Peta Sejarah Lahirnya Ilmu Ushul dan Kaidah Tafsir Alqur’an
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Keberadaan ilmu ushul dan kaidah tafsir Alqur’an menjadi sangat penting karena ibarat bangunan, ia adalah pondasinya dan alat-alat bangunannya.
Ushul dan kaidah tafsir sangat penting sebagai alat untuk memahami Alqur’an. Siapa saja yang ingin memahami (baca:menafsirkan) Alqur’an, tidak sah jika ia tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang kedua ilmu tersebut.
Pengertian Ushul dan Kaidah Tafsir
Khalid Abdurrahman Al-‘Ak dalam bukunya Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu mendefiniskan ushul al-tafsir sebagai berikut:
المناهج التى تحد وتبين الطريق الذي يلتزمه المفسر في تفسير الأيات الكريمة
Artinya: “Metode yang digunakan oleh mufasir untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran al-Karim.”
Sedangkan kaidah tafsir didefinisikan oleh Khalid Usman al-Sabt dalam Qawaid al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan sebagai:
الأحكام الكلية التى يتوصل بها استنباط معاني القرأن ومعرفة كيفية الإستفادة منها
Artinya:
“Aturan-aturan umum yang digunakan untuk memahami makna-makna Alqur’an dan cara menggunakan aturan-aturan tersebut.”
Tafsir sendiri dimaknai sebagai:
توضيح معني الأية وشأنها وقصتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ يدل عليه دلالة ظاهرة
Artinya:
“Menjelaskan makna ayat, kandungannya, kisahnya dan sebab-sebab yang mengitarinya melalui dalil yang jelas.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ushul al-tafsir adalah perangkat analisisnya (teori), kaidah tafsir adalah aturan-aturan dalam mempergunakan perangkat tersebut, sedangkan tafsir adalah proses dan produknya.
Kronologi Munculnya Ilmu Ushul dan Kaidah Tafsir
Secara kronologis, sebagaimana dirangkum oleh Syaikh Usman al-Sabt bahwa ilmu ini muncul pertama kali pada abad ke-2 Hijriyah, masih menyatu dengan ilmu Ushul Fiqh.
Kitab Ushul al-Fiqh perdana di abad ini adalah kitab al-Risalah karya imam al-Syafi’i. Di dalam kitab tersebut, al-Syafi’i membuat beberapa bab/tema diantaranya tentang ‘am-khas, nasikh-mansukh, mujmal-mufasshal, amr-nahi dan lain-lain.
Abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah, ilmu ushul dan kaidah tafsir menyusup ke kitab-kitab tafsir dan lughah di era Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wilu Musykil al-Qur’an, Ibnu Jarir al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, al-Thahawi dan al-Jassash dalam Ahkam al-Qur’an dan Ibnu Faris dalam kitabnya al-Shahabi fi Fiqh al-Lughah.
Abad ke-5 dan ke-6 Hijriyah, pretelan tema-tema ushul dan kaidah tafsir banyak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir, ushul al-fiqh dan lughah. Pada periode ini, kitab-kitab tafsir mulai banyak dikarang, dan kitab-kitab ushul fiqh disusun ulang oleh para ulama di zamannya.
Di antara kitab-kitab tersebut adalah al-Ihkam karya Ibnu Hazm, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh karya al-Juwaini, Ushul al-Fiqh karya al-Syarkhasi, al-Mustashfa karya al-Ghazali dan masih banyak lagi.
Abad ke-7 dan ke-8 Hijriyah, mulai nampak benih-benih ilmu ushul dan kaidah tafsir dengan munculnya kitab Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir karya Ibnu Taimiyah dan al-Taisir fi Qawaid Ilm al-Tafsir karya Muhammad bin Sulaiman al-Kafiji.
Meski benihnya telah muncul di abad ke-7 dan ke-8 Hijriyah, namun tema-tema bahasannya belum menyeluruh dan belum sistematis.
Bahkan beberapa masih menyelip dalam kitab-kitab Ulum al-Qur’an seperti al-Burhan fi Ulum Alqur’an karya al-Zarkasyi dan sebagian yang lain masih menyatu dengan kitab-kitab tafsir seperti al-Bahru al-Muhith karya Abu Hayyan al-Andalusi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Ibnu Kasir dan beberapa kitab karya Ibnu Rajab.
Abad ke-14 Hijriyah menjadi babak baru lahirnya ilmu ushul dan kaidah tafsir sebagai ilmu yang mandiri (ilmun mustaqillun), ditandai dengan lahirnya kitab al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an karya Abdurrahman bin al-Su’di.
Beberapa tahun kemudian muncul kitab yang sangat sistematis, menyeluruh dan rumusan-rumusan kaidahnya terbilang baru seperti kitab karya Syaikh Khalid Abdurrahman al-‘Ak yang berjudul Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, Qawaid al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan karya Khalid Usman al-Sabt, Qawaid al-Tarjih ‘Inda al-Mufssirin karya Husain bin Ali bin al-Husein al-Harbi, dan lain-lain.
Aplikasi Ushul dan Kaidah Tafsir dalam Alqur’an
Diantara bahasan-bahasan dalam ushul al-tafsir adalah iltifat, nasikh-mansukh, munasabah dan masih banyak lagi. Tentang iltifat ini, ulama kemudian membuat kaidah-kaidahnya (kaidah tafsir/qawaid al-tafsir). Misalnya:
من شأن العرب أن تبتدأ الكلام أحيانا على وجه الخبر عن غائب ثم تعود إلى الخبر عن المخاطب والعكس. وتارة تبتدأ الكلام على وجه الخبر عن المتكلم ثم تنتقل إلى الخبر عن الغائب والعكس. وأحيانا تبتدأ الكلام على وجه الخبر عن المتكلم ثم تنتقل إلى الخبر عن المخاطب، كما تنتقل من خطاب الواحد أو الإثنين أو الجمع إلى خطاب الأخر وتنتقل من الإخبار بالفعل المستقبل إلى الأمر ومن الماضي إلى المضارع والعكس
Artinya:
“Di antara kebiasaan orang Arab terkadang memulai/membuat kalimat pernyataan (kalam khabar) dalam bentuk gaib (orang ketiga),
Kemudian tiba-tiba berganti dalam bentuk khitab (orang kedua), dan sebaliknya. Terkadang kalimat tersebut menggunakan bentuk mutakallim (orang pertama),
Kemudian tiba-tiba beralih menjadi bentuk ghaib (orang ketiga), dan sebaliknya. Atau dari bentuk mutakallim, kemudian beralih kepada bentuk mukhatab.
Sebagaimana berpindahnya dari bentuk mufrad, tasniyah atau jamak ke bentuk yang lain. Atau dari bentuk madhi menjadi bentuk amar, atau dari bantuk madhi menjadi bentuk mudhari’, atau sebaliknya.”
Di antara contohnya adalah surah al-Baqarah ayat 49-50:
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ ۚ وَفِي ذَٰلِكُم بَلَاءٌ مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ ﴿٤٩﴾ وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ ﴿٥٠﴾
Artinya:
Terjadi peralihan (iltifat) pada ayat tersebut. Yaitu dari lafal najjainakum (dari bentuk madhi najja) menjadi anjainakum (dari madhi anja).
Tujuan terjadinya peralihan ini adalah bahwa penyembelihan terhadap bayi-bayi laki-laki oleh Fir’aun tidak menyeluruh terjadi kepada semua bayi yang lahir dari rahim perempuan-perempuan Bani Israil, dan pemberlakuannya tidak dilakukan secara rutin setiap tahun.
Nabi Musa misalnya yang lahir di saat Fir’aun memberlakukan hukum tersebut, sedangkan Nabi Harun dilahirkan pada masa kekosongan.
Pada ayat selanjutnya, Allah mengganti sighat dari najja menjadi anja yang menegasikan bahwa pada akhirnya Allah menyelamatkan semua penduduk Bani Israil – tak terkecuali – dari siksaan Fir’aun (penyembelihan dan siksaa-siksaan lain) dengan cara mengakhiri hidup Fir’aun dan menghancurkan kerajaannya. Hal ini sekaligus menandai hancurnya imperiur Fir’aun di Mesir.
Contoh lain adalah kaidah dari nasikh-mansukh:
ليس في القرأن ناسخ إلا والمنسوخ قبله في الترتيب إلا في أيتين
Artinya:
“Dalam Alqur’an, posisi nasikh pasti terletak setelah ayat yang mansukh, kecuali pada dua ayat.”
Di antara dua ayat yang dimaksud adalah surah al-Baqarah ayat 234 dan 240 tentang masa berlakunya iddah bagi perempuan pasca kematian suaminya.
Menurut mayoritas ulama, ayat 240 (iddah 1 tahun) di-mansukh oleh ayat 234 (menjadi 4 bulan 10 hari).
Jika merujuk pada kaidah di atas, maka seharusnya ayat yang di-mansukh adalah ayat 234, dan ayat nasikh-nya adalah ayat 240 karena ayat nasikh datangnya belakangan. []