Mengenal Kitab Tafsir Hidayatul Qur’an, Tafsir “Interkoneksi” antar Ayat-Ayat Qur’an

 Mengenal Kitab Tafsir Hidayatul Qur’an, Tafsir “Interkoneksi” antar Ayat-Ayat Qur’an

Selayang Pandang Ibnu Arabi (Ilutstrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta –  Kitab tafsir Hidayatul Qurán adalah karya KH. Dr. M. Afifudin Dimyathi yang kesekian di bidang Tafsir berbahasa Arab, saya tidak hafal berapa jumlah karya goresan ilmiah beliau.

Seperti dijelaskan oleh Pengasuh Pondok Darul Ulum bahwa karya Gus Afif sebanyak 17 kitab dan 4 kitab yang diterbitkan di Timur Tengah.

Sosok seperti beliau inilah yang saya impikan, Hafidz, seorang Kiai, akademisi, penulis, pengasuh pesantren, fokus ke bidang keilmuan.

Al-Qur’an sebuah sumber ilmu yang tak habis menjadi sumber inspirasi ilmu. Nabi menggambarkan kitab suci ini:

ﻭﻻ ﻳﺸﺒﻊ ﻣﻨﻪ اﻟﻌﻠﻤﺎء

Artinya:

“Tidak ada ulama yang merasa kenyang dari Al-Qur’an.” (HR. Tirmidzi dari Ali bin Abu Thalib)

Entah sudah berapa ribu Tafsir telah ditulis oleh para ulama dengan ketebalan jilid yang bervariasi.

Juga dengan banyak metode ilmu penafsiran. Di antaranya adalah Tafsir ayat dengan ayat yang lain.

Karya ini termasuk jenis tafsir ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain.

Awalnya saya terkejut “Mengapa bisa tebal sampai 4 jilid?”

Sebagai perbandingan kitab Ad-Durr Al-Mantsur dengan metode riwayat hadis dan atsar sahabat maupun tabiin setebal 8 jilid, sementara kitab ini tidak mencantumkan seluruh riwayat atsar.

Saya cari tahu dan ketemu jawabannya di mukadimah yang beliau sampaikan pada manhaj atau metode penulisan tafsirnya.

Yakni merangkai ayat yang masih ‘am dilengkapi dengan ayat khash, ayat yang masih muthlaq disempurnakan dengan ayat muqayyad-nya, hukum yang dihapus (mansukh) dijelaskan ayat nasikhnya.

Termasuk ayat yang mutasyabih dengan ayat muhkam.

Karena ada keterangan seperti ini, saya pun langsung meluncur ke surat Thaha berkaitan dengan ayat istawa.

Pada ayat ini oleh kelompok Mujassimah dijadikan Hujjah bahwa Allah bertempat di atas Arsy:

الرحمن على العرش استوى

Artinya:

“Tafsir yang beliau angkat mengenai ayat ini bahwa ayat tersebut tergolong Mutasyabih (samar).”

Sementara ayat muhkam (jelas) beliau sampaikan:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syuura: 11)

Ayat muhkam sudah jelas menyatakan Allah tidak sama dengan makhlukNya.

Jika makhluk memerlukan tempat dan arah maka Allah maha suci dan maha mulia tidak memerlukan tempat dan arah.

Karena ayat ini Mutasyabih maka cukup iman dengannya tanpa memaknai dengan bertempat atau bersemayam dan lainnya.

Bagi saya kitab ini menjadi istimewa karena ada pengantar dari Rais Am, KH Miftahul Akhyar, yang cukup panjang lebar.

Menurut saya ini makin mempertegas kapasitas keilmuan beliau di atas para Rais yang lain di NU. Sebanyak 6 lembar sambutan saya kutipkan sebagian:

يعد تفسير القرآن بالقرآن أولى وجوه الترجيح بين الأقوال المختلفة في التفسير وأقواها، فالقول الذي تؤيده آيات القرآن مقدم على ما عدم ذلك. فدل ذلك على أهمية تفسير القرآن بالقرآن، وهو المقدم على غيره، وتقديمه لا يعني إهمال بقية الطرق، بل يكمل بعضها بعضا، فجعل الأول كالمقدمة.

Artinya:

“Menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan Al-Qur’an merupakan cara yang pertama dan paling kuat untuk menimbang perbedaan pendapat dalam penafsiran.

Pernyataan yang didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an lebih diutamakan daripada yang lainnya.

Hal ini menunjukkan pentingnya menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang didahulukan dari yang lain,

Dan mendahulukannya bukan berarti mengabaikan metode-metode yang lain, malah saling melengkapi, maka beliau menjadikan yang pertama seperti level tertinggi.”

[]

Ma'ruf Khozin

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *