Menjadi Muslim yang Multiperspektif di Era Media Sosial

 Menjadi Muslim yang Multiperspektif di Era Media Sosial

Pedoman Bersosial Media Ala MUI (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Semenjak maraknya penggunaan media sosial, persoalan atau isu yang muncul dalam kehidupan kita bergulir dengan begitu cepat. Entah dalam lingkup terkecil sekalipun. Hari ini, isu yang berkembang di media sosial seolah seperti mi instan saja; cepat saji, cepat santap, namun mengandung efek berbahaya bagi kesehatan.

Bukan itu saja, isu yang diproduksi sedemikian rupa oleh media, seringkali hanya menciptakan limbah informasi yang tak hanya membahayakan. Baik bagi diri kita secara personal, melainkan juga lingkungan, dalam artian masyarakat secara luas.

Sering kita temui sebagian media penyedia warta berbasis online yang hanya muncul sebagai pencari klik alias penjual judul (untuk tidak menyebut abal-abal). Media-media seperti ini sering kali hanya membuat berita dengan judul yang bombastis, atau bahkan membuat judul yang melenceng dari konteks isi berita.

Dikonsumsi oleh masyarakat kita yang budaya bacanya rendah, yang tidak mau klarifikasi lebih dulu, jadilah gegeran. Diposting serentak dengan komentar bermacam-macam, dan sesaat kemudian trending.

Pro-kontra kemudian muncul. Begitulah masyarakat kita hari ini. Lebih-lebih kalau menyangkut agama dan bau-bau politik identitas.

Melihat kenyataan seperti ini kita menjadi miris, sekaligus iba. Iba karena sebagian di antara kita budaya membacanya masih tergolong rendah, iba karena kemudian masyarakat kita menjadi sempit cara pandangnya.

Melihat yang beda kelompok menyatakan pendapat yang tidak sejalan saja marah. Kemudian ramai-ramai mem-bully dengan komentar pedas bahkan sarkas. Kelompok masyarakat seperti inilah yang kemudian gampang sekali termakan isu-isu hoaks.

Ketegangan Sosial di Media Sosial

Mirisnya lagi, ketengangan yang sering muncul karena perbedaan pandangan justru terjadi di kalangan umat Islam. Di Indonesia, hal begini hampir setiap saat terjadi, atau setidaknya dalam momentum-momentum tertentu.

Seolah nyaris hanya rehat beberapa hari atau pekan. Reda satu ketegangan, tak lama bakal muncul ketegangan yang lain. Satu kelompok menyerang kelompok lain karena begini, di lain waktu satu kelompok menyerang kelompok lain karena begitu.

Hal baiknya, ketengangan ini hanya terjadi di media sosial. Jarang sekali yang sampai mencuat ke kehidupan nyata hingga menimbulkan konflik di masyarakat.

Namun meski demikian, hal ini masih menjadi keprihatinan. Kita melihat bahwa sebagian masyarakat kita, umat Islam, tidak sedikit yang menyikapi perbedaan dengan kurang bijak.

Egoisme dan klaim kebenaran sepihak semakin menemukan celah untuk subur di tengah kemajemukan. Buntutnya bisa dikatakan adalah perilaku konservatisme beragama seperti intoleransi, meskipun yang paling nyata kemudian hanya berupa intolaransi berpikir.

Intoleransi bersikap atau secara fisik mungkin langsung dapat dikatakan berwujud radikalisme, berupa teror dan semacamnya. Tapi untungnya, yang kedua ini jarang terjadi meskipun ada beberapa dalam rentang beberapa tahun sekali.

Membangun Paradigma Multiperspektif

Pentingnya bersikap terbuka terhadap setiap perbedaan, terlebih dalam urusan agama dan politik, seharusnya disadari dengan penghayatan paling dalam. Sikap inklusif dalam beragama sebenarnya bukan lagi merupakan anjuran, melainkan kewajiban individual.

Dengan hanya bersikap inklusif atau terbuka implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan akan terwujud. Islam bukan sekadar agama yang mengatur hubungan secara vertikal dengan Sang Pencipta, yang berisi tentang tuntunan-tuntunan syariat yang harus ditaati. Lebih dari itu, Islam adalah agama yang sarat nilai.

Sebab itulah karakter beragama dan bermasyarakat kita perlu digeser, setidaknya sedikit demi sedikit, dari yang eksklusif ke yang inklusif. Yang terbuka. Inklusifisme jika diperdalam pemaknaannya sebenarnya tidak lain adalah jalan menuju tatanan masyarakat yang ideal, yang menjunjung asas kebersamaan di dalam perbedaan. Lebih-lebih jika hidup dalam negara plural seperti Indonesia.

Akan tetapi, sikap terbuka tidak akan terwujud jika tidak mempunyai pandangan terbuka. Sementara pandangan terbuka mustahil dimiliki jika selamanya hanya berorientasi pada pandangan kelompok sendiri, atau yang diperoleh dari hasil bacaan yang itu-itu saja, yang satu jenis alias monoton.

Selama masih berkutat dalam lingkup pengetahuan yang sempit itu, pikiran kita tak akan pernah terangkat menuju pandangan yang luas. Buntutnya tetap sama: egoisme dan klaim kebenaran hanya pada kelompok sendiri.

Padahal, melihat kebenaran itu tidak cukup hanya dari satu sisi. Pengetahuan itu sangatlah luas sehingga memungkinkan membaca kebenaran lain dari sisi yang berbeda. Hanya mengandalkan satu dua aspek pengetahuan sebagai jalan justifikasi kebenaran jelas merupakan kekeliruan. Namun seperti inilah yang sering terjadi.

Sebagian kita terlanjur sering menyalahkan yang berbeda dan membuat klaim kebenaran sendiri. Harus diakui, inilah kekeliruan kita mendayagunakan pengetahuan. Yang tidak keliru hanyalah pengetahuan itu sendiri: bahwa ia selalu mencari dan mengarah pada kebenaran.

Memaksimalkan Potensi Diri untuk Menjadi Muslim yang Cerdas

Dari sinilah diskursus kita tentang muslim yang multiperspektif itu menemukan akarnya. Keterbukaan pandangan mensyaratkan kita mengetahui hal-hal di luar apa yang kita yakini sebelumnya.

Perlu disadari, kita merupakan makhluk yang penuh keterbatasan, termasuk keterbatasan pengetahuan. Akan tetapi, di samping itu kita juga diberi kemampuan untuk mengoptimalkan potensi pengetahuan yang ada dan kita miliki. Itulah kelebihan kita sebagai manusia.

Maka dari itu, mendayagunakan potensi pengetahuan sebaik mungkin untuk membaca setiap fenomena dalam kehidupan sangatlah penting. Begitu pun jika langsung ditarik dalam konteks kehidupan beragama dan berpolitik umat Islam.

Fenomena keagamaan yang kerap muncul terutama yang diproduksi oleh media sosial seringkali juga membuat kita pragmatis dalam berpikir. Sebagaimana disebut di awal, kita gampang menyalahkan dan mengklaim kebenaran secara sepihak.

Boleh dikatakan, saat ini umat Islam memang sangat rentan terhadap isu-isu keagamaan ini. Sebagai contoh saja, melihat muslim masuk gereja publik pun menjadi ramai dan sebagian dari kita bahkan meneriaki kafir.

Ini sebenarnya perdebatan kuno, namun mendapat kesempatan baik untuk mencuat ketika yang melakukannya adalah tokoh agama yang tidak disenangi oleh kelompok yang pandangannya sempit. Ini sekadar contoh, dan sudah kelewat jauh. Kita tinggal menunggu isu agama dan politik apa lagi yang bakal geger.

Membaca Persoalan untuk Memecahkan Masalah

Kita perlu sadar bahwa Islam itu sendiri kaya sudut pandang. Membaca persoalan dalam internal agama pun bisa dilihat menggunakan berbagai kacamata pengetahuan, apalagiĀ  membaca persoalan di luar itu.

Membaca persoalan di luar agama menggunakan kacamata agama bisa dibenarkan, namun itu terlampau sempit. Sekali lagi, kemungkinan besar hanya akan memperoleh moral judgement, gampang menyalahkan dan memberi klaim kebenaran sepihak.

Maka dari itu, membangun paradigma atau sudut pandang yang multiperspektif itu sangat penting. Multiperspektif mengisyaratkan sudut pandang yang kita bangun dalam melihat setiap persoalan harus kompleks. Tidak sekadar mengandalkan satu dua sudut pandang pengetahuan.

Dengan begitu, kita akan menjadi muslim yang kaya sudut pandang, yang membaca setiap fenomena dengan bijak melalui kemampuan daya pikir yang optimal.

Kemampuan mengoptimalkan nalar inilah yang akan membawa pada sikap seperti toleransi, moderasi beragama, kepekaan sosial yang tinggi, dan sikap-sikap lain. Sikap yang mencerminkan impelementasi nilai-nilai Islam.

Sederhanyanya, hasil dari cara pandang yang multiperspektif itu adalah perilaku beragama dan bermasyarakat yang luwes, tidak kaku, namun kritis membaca keadaan. Sederhanya lagi: tidak gegeran.

Rofiki Asral

Penikmat kopi hitam, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *