Pemimpin yang Bijak dan Alim yang Tawadhu
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Seorang pemimpin tidak mesti alim. Tapi setidaknya ia memiliki dasar-dasar keilmuan syariat yang memadai.
Sehingga ketika berinteraksi dengan umat yang dipimpinnya, apalagi para ulamanya, ia tak kelihatan polos apalagi bodoh.
Ulama juga mesti tawadhu. Kalau ditegur atas kesalahan yang ia lakukan mesti berlapang dada bahkan berterimakasih.
Karena tak jarang seorang alim tersalah bahkan dalam hal-hal yang sangat biasa. Karena sifat dasar manusia adalah lupa.
Perpaduan antara pemimpin yang bijak dan alim yang tawadhu merupakan impian setiap orang yang semoga menjadi kenyataan.
Imam al-Kisa’iy, seorang alim yang hujjah dalam bahasa dan qiraat, bercerita:
“Suatu kali saya mengimami shalat. Di antara makmumnya adalah Khalifah Harun ar Rasyid. Saya merasa kagum pada bacaan sendiri. Akibatnya saya salah membaca ayat yang anak kecil saja tak akan salah membacanya. Ketika akan membaca:
لعلهم يرجعون
Saya malah membaca:
لعلهم يرجعين
Artinya: “Demi Allah, Harun ar Rasyid tidak lancang mengatakan, “Salah.”
Setelah salam, Harun berkata: ” Wahai Kisa’iy, dialek apa tadi yang engkau baca?”
Saya menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, terkadang kuda pun bisa terpeleset.”
Mendengar pengakuan itu Harun berkata, “O begitu…”
Setelah menulis kisah ini dalam kitabnya Siyar A’lam Nubala’, Imam Dzahabi menulis:
“Seorang alim bagaimanapun dalam ilmunya dan luas pengetahuannya, tak akan lepas dari kesalahan dan kekhilafan, dan itu tidak akan mengurangi nilai keilmuan dan derjat kemuliaannya.”
أحسن الله تأديبنا
[]