Jangan Mudah Mencela dan Memberi Label Kafir

 Jangan Mudah Mencela dan Memberi Label Kafir

Jangan Mudah Mencela dan Memberi Label Kafir (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Apa yang dipahami dari hadits shahih berikut ini:

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Artinya: “Mencela muslim itu kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.”

Secara zhahir, hadits ini bisa saja dijadikan sebagai dasar untuk mengkafirkan muslim yang berperang sesama mereka.

Tapi zhahir ini tidak diambil para ulama. Kenapa? Karena ada ayat yang berbunyi:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

Artinya:

“Jika ada dua kelompok orang beriman saling berperang maka damaikanlah di antara keduanya.”

Allah Swt tetap menamakan mereka sebagai mukmin meskipun mereka saling memerangi. Berarti, zahir hadits di atas mesti ditakwil.

Bisa jadi yang dimaksud dengan kufur dalam hadits itu adalah kufur nikmat atau kufur di bawah kufur. Intinya kufur di sana bukan kufur yang mengeluarkan dari Islam.

Masalah takfir (mengatakan seseorang kafir) merupakan masalah lama yang kerap menjadi penyebab perpecahan dalam tubuh umat Islam.

Ada yang terlalu mudah mengeluarkan statement kafir. Ada juga yang terlalu berat melabeli kafir meski terhadap orang yang secara tegas menyatakan kekafirannya.

Kafir adalah hukum syar’iy. Ia boleh, bahkan mesti dikeluarkan pada objek yang tepat dan dari orang yang juga tepat (berkompeten dan diberikan kewenangan untuk itu).

Cap kafir yang diberikan secara sembarangan merupakan bukti bahwa orang yang melontarkan cap itu tidak punya rasa takut pada Allah Swt, tidak mengerti bagaimana proses takfir, terjebak dalam fanatik atau antipati buta terhadap seorang tokoh atau kelompok.

Islam adalah agama yang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi semua orang. Karena itu Islam memudahkan setiap orang untuk memeluknya.

Tidak ada syarat-syarat tertentu selain syahadat dengan lisan. Tidak ada interview. Tidak ada rekam jejak. Tidak ada juga pertanyaan, “Apa tujuanmu masuk Islam? Apakah sukarela atau terpaksa?”

Bahkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, diriwayatkan bahwa Nabi Saw berkata pada seorang laki-laki dari Bani Najjar, “Islamlah…”

Laki-laki itu menjawab, “Saya merasa tidak suka.”

Nabi Saw bersabda:

أسلم وإن كنت كارها

Artinya: “Islamlah meskipun engkau masih tidak suka (terpaksa).”

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi diceritakan ada seseorang datang pada Nabi Saw.

Ia ingin masuk Islam tapi dengan syarat ia hanya akan melaksanakan shalat dua kali dalam sehari, dan Nabi Saw menerima syarat itu.

Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya:

عن وهب قال: سألت جابرا عن شرط ثقيف إذ بايعت، قال: اشترطت على النبي صلى الله عليه وسلم أن لا صدقة عليها ولا جهاد، وأنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم بعد ذلك يقول: «سيتصدقون ويجاهدون إذا أسلموا»

Artinya:

“Dari Wahab, ia berkata: Aku bertanya pada Jabir tentang syarat yang diajukan suku Tsaqif ketika akan masuk Islam. Ia menjawab,

“Tsaqif mensyaratkan pada Nabi bahwa mereka tidak akan membayar zakat dan tidak akan berjihad.”

Dan ia mendengar Nabi Saw setelah itu bersabda: “Nanti mereka akan bersedekah dan berjihad kalau sudah masuk Islam.”

Kemudahan ini diiringi dengan kesulitan untuk mengeluarkan seseorang dari Islam. Imam Thahawi menukil dari para ulama Hanafiyyah:

لا يخرج الرجل من الإيمان إلا جحود ما أدخله فيه

Artinya:

“Seseorang tidak keluar dari keimanan kecuali dengan mengingkari apa yang telah memasukkannya ke dalam iman itu.”

Karena itu seseorang tidak dicap sebagai kafir kecuali :

Pertama, ia mendustakan apa yang dibawa oleh Rasulullah secara pasti, seperti tidak mempercayai bahwa Allah Swt Maha Mengetahui segala sesuatu, mendustakan hari kiamat, dan sebagainya.

Kedua, mengingkari sesuatu yang bersifat ‘diketahui dari agama secara pasti’ (معلوم من الدين بالضرورة) seperti mengingkari kewajiban shalat, keharaman zina dan sebagainya.

Ketiga, dadanya lapang dengan kekafiran, artinya itu menjadi pilihannya, bukan karena ketidaktahuan, dipaksa, atau karena syubhat.

Perlu dicatat bahwa para ulama muhaqqiqin tidak sembarangan dalam melabeli kafir pada orang yang tampak melakukan perbuatan kafir.

Karena menghukumi perbuatan A adalah kafir tidak serta-merta pelakunya langsung dicap sebagai kafir.

Perlu dilakukan dua hal: menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat (إقامة الحجة وإزالة الشبهة), dan itu dilakukan oleh orang berkompeten dan diberikan kewenangan untuk menanganinya.

Di antara takfir yang banyak tersebar, dulu dan sekarang, adalah takfir bil lazim (التكفير باللازم) ; menghukum kafir karena ia mengucapkan atau melakukan sesuatu yang membawa pada kekafiran, meskipun ucapan atau perbuatan itu sejatinya (فى حد ذاته) tidaklah mengkafirkan.

Di antara contoh takfir bil lazim yang serampangan adalah apa yang diceritakan Imam al-Muqbili dalam al-’Ilm asy-Syamikh:

Pernah ada orang yang menyembunyikan sandal seorang faqih. Sang faqih sangat marah. Ia pun berkata pada orang itu, “Engkau telah kafir karena engkau telah merendahkan ulama.

Merendahkan ulama berarti merendahkan syariat. Itu berarti merendahkan Rasul yang membawa syariat.

Merendahkan Rasul berarti merendahkan Zat Yang mengutus Rasul, dan merendahkan Tuhan berarti kafir.”

Maka jangan coba-coba menyembunyikan sandal seorang alim. Wallahu a’lam. []

 

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *