Membincang Sisi Kebangsaan Kyai

 Membincang Sisi Kebangsaan Kyai

Membincang Sisi Kebangsaan Kyai (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di bulan kemerdekaan kemarin kita melihat ada serangkaian kegiatan ditunaikan demi memperingati bebasnya negeri ini dari penjajahan.

Ada yang memperingatinya dengan mengumbar tawa, ada juga yang dilakukan dengan rasa khusyuk, dan beberapa ada yang khawatir terhadap kondisi negeri hari ini yang dinilai berangsur-angsur suram.

Spirit peringatan semacam ini lazim kita temui di sembarang tempat.

Saya rasa di antara sekian peringatan tersebut, nama kyai juga perlu untuk diperingati, minimal dengan memunajatkan doa kepadanya.

Kita mengenal sekian nama kyai yang memiliki andil besar dalam rangka membebaskan bangsa ini dari penjajahan.

Kyai jadi figur yang tidak hanya bertugas menyerukan ajaran Islam pada masyarakat, tetapi juga jadi motor penggerak melawan ketertindasan di masa kolonial.

Senada dengan pernyataan tersebut, Sayfa Auliya Achdisti di artikelnya Eksistensi Kyai Dalam Pengembangan Tradisi Islam Indonesia (2011) mengatakan,

“… kyai dalam konteks ini, merupakan aspek dan faktor dalam pembentukan institusi sosial. Lebih jauh lagi, kyai bergerak dengan segala sumber daya dan implikasi serta akses-bahkan mungkin adanya ekses-atasnya, dengan porsi yang cukup determinan dalam suatu arena yang pada perkembangannya disebut sebagai masyarakat itu sendiri.”

Kyai berkiprah untuk masyarakat dari segala ranah kehidupan.

Pun di era selanjutnya, para kyai juga tidak absen dalam upayanya membentuk negeri ini. Nama seperti KH. Wahid Hasyim juga tercatat pernah dilibatkan.

Kyai di sini berposisi sebagai perumus sekaligus pemberi pertimbangan mengenai keberlangsungan masa depan negeri, menjadi negara Islam atau menerima kebhinekaan dengan azas kebangsaan.

Para kyai memufakati poin kedua dengan tujuan persatuan dan kesatuan.

Pada era pasca kemerdekaan, sekian kyai juga berperan lebih besar.

Nama KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur pernah didapuk jadi orang nomor satu di negeri ini.

Kendati di masa pemerintahannya banyak menuai kritik, namun kerja-kerja kebangsaannya tidak bisa dinilai dengan satu sisi saja.

Pada salah satu wawancaranya dengan televisi swasta, Gus Dur mengungkapkan kerja kebangsaannya dengan melakukan kunjungan sebagai upaya untuk mempersatukan bangsa Indonesia.

Ia berkeliling ke berbagai negara guna memastikan tidak ada suara yang memecah belah bangsa ini.

Kita bisa melihat melalui reputasinya, kyai tidak hanya dinilai sebagai figur yang ahli dalam bidang agama.

Tetapi juga mampu memberi pengaruh, menggerakkan massa, serta memberi kontribusi positif pada pemajuan masyarakat.

“Gerakan dalam ranah sosial oleh kyai, bagaimana pun merupakan sebuah tindakan yang mengacu pada eksistensi kyai dalam lingkungannya”, tulis Sayfa Auliya Achdisti di artikelnya.

Oleh karena itu, kontribusi kyai tetap perlu peroleh apresiasi yang tinggi. Hal ini ditengarahi oleh kerja kyai yang ditunaikan demi kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi.

Pendirian pondok pesantren, ceramah di masyarakat, dan seabrek kerja kyai ditujukan untuk pemajuan serta perbaikan akhlak masyarakat di sekitarnya.

Selain itu, kyai juga jadi penyambung mata rantai semangat keilmuan sejak era Kanjeng Nabi Muhammad sampai masa kini yang melulu dekat dengan polemik-permasalahan.

Dengan catatan, figur kyai di sini bukan sekadar sebutan saja. Tetapi juga dibarengi dengan laku tirakat, mendalami ilmu agama, dan mengerti kebutuhan masyarakat, minimal masyarakat yang mukim di sekitarnya.

Untuk memungkasi wicara ihwal kyai ini, kita bisa menggarisbawahi peran kyai sejak kemunculan ajaran Islam sampai hari ini yang peranannya cukup ‘berat’, tetapi juga ‘strategis’.

‘Berat’ karena mesti mengamal-ajarkan agama Islam pada masyarakat dan, ‘strategis’ karena memiliki pengaruh bahkan mungkin pengikut yang relatif cukup banyak.

Maka dari itu, kiprahnya dalam konteks kebangsaan saya rasa memiliki posisi tersendiri yang tidak bisa diabaikan begitu saja. []

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa. Alumni Magister Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *