Diskusi Seputar Hukum Musik dan Nyanyian

 Diskusi Seputar Hukum Musik dan Nyanyian

Seorang Ulama yang Menggemari Musik (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Diskusi seputar hukum musik dan nyanyian merupakan masalah lama yang akan selalu diangkat kembali. Antara pro dan kontra.

Antara yang sudah punya penilaian awal (حكم مسبق) sehingga apapun dalil dan istidlal yang dikemukakan tidak banyak berguna untuk membuatnya mengkaji ulang penilaian itu apalagi merubahnya.

Antara yang mencukupkan diri dengan berpegang pada pendapat Abu Thayyib at-Thabari dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (bagi yang kontra) dengan yang mencukupkan diri bersandar pada pendapat Ibnu Hazm al-Zhahiri dan Abu Hamid al-Ghazali (bagi yang pro).

Antara yang takut berada di pihak muwafiq (pro) karena khawatir merusak image sebagai sosok yang wara’ meski secara istidlal lebih cenderung kepada pihak mu’aridh (kontra), dan yang takut berada di pihak mu’aridh agar tidak dicap sebagai ekstrim, jumud, wahabi dan seterusnya.

Padahal setuju tidak berarti suka. Tidak setuju juga tidak berarti tidak suka. Seperti halnya masalah rokok. Selalu ada pro dan kontra perihal hukum musik dan nyanyian ini.

Ulama yang cenderung mengatakan merokok itu tidak haram tidak berarti ia suka merokok.

Sebaliknya ulama yang mengatakan merokok itu haram tidak berarti ia tidak suka merokok. Ini ranah ilmiah. Tidak ada hubungannya dengan suka atau tidak suka.

Pada akhirnya ini masalah fiqih, bukan akidah. Sehingga perbedaan pendapat adalah sebuah kewajaran.

Tidak semestinya membawa pada saling menyerang, memburuk-burukkan apalagi memfitnah.

Yang sering luput dalam diskusi (polemik?) tentang hal ini adalah menyepakati definisi musik dan nyanyian.

Apakah pengertian musik dan nyanyian di masa ini sama dengan pengertian musik dan nyanyian di masa dulu?

Apakah ketika dulu para ulama mengharamkan musik, sama dengan musik saat ini?

Ataukah musik di masa dulu identik dengan dunia para penguasa dan orang-orang kaya yang hidup foya-foya, di mana hiburan mereka adalah para biduanita (jariyah) yang menyanyi dengan pakaian setengah telanjang lalu diiringi musik dan berakhir dengan perzinahan?

Hari ini, hampir tidak ada tempat yang lepas dari musik. Televisi ada musik. Bandara ada musik. Di bis ada musik. Bahkan di HP ada musik.

Baru saja HP diaktifkan langsung ada musik. Artinya ini sudah menjadi umumul balwa. Kalau memang semua itu diharamkan lalu bagaimana solusinya? Apakah kita akan menutup telinga di manapun?

Bukankah itu akan menjadi sesuatu yang haraj, bahkan haraj ‘azhim?

Mereka yang tetap ngotot mengatakan musik itu haram, apakah bisa konsisten dengan pendapat itu?

Mereka membantah ulama yang mengatakan musik itu halal dengan menggunakan media laptop, hp, dan sebagainya, lalu membuat konten menggunakan berbagai aplikasi.

Pertanyaannya, apakah semua media itu bebas dari musik?

Mereka mengatakan dalil keharaman musik itu ada dalam al-Quran yaitu surat Luqman ayat 6. Di sana ada kata-kata لهو الحديث yang ditafsirkan oleh Ibnu Mas’ud ra dengan nyanyian.
Berarti sebenarnya yang mereka jadikan sebagai dasar dalam hal ini bukan ayat al-Quran melainkan penafsiran sahabat, karena ayat tidak menyebut musik atau nyanyian.

Tentu ini tidak berarti mengecilkan atsar dari Ibnu Mas’ud.

Namun sudahkah mereka luangkan waktu untuk mengkaji sejauh mana kesahihan penukilan ini, apakah ada pendapat sahabat lain yang berbeda dengan ini.

Sejauh mana kekuatan (hujjiyyah) perkataan sahabat dalam penetapan hukum, apakah pendapat Ibnu Mas’ud itu yang lebih kuat dalam menafsirkan kalimat tersebut.

Ataukah ayat ini terkait dengan Nadhr bin Harits yang pergi berdagang ke Persia, disana ia mendengar cerita dan dongeng-dongeng bangsa Persia tentang pahlawan dan pendahulu mereka.

Lalu sepulang dari sana ia ceritakan semua itu pada kaum Quraisy sembari berkata,

“Muhammad menceritakan pada kalian tentang kaum Ad dan Tsamud, dan aku akan ceritakan pada kalian tentang Rustum, Isfandyar dan Bahram,”

Seolah-olah ceritanya tentang bangsa Persia lebih baik dari cerita al-Quran tentang kaum Ad dan Tsamud?

Pernahkah mereka bertanya, untuk masalah yang se-tersebar seperti ini (nyanyian dan musik tentu saja tidak muncul belakangan, namun sudah ada sejak dulu sekali, jauh sebelum Rasulullah Saw diutus).

Kenapa hanya ada satu atau dua hadits saja yang disepakati (kecuali Ibnu Hazm dan beberapa ulama hadits lain yang mendhaifkannya) keshahihannya, dan itupun dalam bentuk ta’liq?

Ini hanya beberapa pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dahulu untuk sampai pada kesimpulan bahwa musik itu haram.

Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan ini lalu ngotot mengatakan musik haram kemudian menyerang mereka yang cenderung pada pendapat musik itu halal, sesungguhnya anda bukan orang yang layak untuk berdiskusi atau diajak diskusi.

Fashl al-kalam …

1. Masalah hukum musik dan nyanyian adalah masalah fiqih, terbuka untuk perbedaan pendapat, tanpa harus menyerang dan menjelek-jelekkan.

2. Mengkaji masalah hukum adalah ranah ilmiah yang pijakannya adalah dalil dan istidlal, tidak ada hubungan dengan suka atau tidak suka.

3. Hak setiap orang untuk berpihak pada salah satu pendapat, asalkan tidak memburuk-burukkan pendapat lain, dan yang terpenting bisa konsisten dengan pendapat itu luar-dalam.

والله تعالى أعلم وأحكم

Di antara buku yang direkomendasikan untuk mengkaji masalah ini secara obyektif adalah :

الموسيقى والغناء فى ميزان الإسلام تأليف الشيخ عبد الله بن يوسف الجديع

[]

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *