit yang pergi ke dokter yang mempercayai diagnosa dan mengikuti anjuran serta resep yang diberikan oleh dokter. Tentu kepercayaan itu tanpa perlu memperdebatkan benar tidak anjuran dan resepnya atau bahkan mencari dalil pembenaran.

Ketiga, Mengakui kelemahan (Al-i’tiraf bi al-Ajri) artinya menyadari sepenuhnya bahwa dirinya tidak ahli dalam bidang tertentu, meski ada yang mengatakan ahli jelas ada yang lebih ahli. Menyadari batas kemampuan sangatlah penting agar tidak muncul sifat sombong dan takabur.

Keempat,  Tidak mempertanyakan (Al-sukut ‘an su’al) yaitu tidak mempertanyakan segala sesuatu diluar batas. Sehingga kita dianjurkan untuk bertanya secukupnya, jangan sampai pertanyaan yang diajukan menyulitkan diri sendiri.

Terakhir atau kelima, Menahan diri untuktidak memberikan komentar tentang segala sesuatu yang tidak dikuasai atau dimengerti (Al-imsak ‘an tsarruf fi al-alfad) misalnya sebagai rakyat tidak serta merta mengkritik kebijakan pemerintah hanya karena kita tidak faham. Baiknya kita mempelajarinya atau meminta penjelasan kepada yang lebih tahu agar tidak salah tangkap. Jika tidak memahami persoalan sebaiknya tidak ikut menambah keruwetan dengan mengeluarkan pendapat tidak jelas.

Lima poin di atas sesungguhnya mengajak kepada kita semua agar tahu porsi dan tahu diri. Kericuhan yang sering kita lihat di media sosial adalah imbas dari tidak menyadari akan keawaman diri masing-masing. Jadinya yang muncul adalah debat kusir, ujaran kebencian dan tidak sengaja menyebarkan hoax. Mari sejenak merenung menyelami keawaman kita masing-masing. Wallahu a’lam.

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *