Bagaimana Hukumnya Berpuasa Ramadhan Tapi Meninggalkan Sholat?
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Sholat fardhu atau sholat lima waktu dalam agama Islam merupakan ibadah yang paling utama dan merupakan amalan pertama yang akan dihisab.
Di tengah bulan puasa Ramadhan, tentu banyak umat muslim yang melaksanakan puasa Ramadhan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tak sedikit pula umat muslim yang meninggalkan sholat meski melaksanakan puasa Ramadhan.
Lalu, bagaimanakah hukumnya apabila seorang muslim melaksanakan ibadah puasa Ramadhan tetapi meninggalkan sholat fardhu?
“Antara hamba (mukmin) dan kafir ialah meninggalkan shalat.” (HR. Ibnu Majah)
Maksud hadis tersebut adalah bahwa meninggalkan shalat dapat menjadi perantara seorang untuk menjadi kafir.
Guna menjawab pertanyaan bagaimanakah hukumnya apabila seorang muslim melaksanakan ibadah puasa Ramadhan tetapi meninggalkan sholat fardhu, pertama perlu diketahui terlebih dahulu mengapa orang tersebut meninggalkan sholat.
Apakah alasan orang tersebut meninggalkan sholat disebabkan oleh kemalasan ataukah pengingkaran terhadap kewajiban melaksanakan sholat itu sendiri.
Mengapa penting mengetahui alasan seorang muslim meninggalkan sholat? Karena keduanya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.
Hasan Bin Ahmad al-Kaf dalam kitab Taqriratus Sadidah fi Masail Mufidah menjelaskan:
له حالتان: فتارة يتركها جحودا وتارة يتركها كسلا: إذا تركها جحودا، أي: معتقدا أنها غير واجبة هو كالمرتد……..، إذا تركها كسلا: وذلك بأن أخرجها عن وقت الضرورة فهو مسلم
Artinya:
“Ada dua kondisi orang yang meninggalkan shalat: meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya dan meninggalkan shalat karena malas.
Orang yang masuk dalam kategori pertama, maka ia dihukumi murtad. Sementara orang yang meninggalkannya karena malas, hingga waktunya habis, maka ia masih dikatakan muslim.”
Menurut pendapat di atas, maka orang yang meninggalkan sholat dengan alasan mengingkari kewajibannya, maka otomatis puasanya batal.
Sebab dia sudah dianggap murtad (keluar dari agama Islam) dan hal tersebut merupakan salah satu hal yang dapat membatalkan puasa.
Sedangkan apabila seseorang meninggalkan sholat dengan alasan malas atau sibuk maka statusnya masih seorang muslim dan secara esensial puasanya tidak batal.
Meski puasanya tidak batal serta tidak wajib meng-qadha, namun puasa yang ia lakukan tersebut menjadi tidak bernilai apa-apa dan berkurang pahalanya.
Dalam kitab Taqriratus Sadidah dijelaskan sebagai berikut:
بطلات الصوم هي قسمان: قسم يبطل ثواب الصوم لا الصوم نفسه، فلا يجب عليه القضاء، وتسمى محبطات. وقسم يبطل الصوم وكذلك الثواب – إن كان بغير عذر- فيجب فيه القضاء، وتسمى مفطرات
Artinya:
“Pembatalan puasa itu dibagi menjadi dua kategori: pertama, pembatalan yang merusak pahala puasa, namun tidak membatalkan puasa itu sendiri.
Kategori ini dinamakan muhbithat (merusak pahala puasa) dan tidak diwajibkan qadha; kedua, sesuatu yang dapat membatalkan puasa dan merusak pahalanya.
Bila melakukan ini tanpa udzur, maka wajib mengqadha puasa di hari lainnya. Kategori ini dinamakan mufthirat (membatalkan puasa).”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka meninggalkan shalat dapat dikategorikan sebagai muhbithat al-shaum.
Meninggalkan shalat tidak merusak keabsahan puasa, tetapi merusak pahala puasa sehingga ibadah puasa yang mereka kerjakan tidak bernilai di hadapan Allah.
Maka orang tersebut diharuskan untuk tetapkan melanjutkan ibadah puasa sebagaimana mestinya dan harus mengqadha shalat yang ditinggalnya. Wallahu a’lam. []