Menyoal Relasi Ketuhanan: Antara Transaksional dan Relasional

 Menyoal Relasi Ketuhanan: Antara Transaksional dan Relasional

Menyoal Relasi Ketuhanan: Antara Transaksional dan Relasional (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bertambahnya usia manusia sebagai makhluk yang memiliki ragam keterbatasan selalu beriringan dengan meningkatnya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.

Pada saat yang sama, ia juga semakin membutuhkan zat yang tak terbatas sebagai penopang atas keterbatasan yang dimiliki.

Agaknya pada posisi inilah, sebagaimana yang telah diuraikan oleh para cendekiawan bahwa manusia secara naluriah memang butuh akan Tuhan (agama).

Ambil contoh pandangan Quraish Shihab dan Komaruddin Hidayat yang masing-masing dari tesis mereka barangkali terinspirasi dari QS. Al-Fatir/35:15.

Menurut Quraish Shihab, secara kodrati manusia memiliki rasa cemas dan mengharap.

Dengan kata lain, tidak seorang pun yang hidup di dunia bisa luput dari kedua hal tersebut, olehnya manusia pada dasarnya memang butuh akan Tuhan (agama).

Sejalan dengan itu, Komaruddin Hidayat lebih tegas mengatakan bahwa,  membayangkan agama akan lenyap dari kehidupan manusia, sebagaimana anggapan sebagian pemikir modern—hanyalah utopia semata sebab pada kenyataannya banyak persoalan hidup manusia yang tidak bisa dijawab oleh iptek modern.

Berangkat dari kedua pandangan itu, dapat dipahami bahwa titik persoalannya bukan lagi tentang butuh atau tidaknya manusia terhadap Tuhan (agama), melainkan terkait bagaimana cara manusia mengekspresikan kebutuhannya.

Hemat penulis, acap kali dalam mengekspresikan kebutuhan manusia terhadap Tuhan hanya terjebak dengan hubungan yang bersifat transaksional dan cenderung mengabaikan hubungan relasional.

Sebelum lebih lanjut, terlebih dahulu akan diuraikan apa yang penulis maksud dengan hubungan transaksional dan relasional dengan Tuhan.

Sederhananya, dua tipologi ini menggambarkan cara yang berbeda dalam berinteraksi dengan Tuhan lewat Ibadah.

Hubungan relasional dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya mendekati Tuhan yang didasarkan pada cinta, kepercayaan dan keinginan murni untuk terus dekat dengan-Nya.

Konsep ini ditandai dengan cinta, pengabdian dan keintiman spiritual.

Sementara hubungan transaksional sendiri cenderung hanya didasarkan pada pertukaran atau transaksi, di mana seseorang melakukan amalan hanya untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan.

Pola interaksi ini ditandai dengan sifatnya yang kondisional, interaksi baru dilakukan ketika ada permintaan dan  keintiman spiritual yang cenderung kurang.

Dibanding pola interaksi pertama, di era modern pola transaksional tampaknya cenderung lebih dominan.

Hal demikian terjadi tidak lain bersumber dari ketidakmampuan manusia untuk melakukan rekonsiliasi antara iman dan modernitas.

Iman yang mestinya menjadi piranti utama bagi manusia agar dapat ramah terhadap sistem kekuatan pasar justru malah tunduk tersungkur.

Akibatnya agama sebagai lokus utama iman, kini hanya menjadi biduk kecil untuk mencapai keinginan duniawi manusia.

Jauh-jauh hari kecenderungan di atas sebetulnya telah diwanti-wanti oleh para cendekiawan Muslim era klasik.

Di antara beberapa tokoh terkemuka yang sejak awal memberikan kritik atas hal ini ialah al-Ghazali, Ibn Arabi dan Rabi’ah al-Adawiyah.

Meski menggunakan istilah yang berbeda, dalam gagasan kesufian mereka secara substansial sebetulnya berisi ragam kritik atas bias interaksi tersebut.

Agaknya juga tidak berlebihan untuk mengatakan, mereka seirama tentang pentingnya hubungan relasional dengan Tuhan sebagai counter narrative atas dominansi hubungan yang hanya bersifat transaksional.

Namun, karena posisi tulisan ini bukan untuk mendialogkan ketiga pandangan tersebut, saya hanya akan menyebutkan satu tokoh yakni Rabi’ah.

Saya ingin mengajak pembaca untuk menengok kembali untaian doa revolusioner dari Rabi’ah,

Ya Allah jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena menginginkan surga, tutuplah pintu-pintu surga bagiku.

Tapi jika aku menyembah-Mu semata-mata karena cinta kepada-Mu, maka berikanlah balasan-Mu yang besar itu kepadaku. Izinkan aku menyaksikan wajah-Mu yang Agung dan Mulia.”

Kemampuan Rabi’ah dalam memosisikan Tuhan sebagai tujuan utama—alih-alih minta persoalan dunia—menjadi sangat relevan di era modern ini untuk dijadikan bahan renungan dengan merumuskan pertanyaan-pertanyaan reflektif.

Sejauh ini, Tuhan betul-betul diposisikan sebagaimana mestinya atau tidak?

Apakah rasa cinta ke pada-Nya sudah lebih dominan dari cinta terhadap persoalan dunia atau tidak?

Ataukah justru Tuhan malah hanya diposisikan sebagai payung yang dicari ketika hujan datang?

Pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut bukan bermaksud untuk mendiseminasikan bahwa doa atau persoalan dunia tidak penting.

Melainkan hanya ingin mencoba membangun wacana agar iman terhadap Tuhan diletakkan jauh di atas keinginan duniawi.

Terlalu naif rasanya jika dalam setiap ibadah manusia terkesan terus mendikte Tuhan dengan ragam keinginan yang tak berkesudahan.

Pada akhirnya, Tuhan maha mendengar tanpa diberitahu oleh hamba yang mencintainya dengan murni. Wallahu A’lam bi al-Shawab. []

Muh. Rizaldi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *