Mengenal Urgensi dan Manfaat Mempelajari Qira’at
HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Bagi umat Islam, istilah qira’at mungkin sudah tidak asing lagi. Qira’at sendiri menjadi diskursus penting dalam ranah kajian Al-Qur’an.
Ada beberapa point dalam mempelajari qira’at, sebagai berikut: pertama, dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
Misalnya, berdasarkan Surah An-Nisa ayat 12:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمْ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوْ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya:
“Dan Bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu.
Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga irtu,
Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” (An-Nisa ayat 12)
Para ulama telah sepekat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.
Dalam qira’at Syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “min umm” sehingga ayat itu menjadi,
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوْ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ (من ام) فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
Artinya:
“Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.”
Dengan demikian, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqashdapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
Kedua, dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya dalam Q.S. al-Maidah ayat 89:
لا يُؤَاخِذُكُمْ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمْ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,
Maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya.
Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Disebutkan bahwa kafarat sumpah adalah berupa memerdekakan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau non-muslim.
Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at Syadz, ayat ini memperoleh tambahan “mu’minatin” yang menjadi:
الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَة (مؤمنةٍ)
Artinya:
“…..maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya (mukmin).”
Tambahan kata “mukminatin” yang berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara lain as-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah.
Ketiga, dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 222:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya:
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakalanlah, “itu adalah sesuatu yang kotor”.
Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 222)
Yang dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelum haidnya berakhir.
Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahhirna” yang mana di dalam nushaf ‘Utsmani tertulis “yathhurna”, yang mana dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci.
Keempat, dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, Q.S. al-Ma’idah ayat 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke dua mata kaki.
Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci);
Usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (Q.S. al-Ma’idah ayat 6)
Yang mana di dalam ayat ini ada dua bacaan mengenai ayat tersebut, yaitu ada yang membaca “arjulakum” dan ada juga yang membaca “arjulikum”.
Perbedaan qira’at ini tentu saja mengonsekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda. Di dalam tafsir al-Qurtubi dalam kitabnya Al-Jami’li Ahkam Al-Qur’an yang merupakan salah satu tafsir ahkam, telah menerangkan bahwa, firman Allah Swt: وأرجلكم “Dan (basuh) kakimu”.
Karena perbedaan qira’at itulah terjadi silang pendapat dikalangan para sahabat dan tabi’in orang-orang yang membaca nasab (وأرجلكم), mereka menjadikan lafadz (basuhlah) sebagai amilnya. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan untuk kedua kaki adalah membasuh, bukan menyapu.
Kelima, dan adapula yang memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit difahami maknanya. Misalnya dalam Q.S. Al-Qari’ah ayat 5, yang mana Allah berfirman:
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ
Artinya: “Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (Q.S. Al-Qari’ah ayat 5)
Dalam sebuah qira’at yang Syadz dibaca: الصوف Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata “al-‘ihri” adalah “al-shuf”.
Itulah beberapa alasan mengapa qira’at menjadi penting untuk dipelajari dan juga manfaat mempelajari qira’at. []