Paradigma Islam terhadap Eksistensi Manusia: Konsep Khalifah fi al-Ardh

 Paradigma Islam terhadap Eksistensi Manusia: Konsep Khalifah fi al-Ardh

Mengenal Empat Tingkatan Manusia (Ilust/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Eksistensi bisa dikatakan sebagai salah satu aliran filsafat yang mengulas keberadaan manusia di dunia ini. Aliran tersebut menyatakan bahwa keberadaan manusia berbeda dengan keberadaan benda-benda lain. Musababnya karena manusia menyadari keberadaannya, sementara benda-benda lain tidak.

Manusia merupakan topik sentral dalam filsafat eksistensi. Banyak hal mendasar ditanyakan dalam filsafat ini. Misalnya, apa itu manusia? Dari mana datangnya? Ke mana akhirnya? Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis.

Islam sendiri menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan khusus dibanding makhluk Allah SWT. lainnya. Kelebihan tersebut berupa kesempurnaan fisik dan akal yang dapat membuat manusia mampu membedakan antara yang hak dan yang batil. Kaitannya dengan kesempurnaan fisik manusia, Alquran telah menyinggungnya dengan jelas dalam surat al-Tiin ayat 4 berikut.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sungguh! Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Dalam menjalani kehidupan, manusia mengalami berbagai dinamika. Tertawa dan menangis, suka dan duka, tumbuh kesadaran terhadap diri dan lingkungan, juga tumbuh kemampuan berpikir dan memahami bahasa di sekitarnya.

Hal tersebut merupakan buah dari kehadiran akal. Peran akal tak berhenti di situ, ia juga menjadi penyeimbang nafsu. Sayangnya, banyak manusia tak menyadari hal tersebut.

Mereka justru membiarkan nafsu mendominasi diri mereka sehingga timbullah berbagai perbuatan amoral. Bila yang terjadi demikian, maka tak menutup kemungkinan derajat manusia malah jadi lebih rendah daripada hewan.

Keberadaan Manusia Menurut Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi mengungkapkan bahwa keberadaan manusia―dalam hal ini yang tergolong insan kamil―layaknya ruh bagi alam semesta. Sementara itu alam semesta sendiri dianggap sebagai bentuk fisik. Sebagaimana hukum yang berlaku, bentuk fisik tidak akan memiliki makna tanpa ruh di dalamnya.

Artinya alam semesta ini tidak akan memiliki arti tanpa kehadiran manusia (insan kamil). Berdasar korelasi tersebut, Ibn ‘Arabi menganggap bahwa insan kamil merupakan fondasi bagi alam semesta. Bila alam semesta hancur, itu berarti―secara kosmologis―jumlah insan kamil telah benar-benar habis.

Endang Daruni Abdi pernah berpendapat bahwa secara hakikat manusia memiliki 3 kodrat, yakni susunan kodrat, kedudukan kodrat, dan sifat kodrat. Melalui sisi ‘susunan kodrat’, manusia dipandang memiliki dua unsur utama (jasmani dan rohani).

Dalam masyarakat Jawa hal tersebut diistilahkan dengan ‘loro-loroning atunggal’. Beralih ke sisi ‘kedudukan kodrat’, manusia dipandang memiliki dua kedudukan pula.

Pertama, manusia berkedudukan sebagai makhluk Tuhan; kedua, manusia berkedudukan sebagai makhluk yang dapat berdiri sendiri dan memiliki dimensi sosial (keinginan untuk hidup bersama orang lain).

Sementara itu, dari sisi ‘sifat kodrat’, manusia juga memiliki dua sifat yakni sifat individual dan sifat membutuhkan bantuan manusia lain. Hal inilah yang lantas mengantarkan manusia disebut sebagai makhluk yang memiliki sifat monodualisme.

Posisi Manusia sebagai Khalifah dalam Alquran

Posisi manusia sebagai Khalifah fi al-Ardh tercantum jelas dalam surat al-Baqarah ayat 30 berikut.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Dan (ingatlah!) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”. Dia berfirman, “Sungguh! Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

 Secara etimologis, kata ‘khalifah’ bermakna ‘pengganti’. Melalui karyanya yang berjudul Mufradat fi Gharib Alquran, al-Raghib al-Isfahani mengungkapkan bahwa dalam ayat tersebut manusia diberi tugas untuk menggantikan pihak lain.

Makna dari tugas tersebut yakni manusia melaksanakan sesuatu atas nama yang ia gantikan. Berangkat dari hal termaktub, maka kata ‘khalifah’ bisa bermakna ‘jenis lain dari makhluk sebelumnya’; bisa juga bermakna ‘pengganti Allah swt dalam mengelola bumi’.

Penciptaan Manusia Bukan Kesia-siaan

Dalam surat al-Baqarah ayat 30 tersebut, Allah swt telah menegaskan bahwa penciptaan manusia (Adam) sebagai khalifah bukan semata untuk kesia-siaan. Terdapat makna luhur yang tersirat dalam pengangkatan Adam sebagai khalifah sekaligus dalam proses pengajaran untuknya tentang nama-nama benda di sekitar.

Adam―dalam hal ini mewakili manusia―lantas menjadi satu-satunya makhluk Allah swt yang tahu cara bercocok tanam. Di masa berikutnya bahkan manusia mengalami perubahan yang sangat pesat. Kejadian tadi (pengangkatan Adam sebagai khalifah) juga menjadi indikasi bahwa kedudukan ilmu lebih tinggi daripada ibadah. Namun, bukan berarti di sini terjadi proses penafian ibadah.

Justru kejadian tadi menegaskan bahwa ibadah yang didasari ilmu jauh lebih utama daripada ibadah tanpa dasar ilmu. Bahkan kita juga telah mafhum bahwa yang disebut terakhir (ibadah tanpa ilmu) merupakan satu bentuk kerusakan yang besar.

Relasi antara manusia (sebagai khalifah) dengan alam bukan merupakan relasi antara penakluk dengan yang ditaklukkan. Relasi yang terjadi sebenarnya relasi kebersamaan dalam ketaatan kepada Allah swt. Meski manusia memiliki kemampuan mengelola (menguasai) alam, tetapi hal tersebut bukan murni berasal dari dirinya sendiri.

Kemampuan menguasai alam tersebut didapat sebab Allah swt telah menundukkan alam untuk manusia. Oleh sebab itu, bisa diketahui bahwa konsep ‘khalifah fi al-ardh’ bukan bermaksud menjadikan manusia sebagai penguasa mutlak di muka bumi.

Konsep tersebut secara tidak langsung menuntut adanya interaksi (baik sesama manusia maupun dengan alam) yang bisa menghadirkan kemanfaatan untuk masing-masing pihak. Wallahu A’lam.

 

 

 

Sumber Rujukan

 

Helmi, Zul. “Konsep Khalifah fil Ardhi dalam Perspektif Filsafat: Kajian Eksistensi Manusia sebagai Khalifah”, Intizar, vol. 24, no. 1. 2018.

Hudori, Hudori. 2017. Eksistensi Manusi (Analisis Kritis Eksistensialisme Barat dan Islam). Skripsi. Lampung: IAIN Raden Intan.

Sumanto, Edi. “Esensi, Hakikat, dan Eksistensi Manusia (Sebuah Kajian Filsafat Islam)”, El-Afkar, vol. 8, no. 2. Juli-Desember 2019.

 

 

Mohammad Azharudin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *