Menyingkap Konstruksi Fikih Perempuan Huzaemah Tahido Yanggo

 Menyingkap Konstruksi Fikih Perempuan Huzaemah Tahido Yanggo

Mengapa Sunat Perempuan Tidak Perlu? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Barangkali nama Huzaemah Tahido Yanggo tidak setenar Husein Muhammad dalam skop Indonesia apalagi disandingkan dengan Amina Wadud atau Fatimah Mernissi.

Tidak begitu banyak orang yang mengetahui keberadaan perempuan yang lahir di Donggala, Sulawesi Tengah ini.

Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk mengabdikan diri di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta beberapa kampus lain di sana.

Jika ada perempuan yang bisa diklaim kompeten dalam bidang fikih perbandingan—lazim disebut muqaramah al-mazahib—barangkali dia orangnya.

Gelar magisternya ia raih di Universitas al-Azhar Kairo pada studi Ilmu Fikih Perbandingan Mazhab pada 1982.

Sementara di tahun 1984 ia berhasil menggaet gelar dotor dari program studi dan universitas yang sama.

Setidaknya satu buku yang dalam hemat saya merepresentasikan pikirannya, Fikih Perempuan Kontemporer.

Untuk menyingkap gagasan-gagasan Huzaemah(beserta beberapa bagian mengganjal) saya merujuk ke buku tersebut.

Pembacaan atas atas pandangannya terkait hal-hal kasuistik yang menyangkut perempuan akan dijabarkan kemudian.

Yang jelas ia adalah satu dari sekian pemikir muslim (baik lelaki maupun perempuan) yang dengan lantang berteriak: fikih klasik masih dihegemoni nalar pakriarki!

Dengan pijakan seperti itu, Huzaemah mencoba untuk memberikan sebuah alternatif baru dengan fikih perempuannya.

Sepanjang pembacaan saya terhadap tawaran yang diajukannya, ia tidak mempunyai satu pakem metodologis.

Tidak seperti Faqihuddin Abdul Kodir dengan Qira’ah Mubadalah­-nya, Huzaemah hanya menjawab hal-hal kasuistik.

Pertama ia seperti mengajukan sebuah kasus-kasus yang berkaitan dengan perempuan yang kemudian dicari solusinya.

Dengan bangunan yang seperti itu kita tidak dapat menggunakan paradigma yang dipakai pada kasus yang berbeda.

Alih-alih dibangun dari metodee deduktif, paradiganya malah berpijak pada kasus induktif. Akhirnya, ada banyak kasus yang muncul belakangan dan tidak mungkin terjawab oleh bangunan fikih perempuan Huzaemah ini.

Perspektif yang Inkonsisten

Ada satu sisi menarik yang tidak akan ditemukan oleh pembaca yang kurang cermat.

Di bagian di mana Huzaemah membahas terkait dengan kodrat perempuan dan kaitannya denagan pekerjaan.

Kendati ia, sebagaimana saya demonstrasikan di awal mengusung perspektif kesetaraan, namun ternyata masih ada bias patriarkinya.

Pada bagian ketika ia menilik dampak negatif perempuan pekerja(h.67) ia membatasi pekerjaan perempuan pada hal yang tidak membutuhkan kekuatan fisik.

Dengan kata lain ia masih berada pada asumsi fisik perempuan tidak sekuat lelaki.

Masih di dalam domain dampak negatif perempuan karier, tidak lain adalah anggapan bahwa pekerjaan rumah cenderung terbengkalai.

Ia berargumen bahwa dalam berkarier seharusnya tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai istri.

Yang dimaksudnya Huzaemah sebagai kewajiban tidak lain adalah pekerjaan domestik yang dilimpahkan pada istri.

Ini tentu tidak sejalan dengan perspektif muslim-feminis belakangan yang menyatakan pekerjaan rumah itu urusan bersama sehingga terjadi ketersalingan antara suami dan istri.

Dan bagian yang menggelitik saya adalah pandangannya terkait dengan korban pelecehan.

Pertama ia menganggap bahwa Islam telah melakukan upaya preventif untuk pelecehan seksual. Busana muslim yang tertutup rapat diklaim oleh Huzaemah sebagai upaya preventif itu.

Dengan kata lain, korban pelecehan bisa dipicu atas ketidaktaatan akan mekanisme tersebut.

Sederhananya, seandainya menutup aurat kemungkinan tidak akan dilecehkan.

Jika melibatkan kasus pelecahan belakangan yang menimpa banyak perempuan yang berbusana sangat muslimah, tentu asumsi Huzaemah ini terpatahkan seketika.

Dalam tesmak saya, ia masih berputar di argumentasi penertiban tubuh perempuan.

Feminis-Patriarkis

Dari pembacaan saya dan dari argumentasi Huzaemah yang tidak konsisten tidak berlebihan jika saya memberi label feminis-patriarkis.

Tentu banyak orang yang tidak sepakat dengan frasa yang saya gunakan ini. Apalagi jika ditilik dari aturan main logika formal yang salah satu fundamennya tidak lain adalah ‘asas nonkontradiktif’.

Tidak mungkin satu entitas mempunyai dua atribusi yang bertolak belakang. Tetapi, jika Anda membaca sendiri dengan teliti maka akan ditemukan bagian di mana ia mengusung kesetaraan.

Pada bagian lain masih membuka peluang posisi perempuan menjadi sangat marjinal.

Barangkali ini memang corak pikirannya yang menjadi ciri khas dari Huzaemah. Ia sendiri dengan lantang menolak pembebasan perempuan sebagaimana di Barat.

Sebabnya, masih ada bagian-bagian  orisinil(kalau tidak kepingan-kepingan) dari fikih klasik dalam fikih perempuan kontemporernya.

Seandainya ia masih ada saya yakin bahwa ia mungkin akan merevisi pandangan-pandangannya dan kemudian disesuikan dengan konteks hari ini.

Hanya saja ia telah mangkat dan beristirahat dengan tenang pada 2021 lalu. Semoga pikiran-pikirannya masih terus menggema sebagai kekayaan khazanah yang kita milih. Semoga!  []

M Rofqil Bazikh

Mahasiswa jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dan bermukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis di berbagai media cetak dan online. Bisa dijumpai di surel mohrofqilbazikh@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *