Kisah Seorang Sufi Menghadapi Seorang Penipu
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Kita semua mengetahui bahwa perbuatan mencela itu salah. Mencela orang lain, mencela milik orang lain, dan mencela apapun itu adalah perbuatan tidak terpuji.
Ketika kita mencela orang lain, secara tidak sadar kita memuji-muji diri kita sendiri. Menganggap diri kita lebih baik dari orang lain dan kemudian membangga-banggakan diri sendiri.
Akibat dari mencela orang lain, kita melakukan dosa-dosa selanjutnya, yaitu ujub, riya’, dan juga takabur.
Kisah berikut ini adalah bukti bahwa sebuah dosa dapat membuat kita melakukan dosa-dosa lainnya, yakni kisah seorang sufi yang menghadapi seorang penipu.
Pada suatu hari, seorang laki-laki pedagang karpet menawarkan karpetnya kepada orang-orang yang lewat di jalan itu.
Orang-orang melihat-lihat karpet yang dijual pedagang itu. Beberapa saat kemudian, datang si Fulan yang ingin membeli karpet.
“Kenapa kau jual karpet yang buruk seperti ini?” kata Fulan pada pedagang itu. “Karpet ini kasar dan sangat usang. Berapa barga kau minta?”
“Lima ratus perak saja,” kata si pedagang.
“Lima ratus?” kata si Fulan seakan tidak percaya. “Kau suruh aku membeli karpet kasar dan buruk ini lima ratus perak? Ada-ada saja kau ini. Karpet seperti ini kebanyakan dijual dengan harga lima perak. Ini aku bayar!”
Pedagang itu tidak berdaya. Ia menerima uang bayaran sangat kecil dan karpetnya dibawa pergi oleh Fulan.
Di tempat lain, si Fulan menawarkan karpet yang dibelinya dari pedagang itu kepada orang-orang. Ia berkoar-koar tentang barang dagangan yang dimilikinya.
“Karpet ini lembut bagai sutra, tak ada yang seperti ini!” kata Fulan kepada calon pembeli.
“Harganya murah, cuma seribu perak! Ayo, beli saja karpet bagus ini! Kalian tidak akan rugi membelinya.”
Pada waktu itu, seorang sufi bernama Athar An-Nisaburi sedang berjalan-jalan di sekitar tempat Fulan menjual karpetnya.
Mendengar si Fulan menawarkan karpetnya yang dibeli dari pedagang tadi, Athar An-Nisaburi berhenti dan melihat-lihat karpet itu.
“Tuan, bisakah engkau masukkan aku ke dalam kotak ajaibmu?” kata Athar An-Nisaburi.
“Kotak ajaib?” kata si Fulan. “Kotak ajaib yang mana? Aku tidak punya.”
“Bukankah engkau punya kotak ajaib yang dapat mengubah karpet kasar dan buruk menjadi karpet yang lembut bagai sutra?” kata sufi.
Si Fulan terkejut dengan pernyataan sufi itu.
“Siapa yang bilang karpet ini kasar dan buruk? Karpet ini paling bagus di antara karpet-karpet yang lain.”
“Tetapi, engkau membeli karpet buruk itu dari pedagang yang lain, bukan?”
“Siapa yang membeli karpet buruk? Karpet ini istimewa?”
“Tetapi, engkau membeli karpet buruk itu dari pedagang yang lain. dengan barga lima perak, bukan?”
“Siapa bilang karpet istimewa ini seharga lima perak? Seribu perak!”
“Engkau tampak lupa semuanya. Tetapi, engkau tidak lupa bahwa kepadakulah engkau membeli karpet buruk ini lima perak, kan?” kata Athar An-Nisaburi sambil mengeluarkan uang lima perak yang diberikan si Fulan untuk membayar karpet itu.
Si Fulan tidak dapat berbuat apa-apa. Dia lupa kepada siapa dia membeli. Dia lupa telah mencela barang dagangan orang lain, tetapi kemudian memuji-mujinya setelah menjadi barang dagangannya.
Orang-orang yang akan membeli tersadar bahwa si Fulan yang menjual karpet itu adalah seorang penipu. Ia telah menipu Athar An-Nisaburi dan kemudian akan menipu orang lain lagi.
Begitulah sifat dosa dari penipu, selalu menganjurkan pelakunya untuk melakukan dosa-dosa lain- nya setelah melakukan dosa sebelumnya. []