Menilik Sejarah Puasa, Salah Satu dari Tiga Ibadah Tertua

 Menilik Sejarah Puasa, Salah Satu dari Tiga Ibadah Tertua

Menilik Sejarah Puasa, Salah dari Tiga Ibadah Tertua (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Ibadah puasa disebut-sebut sebagai salah satu ibadah tertua yang spesial karena balasan puasa langsung dibalas oleh Allah, dan ibadah eksklusif karena termasuk ibadah rahasia yang hanya diketahui Allah.

Ada yang mengatakan bahwa puasa termasuk ibadah tertua, karena telah menjadi rutinitas para nabi terdahulu. Di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 18:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 18)

Menurut Muhammad Abduh dalam al-Manar, bahwa ayat ini menegaskan tentang kewajiban puasa yang telah dibebankan oleh Allah kepada para Nabi dan umat-umatnya.

Abduh menambahkan bahwa tradisi berpuasa juga telah dikenal oleh para penganut politeisme (wasaniyyun), bangsa Yunani dan Romawi, khususnya para perempuan, mari menilik sejarahnya sebagai salah satu ibadah tertua.

Tradisi Puasa dalam Agama Yahudi dan Nashrani

Sebagai salah satu ibadah tertua, kesejarah dan pengalaman tradisi puasa dapat dilacak melalui beberapa riwayat.

Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wili Ay Alqur’an mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “al-shiyam” adalah puasa Ramadhan, sebagaimana yang pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim.

Kewajiban puasa ramadhan ini kemudian diwariskan kepada orang-orang mukmin setelah Nabi Ibrahim, dan berlanjut sampai kepada Nabi Muhammad dan umatnya.

Sementara yang dimaksud dengan ‘ala al-ladzina min qablikum menurut Al-Thabari, sebagaimana yang ia kutip dari Mujahid adalah orang-orang Yahudi.

Qatadah menambahkan bahwa sejak dulu, Allah telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada seluruh manusia, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum mereka.

Namun, sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, Allah terlebih dahulu mewajibkan kepada umat Islam untuk berpuasa tiga hari setiap bulannya.

Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ala al-ladzina min qablikum adalah orang-orang Nashrani.

Al-Sudi mengatakan bahwa Allah telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum Nashrani.

Mereka tidak diperkenankan makan dan minum setelah tidur (dari setelah waktu isya’ sampai waktu isya’ hari berikutnya).

Dan selama berpuasa, mereka tidak diperkenankan menggauli istri-istri mereka.

Rupanya, kondisi yang demikian menjadi beban bagi mereka. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengalihkan waktu puasa mereka pada pertengahan musim panas dan musim dingin.

Mereka mengatakan, “Sebagai gantinya, kami akan menambah puasa 20 hari,” sehingga puasa mereka menjadi 50 hari.

Orang-orang Islam masih terus melakukan puasa sebagaimana yang dilakukan orang-orang Nashrani (tidak makan dan minum, juga tidak menggauli istri-istri mereka), termasuk Abu Qais bin Shurmah dan Umar bin al-Khtthab, sampai pada akhirnya Allah menghalalkan makan, minum dan menggauli istri-istri mereka sampai terbitnya fajar.

Puasa Nabi Adam ‘alaihissalam

Dikisahkan dalam kitab Umdat al-Qari komentar atas kitab Sahih al-Bukhari bahwa Nabi Adam rutin mengerjakan puasa tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan, yang kemudian dalam syari’at Nabi Muhammad dikenal dengan puasa ayyam al-bid (puasa-puasa putih).

Di dalam kitab tersebut disebutkan sebagai berikut:

إِنَّمَا سُمِيَتْ بِأَيَّامِ الْبِيْضِ لِأَنَّ آدَمَ، عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام، لَمَّا أُهْبِطَ إِلَى الأَرْضِ أَحْرَقَتْهُ الشَّمْسُ فَاسْوَدَّ. فَأَوْحَى الله تَعَالَى إِلَيْهِ أَنْ صُمْ أَيَّامَ الْبِيْضِ، فَصَامَ أَوَّلَ يَوْمٍ فَأَبْيَضَّ ثُلُثُ جَسَدِهِ، فَلَمَّا صَامَ الْيَوْم الثَّانِي اِبْيَضَّ ثُلُثَا جَسَدِهِ، فَلَمَّا صَامَ الْيَوْمَ الثَّالِثَ اِبْيَضَّ جَسَدُهُ كُلًّهُ

Artinya:

“Dinamakan ayyam al-bidh karena ketika Nabi Adam diturunkan ke bumi, kulit beliau terbakar oleh panasnya matahari, sehingga kulitnya menjadi hitam. Kemudian Allah memberinya wahyu agar berpuasa pada hari-hari putih (tanggal13,14 dan 15). Nabi Adam pun menjalankan wahyu tersebut. Ketika beliau berpuasa di hari pertama (tanggal 13), sepertiga warna kulitnya menjadi putih. Puasa hari kedua dua pertiga warna kulitnya menjadi putih, dan pada hari ketiga seluruh kulitnya menjadi putih.”

Dikisahkan juga bahwa Nabi Adam juga berpuasa setiap tanggal 10 Muharram untuk memperingati hari pertemuannya dengan Siti Hawa di Arafah, yang kemudian dalam syari’at Nabi Muhammad dikenal dengan puasa sunnah tanggal 10 Muharram (hari Asyura’).

Puasa Nabi Nuh dan Nabi-Nabi Setelahnya

Masih dalam tafsir Jami’ al-Bayan disebutkan riwayat bahwa Nabi Nuh berpuasa tanggal 10 Muharram ketika beliau diselamatkan Allah dari banjir bandang yang menenggelamkan negerinya.

Kapal yang ditumpanginya berlabuh bersama kaumnya dan berbagai jenis hewan bawaannya dengan selamat di gunung Judy tepat pada tanggal 10 Muharram.

Sebagai manifestasi syukur kepada Allah, beliau memerintahkan umat dan hewan-hewan bawaannya untuk berpuasa.

Ibnu Hibban mengutip riwayat dari Ibnu Umar bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda bahwa Nabi Nuh juga memiliki rutinitas berpuasa menahun kecuali dua hari raya.

Nabi Ya’qub juga dikabarkan berpuasa dan puasanya diperuntukkan bagi anak-anaknya. Nabi Yusuf, anaknya juga berpuasa selama menjalani masa hukuman di penjara.

Kemudian Nabi Musa juga mengerjakan puasa selama 40 hari pada setiap tahunnya. Puasa 40 hari ini juga dilakoni oleh orang-orang Yahudi, namun puasa-puasa tersebut dalam perjalanannya diselewengkan.

Selain Nabi Musa, Nabi Isa juga mengerjakan puasa 50 hari setiap tahunnya. Lalu Nabi Daud terkenal dengan puasa Daudnya.

Bahkan Nabi Muhammad menyebutnya dengan sebaik-baik puasa sunnah. “Puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Nabi Daud. Ia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.”

Puasa dalam Syari’at Nabi Muhammad      

Dalam kitab Tarikh al-Salat fi al-Islam disebutkan bahwa puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada bulan Ramadlan tahun 2 H.

Sedangkan dalam kitab Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu diterangkan puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun 2 H.

Menurut Yusuf Qaradhawi puasa Ramadhan diwajibkan secara bertahap, dengan mempertimbangkan kesiapan umat Islam waktu itu.

Ia membagi tahapn ini menjadi dua, yaitu tahapan opsional (marhalah al-takhyir) dan tahapan ketetapan serta kewajiban (marhalah al-ilzam wa al-takhtim).

Yang dimaksud dengan tahapan opsional adalah bahwa dulu di awal-awal Islam, puasa belum diwajibkan. Ia hanya bersifat takhyir (opsional).

Artinya, orang Islam yang mampu berpuasa, diberi dua pilihan, 1). berpuasa dan tahapan inilah yang lebih utama, 2). boleh tidak berpuasa dengan konsekuensi membayar fidyah (memberi makan satu orang fakir-miskin).

Sedangkan tahapan ketetapan dan kewajiban artinya adalah penghapusan dari tahapan opsional menjadi sebuah kewajiban yang sifatnya permanen.

Tahapan kedua ini, dibagi lagi oleh Yusuf Qaradhawi menjadi dua, 1). Tahapan penyulitan (tasydid) dan 2). Tahapan keringanan dan toleransi (al-takhfif wa al-rahmah).

Pada tahapan tasydid, orang-orang Islam diperbolehkan makan, minum dan menggauli istri-istri mereka namun waktunya hanya dibatasi sebelum mereka tidur atau sebelum mereka mengerjakan salat Isya’.

Jika mereka sudah tertidur atau sudah mengerjakan salat isya’, maka ketiga-tiganya menjadi haram.

Sedangkan pada tahapan al-takhfif wa al-rahmah karena Allah telah memberikan toleransi bagi umat Islam untuk makan, minum dan bagi pasangan suami-istri diperbolehkan melakukan hubungan badan di sepanjang malam pada bulan Ramadhan asal fajar belum terbit. []

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *