Toxic Masculinity, Bukti Laki-laki Dirugikan juga oleh Struktur Patriarki
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Beberapa waktu lalu, saya berbincang panjang dengan salah satu teman laki-laki saya, sebut saja R. Di penghujung obrolan kita, R protes soal obrolan saya yang selalu melihat keberadaan sistem patriarki dengan perspektif perempuan.
Karena menurutnya laki-laki juga dirugikan atas keberadaan sistem tersebut.
Hampir luput dari pikiran saya, ternyata membaca struktur patriarki dengan perspektif atau pengalaman laki-laki juga penting.
Agar urusan perjuangan ‘keadilan gender’ tidak dianggap hanya perjuangan perempuan saja, melainkan perjuanga bersama perempuan dan laki-laki.
Misalnya pada saat laki-laki sudah tumbuh dewasa, dia akan dituntut bekerja dan harus tumbuh mapan secara ekonomi.
Ketika ingin menikah, laki-laki yang ‘ideal’ harus sudah memiliki rumah sendiri, kendaraan sendiri, serta pekerjaan dengan gaji besar.
Hal tersebut tidak lain agar dianggap ‘layak’ untuk menikahi seorang perempuan.
“Padahal urusan rumah, ekonomi keluarga, dan apapun yang berhubungan dengan properti rumah tangga kelak harusnya menjadi tanggung jawab bersama, perempuan dan laki-laki,” protes R.
Urusan kesiapan ekonomi serta pemutusan tempat tinggal memang penting dipikirkan matang sebelum menikah.
Namun, tidak secara penuh tanggungjawab tersebut diberikan kepada laki-laki, ini bisa dipikirkan bersama.
“Laki-laki juga manusia biasa, ada yang mampu dan ada yang juga tidak,” lanjut R.
Sebenarnya tidak ada salahnya jika laki-laki sebelum menikah ingin mapan secara ekonomi, memiliki rumah sendiri dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar.
Justru yang salah jika hal tersebut menjadi standarisasi laki-laki ‘ideal’, bagaimana nasib laki-laki yang ingin membangun ekonomi keluarga secara bersama-sama dengan sang istri?
Selain itu, laki-laki juga dibatasi secara ekspresi, dia akan dipertanyakan ‘kejantanannya’ jika berekspresi cenderung feminin.
Misalkan laki-laki yang ‘jantan’ tidak mudah menangis dan memperlihatkan rasa sedihnya, padahal menangis adalah bagian dari mengekspresikan diri dan itu manusiawi.
Tuntutan laki-laki yang harus mengambil alih tanggungjawab ekonomi dalam keluarga serta tidak menunjukan ekspresi lemah adalah bagian dari upaya ‘patriarki’ untuk menjadikan laki-laki tetap berada di posisi supurior atas perempuan dalam struktur masyarakat.
Toxic Masculinity Merampas Hidup Laki-laki
Toxic masculinity atau maskulinitas beracun lahir dari konstruksi patriarki yang mengotak-ngotakan sikap, perilaku bahkan peran gender antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Raewyn Connell, seorang sosiolog asal Australia menjelaskan bahwa toxic masculinity adalah standarisasi sikap atau sifat seorang laki-laki secara berlebihan.
Di mana jika laki-laki tersebut tidak sesuai ‘standarisasi’ yang telah ditetukan maka dia akan di cap sebagai ‘laki-laki lemah’ atau ‘tidak jantan’ dan lain-lain.
Toxic masculinity ini menuntut laki-laki untuk tidak menunjukkan emosi sedih dan mengeluh, serta menganggap bahwa laki-laki hanya boleh mengekspresikan keberanian dan amarah, tidak perlu menerima bantuan dan tidak boleh bergantung pada siapa pun, harus memiliki kekuasaan dan status sosial yang tinggi agar bisa dihormati oleh orang lain, berperilaku kasar dan agresif, serta mendominasi orang lain khususnya perempuan.
Standarisasi laki-laki ‘jantan’ ini adalah upaya dari patriarki untuk menyeragamkan laki-laki yang jelas berbeda.
Hal tersebut tidak lain untuk mempertahankan struktur patriaki di masyarakat, yaitu dengan cara menyeragamkan laki-laki dengan memiliki sifat dan sikap ‘maskulin’ sama persis.
Di mana ‘maskulin’ ini dianggap bisa mendominasi perempuan yang cenderung ‘feminin’.
Padahal tidak semua laki-laki dengan latar belakang yang berbeda-beda memiliki keinginan yang sama, maka jelas upaya penyamarataan tersebut adalah bentuk pembatasan terhadap laki-laki.
Terlebih faktanya dalam setiap diri laki-laki ataupun perempuan memiliki sisi feminin dan maskulinnya, apakah sikap feminin itu selalu jelak?
Tidak juga, begitupun apakah sifat maskulin selalu baik? Tidak juga. Pada dasarnya keduanya sama-sama baik, apa lagi jika dikolaborasikan.
Laki-laki Baru Butuh Feminisme
Toxic masculinity ini sangatlah berbahaya, karena membatasi definisi sifat seorang laki-laki dan mengekang pertumbuhannya dalam bermasyarakat.
Selain itu toxic masculinity juga memberikan beban dan tekanan mental bagi laki-laki karena tidak boleh menunjukkan emosi berupa rasa sedih dan tangisan karena dianggap sebagai karakteristik feminin dan hanya boleh dilakukan oleh perempuan.
Dalam hal ini, kita sepakat bahwa ternyata struktur patriarki merugikan laki-laki juga.
Peran gender yang rijid, laki-laki harus begini dan perempuan harus begitu juga sangat membatasi gerak laki-laki, karena laki-laki juga berhak tumbuh dan berkembang menjadi subjek yang dia inginkan.
Maka terciptanya ‘keadilan gender’ dan mendobrak struktur patriarki menjadi cita-cita bersama laki-laki dan perempuan.
Untuk mendobrak Toxic masculinity tersebut ternyata laki-laki membutuhkan feminisme juga.
Karena feminisme tidak hanya memperjuangkan hak perempuan untuk mengisi ruang yang umumnya diisi oleh laki-laki, namun juga untuk memperjuangkan kebebasan laki-laki untuk tidak mengikuti standar maskulinitas.
Sekali lagi bukan untuk meghilangkan status maskulnitas dalam diri laki-laki, namun membebaskan laki-laki untuk akhirnya jujur dengan ekspresi gender yang disukai.
Sudah menjadi hak laki-laki untuk memilih pakaian seperti apapun, perilaku bagaimanapun, serta menempati peran gender yang diinginkan.
Maka kehadiran feminisme dengan semangat mendobrak ‘peran yang rijid’ tersebut menjadi peting untuk laki-laki.
Jadi tidak ada alasan lagi untuk laki-laki tidak ikut serta dalam perjuangan keadilan gender, karena ternyata laki-laki juga dirugikan oleh sistem patriarki tersebut.
Sesungguhnya masyarakat adil gender tercipta dari kolaborasi antara perempuan dan laki-laki dalam mendobrak ‘bias gender’ tersebut. []