Belajar Feminisme: Belajar Kemanusiaan Perempuan

 Belajar Feminisme: Belajar Kemanusiaan Perempuan

Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad dan Perjuangan Perempuan ((Ilustrasi/Freepik_redgreystock)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Salah satu ihwal yang sering kita dapatkan ketika mendengar suatu kata yang berkonotasi negatif yang disepakati oleh masyarakat, kita cenderung menolak keras untuk menggunakan kata tersebut. Feminisme, misalnya.

Mendengar kata ini, kita seolah membayangkan seseorang yang kerap kali tidak bisa diatur, liar dan tidak pemberontak.

Ideologi ini juga ditolak karena asalnya dari Barat, bertentangan dengan Islam. Bahkan stigma yang muncul adalah, menjadi feminis sama saja menjauhkan diri dari Islam.

Argumen ini saya dapatkan ketika suatu waktu, bertemu dengan seseorang yang, cukup vokal dalam menyuarakan isu-isu terkini. Ia tidak lain adalah perempuan, aktivis kampus. Saya berkesempatan untuk mengobrol dengannya,

“Apa yang paling menjadi penghambat kamu ketika menjadi aktivis kampus,” tanya saya.

“Saya cukup banyak menemukan kekesalan dalam gerakan yang saya lakukan tidak mendapatkan dukungan dari sesama perempuan. Bahkan ada yang saling judging dan hal tidak mengenakkan lainnya,” ucapnya dengan nada yang cukup sedih.

Obrolan kami tidak berhenti pada topik tersebut. akan tetapi saya bertanya sampai pemahaman feminisme yang menjadi dasar gerakan yang dilakukan.

“Saya justru tidak sepakat dengan feminisme kak. Kenapa? Karena feminisme itu bertentangan dengan Islam. Lagian kan feminisme asalnya dari Barat kak. Buat apa juga ikut ideologi tersebut kalau tidak bisa dijadikan landasan gerakan keperempuanan yang saya lakukan,” nadanya begitu meyakinkan untuk saya dengarkan.

Berbicara tentang perempuan, penting untuk meng-highlight kerentanan seorang perempuan, salah satunya ketidakadilan gender.

Fenomena ini bisa menciptakan subordinasi, seperti anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, atau sekedar pelengkap bagi seorang laki-laki.

Hal ini juga bisa terjadi di dalam ruang lingkup rumah tangga ataupun masyarakat secara sosial.

Peminggiran perempuan terus terjadi selama kita menganggap bahwa fenomena sosial semacam ini bukanlah ketimpangan.

Jika pikiran ini terus mengakar, maka selamanya kita melanggengkan budaya yang tidak ramah terhadap perempuan.

Saya terus mengobrol dengannnya berkenaan dengan feminisme. Bagi saya penting untuk berdialog dengan pemahaman yang dimiliki.

Berkenaan dengan feminisme, barangkali tidak hanya satu atau dua orang saja yang beranggapan buruk tentang feminisme.

Jauh dari itu, ketika menyebut seorang feminis, maka yang muncul dalam benak adalah stigma negatif yang muncul.

Padahal, jika ditarik dalam pandangan Islam, feminisme merupakan upaya sebuah penyetaraan agar tercipta perilaku adil terhadap perempuan sebagai makhluk Allah Swt.

Upaya ini mengapa penting? Kalau kita melihat realitas yang terjadi, kekerasan, diskriminasi, ketidakdilan yang dialami oleh perempuan, menyebabkan kerentanan perempuan menjadi korban.

Feminisme tidak bertentangan dengan Islam karena pada prinsipnya memiliki hubungan erat dengan teologi Islam. Jika Islam memandang bahwa perempuan wajib berpendidikan sama halnya seperti laki-laki.

Maka feminisme menolak keras penindasan perempuan yang tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak.

Argumen di atas sejalan dengan pandangan Buya Husein Muhammad, yang dalam tulisannya selalu menangkat tema tentang perempuan dan Islam.

Gagasan feminisme Islam yang diusung oleh Buya Husein adalah sebuah terobosan baru untuk menjawab keresahan masyarakat yang menganggap bahwa feminisme bertentangan dengan Islam.

Menurut Buya Husein, masalah penindasan terhadap perempuan adalah masalah besar.

Sebab perempuan adalah bagian dari manuia dan jenis manusia, dan ketika perempuan dijadikan nomor diam aka ini sebenarnya adalah besar bagi kemanusiaan.

Kenyataan ini semakin memperkuat pandangan bahwa, apabila kita menganggap perempuan keberadaannya sama dengan laki-laki, maka persoalan kekerasan, pelecahan yang dialami oleh perempuan sama halnya dengan kasus kriminalitas lainnya.

Belajar feminisme adalah belajar bagaimana melihat realitas di atas, yang dialami oleh perempuan adalah masalah berat.

Jika feminisme menjadi landasan berpikir dan gerakan, maka sikap kritis ketika melihat kerentanan yang dialami oleh perempuan, kita tidak ada tinggal diam.

Gerakan-gerakan perlawanan akan kita lakukan karena melihat ketidakadilan.

Dalam Islam, ketika melihat relasi laki-laki dan perempuan, prinsip dasar Al-Qur’an memperlihatkan pandangan yang egaliter dan menjunjung nilai-nilai humanisme universal.

Nilai universal ini bisa diwujudkan dengan upaya-upaya menegakkan keadilan, kesetaraan, kebebasan dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain tanpa melihat jenis kelamin. Artinya, itu semua berlaku universal.

Dengan demikian, bisa kita maknai bahwa feminisme tidak bertentangan dengan Islam.

Belajar feminisme berarti belajar kemanusiaan perempuan. Melihat perempuan secara utuh sebagai manusia, dan akan simpati ketika ketidakadilan tercipta atas dasar kemanusiaan. []

Muallifah

Mahasiswa S2 Universitas Gajah Mada, Penulis lepas

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *