Polemik Fikih dan Tasawuf di Masa Silam

 Polemik Fikih dan Tasawuf di Masa Silam

Polemik fikih dan tasawuf di kerajaan Aceh (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Di masa silam, agama Islam di negeri ini pernah mengalami masa-masa kelam. Sekian kejadian tercatat di banyak buku berkaitan dengan polemik-polemik perbedaan keilmuan yang diturunkan dalam sejumlah laku berislam: fikih dan tasawuf.

Kejadian paling populer adalah wafatnya Syekh Siti Jenar. Mengapa demikian? Sebab ilmunya dinilai belum waktunya untuk didistribusikan kepada masyarakat yang baru mulai mengenal agama Islam.

Ada banyak tafsir yang muncul berkaitan dengan kejadian itu. Namun secara sederhana, saya memahaminya sebagai tindakan Syekh Siti Jenar yang ingin mengenalkan diri-Nya sebagai Mahapengasih dan Mahapenyayang, serta segala sifat kelembutan-Nya.

Sedangkan di sisi lain, pintu pertama untuk memahami Islam bukan tasawuf, melainkan fikih. Hal ini dengan mempelajari formalitas yang ada di dalam agama Islam terlebih dahulu.

Polemik Fikih dan Tasawuf di Kerajaan

Di Kerajaan Aceh tempo dulu, polemik antara fikih dan tasawuf juga pernah terjadi. Polemik itu diawali dari ajaran wahdatul wujud-nya Hamzah Fansuri yang peroleh apresiasi baik di masyarakat setempat.

Sekian sumber literatur menduga Hamzah Fansuri hidup di pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17 di Barus. Abad saat Kerajaan Aceh menuju pada kemakmurannya.

Ajaran ini menurut Adib Sofia di bukunya Sisi Lain Nuruddin ar-Raniry (2021) berpijak pada hadis qudsi, man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu. Sederhananya, hadis tersebut bisa diartikan dengan barangsiapa telah mengenal dan mengetahui dirinya, maka pasti ia telah mengetahui Tuhannya.

Namun implementasi dalam kesehariannya boleh jadi menjadi rumit dan sulit. Sebab sekian ikhtiar untuk mengenal diri sendiri memerlukan waktu sepanjang hidup. Bahkan ada banyak manusia yang belum mengenal dirinya dengan benar sampai ajal menjemput.

Hamzah Fansuri mencatat perjalanannya dalam mencari diri sendiri ke dalam sebuah syair. Penggalan syair itu tertulis:

Kenal dirimu hai anak jamu/Jangan lupa akan diri kamu/Ilmu hakikat yogya kau ramu/Supaya terkenal ali adamu//Jika kau kenal dirimu bapai/Elokmu itu tiada berbagai/Hamba dan Tuhan da’im berdamai/Memandang diri jangan kau lalai.

Syair itu peroleh tafsir dari Abdul Hadi W.M di bukunya Kembali ke Akar Kembali ke Sumber (1999). Kutipan tafsirnya: “… tujuan dari peniadaan/penafian diri (fana’) ialah mengenal diri sejati dan diri yang dinafikan ialah diri rendah.”

Tasawuf yang Lekang oleh Zaman

Memang di banyak kejadian, manusia melulu lupa diri bahwa esensi dirinya itu sebagai makhluk. Melalui setumpuk harta dan sekian jabatan yang diperoleh, secara tidak sadar malah menjerumuskan manusia pada laku-laku yang bersifat sombong, emoh peduli dengan liyan, dan cenderung ingin menang sendiri.

Padahal tanpa kuasa-Nya, manusia tidak memiliki dan tidak bisa apa-apa. Pun ketika peroleh musibah dan peristiwa celaka, di situ, sifat manusia yang mendaku sebagai hamba dengan doa meminta pertolongan-Nya terlihat.

Ajaran tasawuf dari Hamzah Fansuri ini, yang kemudian dilanjutkan oleh Syamsuddin as-Samatrani peroleh masa-masa puncaknya. Sebab di masa Syamsuddin as-Samatrani itu, ia didapuk sebagai guru sekaligus menjadi penasihat dari Sultan Iskandar Muda.

Pemimpin yang membawa Kerajaan Aceh pada puncak kejayaan yang sampai hari ini masih diingat melalui berbagai catatan di banyak literatur. Akan tetapi, ajaran tasawuf di Kerajaan Aceh ini tidak bertahan sampai runtuhnya kerajaan itu sendiri.

Sekitar paruh pertama abad ke-16 M, ada ulama dari India yang datang ke Kerajaan Aceh. Adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry al-Quraisyi al-Sayfii.

Narasi kedatangannya bermula dari pamannya, Syekh Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid ar-Raniry yang tiba lebih dulu di Aceh untuk urusan dagang, belajar ilmu agama, dan menjajaki daerah baru yang dinilai menjadi pusat peradaban Islam di masa itu.

Bersamaan dengan itu, Syekh Nuruddin ar-Raniry masih membekali dirinya dengan belajar berbagai ilmu agama di banyak tempat dengan sekian guru. Setelah dirasa cukup, ia berangkat ke Aceh.

Benturan Antara Tasawuf dan Fikih

Kedatangan pertama Syekh Nuruddin ar-Raniry kurang memperoleh sambutan yang baik. Sebab di situ, tasawuf dengan mufti Syamsuddin as-Samatrani yang didukung oleh pihak kerajaan masih menjadi ajaran resmi. Namun usai wafatnya Syamsuddin as-Samatrani yang disusul Sultan Iskandar Muda, Syekh Nuruddin ar-Raniry mulai merapat ke Kerajaan Aceh.

Ahmad Daudy di bukunya Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syekh Nuruddin ar-Raniry (2002) memberi keterangan: “Pada waktu Syekh Nuruddin berada di Aceh untuk kedua kalinya (1637 M), yang menjadi sultan adalah menantu Iskandar Muda, yaitu Iskandar Sani… Karena kepercayaan ini dan perlindungan Sultan, Syekh Nuruddin mendapat kesempatan yang baik untuk menyanggah ajaran wujudiyyah dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani”.

Dari babakan ini, tasawuf dan fikih mengalami benturan yang cukup hebat dalam sejarah Islam di negeri ini. Banyak murid dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani yang dibunuh karena dinilai telah kafir dan emoh bertobat. Selain itu, sekian karangan kitab mengenai tasawuf (ajaran wujudiyyah) dibakar di halaman Masjid Raya Baitur Rahman Aceh.

Polemik seperti ini boleh jadi akan terulang dikemudian hari. Dengan catatan, baik tasawuf dan fikih masih mendaku sebagai pelaku yang sah dalam berislam. Mungkin akan lebih arif ketika keduanya saling beriringan, tidak perlu ada pemilahan, serta menyadari kesamaan orientasi untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Toh, dalam proses berislam, tasawuf dan fikih sama-sama diperlukan. Kendati keduanya memiliki titik tekan untuk peran yang berbeda. Bukankah sandaran keduanya sama-sama merujuk pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW?

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *