Tafsir Sastrawi Perspektif Amin al-Khuli

 Tafsir Sastrawi Perspektif Amin al-Khuli

Mengenal Utbah bin Ghazwah: Sahabat Rasulullah Sang Pendiri Basrah (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Sejak dini harus dikemukakan terlebih dahulu bahwa tafsir terhadap Alquran bukan sesuatu yang tabu. Meski, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu atau yang mempunyai kompetensi di bidangnya.

Penafsiran-penafsiran baru terhadap teks Alquran terbuka sama sekali. Ada kemungkinan besar untuk melakukan penafsiran yang lebih segar sehingga, dari tesis dasar semacam itu tidak ada sebuah ketakutan untuk mengerahkan seluruh kekuatan demi mencapai makna yang objektif. Di sini, ada banyak andil para pemikir—dari klasik sampai kontemporer—untuk khazanah tafsir.

Semula di priode klasik model tafsir hanya berdasarkan riwayah(periwayatan), yaitu di beberapa ayat yang tidak bisa dipahami secara jelas. Dengan itu, penafsiran terhadap teks Alquran cenderung dari lisan ke lisan(oral). Meski, ada beberapa kitab yang secara lengkap menulis corak riwayah ini.

Pada abad pertengah lebih cenderung memberi akal porsi untuk menafsiri teks Alquran. Di priode ini pula, nuansa dan latar belakang dari penafsir (mufassir) ikut mengonstruk corak tafsirnya. Dengan itu, produk tafsir di fase ini tidak kalis dari sosio-kultural sang penafsir.

Baru di era modern, penafsiran lebih cenderung kepada spirit Alquran sebagai petunjuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi (shalil li kulli al- zaman wa makan). Tafsir pada periode ini dipelopori oleh sepasang guru-murid, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Tafsir Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha

Abduh memandang bahwa corak tafsir sebelumnya(abad pertengahan) cenderung bersifat politis dan memuat unsur-unsur ideologis penafsir. Dari itu, Abduh mengembangkan sebuah penafsiran baru guna mencari pemaknaan yang lebih objektif. Hal tersebut yang juga memantik Amin al-Khuli dengan metode tafsir sastrawi.

Amin al-Khuli yang besar di kalangan orang yang dekat dengan Alquran tentu punya kompetensi untu model tafsir sastrwi yang digagasnya. Kakeknya seorang pakar qira’ah yang merupakan alumni Universitas al-Azhar.

Amin al-Khuli sendiri menempuh pendidikan di salah satu lembaga yang mendukung gerakan reformasi Muhammad Abduh. Dari latar belakang seperti itu, pemikiran dari Amin al-Khuli ihwal tafsir sastrawi ini patut untuk mendapat perhatian.

Fokus kajian Amin al-Khuli di bidang sastra dan Alquran menghasilkan kawin silang keduanya. Tafsir sastrwi ini berangkat dari kesadaran al-Khuli yang mengasumsikan Alquran sebagai kitab sastra terbesar.

Keindahan gaya bahasa, artistik kalimat, di dalamnya yang mendukung hipotesa dari al-Khuli tersebut. Dengan begitu, untuk memhami apa yang terkandung di dalam Alquran perlu untuk menggunakan pendekatan-pendekatan kebahasaan, kritik sastra Arab, sampai entitas bernama linguistik.

Untuk mencapai itu, al-Khuli mengklasifikasikan dua kritik dan kajian. Pertama, kritik ekstrinsik(an-Naqd al-Khariji) dan kedua, kritik intrinsik(an-Naqd al-Dakhili). Maujud pertama menelisik faktor eksternal sepanjang perjalanan Alquran, sementara yang terakhir lebih spesifik terhadap teks itu sendiri. [Habiburrahman, 2019: 118]

Metode Tafsir Sastrawi

Sementara itu, ada dua metode lain yang tidak bisa dilepaskan dari konsep tafsir sastrawi ini. Pertama, kajian seputar Alquran dan sekitarnya(dirasah ma hawla Alquran). Kedua, kajian tentang Alquran dalam dirinya sendiri (dirasah ma fi Alquran).

Entitas yang pertama dikelompokkan menjadi dua entitas lain, yaitu kajian khusus yang dekat dengan Alquran dan kajian umum yang jauh dengan Alquran. Kajian khusus antara lain, hal-hal yang menyangkut langsung terhadap Alquran seperti proses turunnya ayat yang gradual, kodifikasi, perkembangan Alquran di tengah masyarakat Arab.

Kajian umum yang jauh tiada lain adalah hal-hal yang menyagkut sosio-kultural di mana Alquran berkembang dan kondisi sekitar itu.

Dalam kajian Alquran mengenai dirinya sendiri (dirasah ma fi Alquran) yang lebih spesifik dan mengarah terhadap teks. Di sini, andil dari tafsir sastrawi yang menurut saya lebih mencolok.

Semula yang dibahas adalah pencarian entri kata dalam Alquran itu serta dilanjutkan dengan pencarian maknanya yang terdekat. Sehingga, pemilihan makna tersebut digunakan setelah proses pengunggulan antara satu makna dengan makna yang lain(tarjih).

Dilanjutkan dengan mencari makna fungsional di dalam Alquran untuk melangkah dari pemaknaan etimologis. Serta diteruskan dengan pengamatan terhadap susunan kalimat(murakkabat). Pada proses pencarian di bagian susunan kalimat ini, penafsir sebisa mungkin menggunakan bantuan ilmu bahasa dan sastra, dari balaghah sampai nahwu.

***

Demikian, sepercik pemikiran mengenai tafsir sastrawi dari Amin al-Khuli. Meski, tidak banyak buku yang ditulisnya karena keadaan yang saat itu tidak mendukung, namun masih ada beberapa bukunya yang menjadi rujukan di bidang tafsir dan sastra. Di antaranya ialah Fi al-Adab al-Mishri(1943) dan Fann al-Qawl(1947) serta Manahij Tajdid Fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab.

Motto yang paling keras dari Amin al-Khuli dalam melakukan pembaruan(tajdid) adalah Awwalu al-tajdid qatl qadim fahman, awal pembaruan dengan cara mematikan pemahaman lama.

Dengan jalan berpikir demikian, ia sama sekali tidak takut untuk melakukan pembaruan-pembaruan. Bahkan, buah pikirannya ini turut mewarnai khazanah tafsir di era modern, sekaligus menunjukkan bahwa penafsiran terhadap Alquran bukan sesuatu yang menakutkan.

M Rofqil Bazikh

Mahasiswa jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dan bermukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis di berbagai media cetak dan online. Bisa dijumpai di surel mohrofqilbazikh@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *