Kisah Perjumpaan Ulama Imam Rabi’ah Ar-Ra’yi dengan Ayahnya

 Kisah Perjumpaan Ulama Imam Rabi’ah Ar-Ra’yi dengan Ayahnya

Menyoal Dua Kisah Menggugah yang Tidak Jelas Sumbernya (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Imam Rabi’ah Ar-Ra’yi adalah salah satu ulama ahli fiqh dan dan hadits yang juga guru dari Imam Malik bin Anas.

Nama lengkap beliau adalah Rabi’ah bin Abdurrahman Farukh At-Taimi Al-Madani. Perjalanan hidupnya di masa kecil tanpa diasuh ayahnya, Farukh.

Pada masa dinasti Bani Umayyah, Farukh pergi bertahun-tahun untuk menyebarkan agama Islam.

Farukh memberikan kepada istrinya uang sebesar tiga puluh ribu dinar untuk keperluan hidupnya selama berjihad.

Ketika Farukh pulang ke rumah, Rabi’ah Ar-Ra’yi sudah dewasa dan menjadi salah seorang ulama salaf yang sangat disegani pada masanya.

Biaya pendidikan Rabi’ah Ar-Ra’yi didapat dari uang tiga puluh ribu dinar yang ditinggalkan ayahnya.

Semua uang itu, oleh ibunda Rabi’ah Ar-Ra’yi digunakan seluruhnya untuk membiayai pendidikan Rabi’ah Ar-Ra’yi.

Dua puluh tujuh tahun kemudian, Farukh kembali ke kota Madinah dengan menunggangi seekor kuda dan membawa sebuah tombak.

la turun dari kuda dan mengetuk pintu rumahnya dengan tombak.

Mendengar ketukan pintu, Rabi’ah Ar-Ra’yi keluar membukakan pintu. Ia melihat pemandangan yang mengejutkan.

Seorang pria dengan tombak di tangan tentu membahayakan. “Hai musuh Allah,” kata Rabi’ah Ar-Ra’yi. “Untuk apa engkau hendak menyerang rumahku?”

“Hai musuh Allah,” kata Farukh tidak kalah galak. “Justru engkau yang masuk rumahku untuk mendatangi istriku!” Keduanya pun melompat bersiap-siap untuk bertarung.

Tetangga- tetangga berdatangan ingin menolong Rabi’ah Ar-Ra’yi. Peristiwa itu juga sampai ke telinga Imam Malik bin Anas.

Mereka semua datang untuk menolong Rabi’ah Ar-Ra’yi sehingga kegaduhan semakin menjadi.

Ketika melihat Imam Malik datang maka semuanya terdiam. “Wahai kakek,” kata Imam Malik kepada Farukh. “Engkau boleh masuk selain rumah ini.”

“Bagaimana mungkin kau mengatakan itu padaku!” kata Farukh dengan garang. “Ini rumahku! Aku adalah Farukh.”

Kemudian, istri Farukh mendengar suara suaminya. Ia keluar dari dalam rumah karena pada awalnya ketakutan.

“Oh, Farukh!” kata istrinya.

“Iya, dia adalah suamiku dan ini adalah anakku yang ia tinggalkan dalam keadaan masih janin di dalam perutku!” sambil menunjuk ke Rabi’ah Ar-Ra’yi.

Akhirnya mereka berdua saling berpelukan dan menangis sedih. Farukh masuk ke dalam rumahnya dan istrinya dengan sabar menjelaskan bahwa Rabi’ah Ar-Ra’yi benar-benar anaknya.

Pada suatu pagi, Farukh ingin mengetahui apakah uang yang ditinggalkannya masih ada yang tersisa.

“Tolong keluarkan harta yang dulu aku tinggalkan padamu. Apakah masih ada tersisa?” tanya Farukh.

“Aku telah menyimpannya dan akan aku mengeluarkannya untukmu,” kata istrinya.

Kemudian, Istrinya  Farukh menunjuk ke Rabi’ah Ar-Ra’yi sedang di masjid, duduk di majelis ilmu untuk menyampaikan ilmu yang dihadiri oleh Imam Malik, Imam Hasan Al-Bashri dan petinggi-petinggi kota Madinah lainnya. Orang-orang pun ramai berkumpul di sekelilingnya.

“Pergilah engkau ke masjid Rasulullah,” kata istrinya kepada Farukh. “Shalatlah di sana.”

Farukh segera menuju masjid. Sesampainya di sana, ia melihat majelis ilmu yang begitu ramai.

Ia pun mendekat dan diam sambil mengamatinya. Melihat ayahnya datang, lalu menunjuk ke Rabi’ah Ar-Ra’yi menolehkan kepalanya agar sang ayahnya tidak melihatnya.

Karena waktu itu lalu menunjuk ke Rabi’ah Ar-Ra’yi mengenakan penutup kepala yang panjang, sang ayah samar melihat wajah sang guru yang mengajar di majelis itu. Lalu ia bertanya kepada orang-orang.

“Siapakah nama ulama itu?” Farukh bertanya. “Dia adalah Rabi’ah bin Abu Abdurrahman Farukh.” Kata orang-orang.

Mendengar nama itu ia bergumam, “Sungguh Allah telah mengangkat derajat putraku.” Ia pun bersegera pulang menuju rumahnya menemui istrinya.

“Sungguh, aku melihat putramu dalam keadaan yang tidak pernah aku melihat. Seorang ulama dan pakar fiqh pun sepertinya.”

Mendengar perkataan suaminya itu istrinya langsung mengatakan,

“Lantas, mana yang lebih engkau cintai, 30.000 dinar atau keadaan putramu sekarang ini?”

“Demi Allah, tentu saja dia yang lebih aku pilih,” jawab Farukh.

“Aku telah menggunakan seluruh hartamu itu untuk mendidiknya hingga seperti sekarang ini.” kata istrinya.

“Demi Allah, engkau tidak menyia-nyiakan harta tersebut.”

Ya, uang sebanyak itu telah digunakan sebaik-baiknya oleh istrinya untuk mendidik anaknya.

Farukh sangat bangga pada istrinya yang mampu menjaga amanah membesarkan anak dan mendidiknya sehingga menjadi salah satu ulama termasyhur pada masa dinasti Bani Umayah. []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *