Membincang Fiqih dan Rujukannya

 Membincang Fiqih dan Rujukannya

Membincang Fiqih dan Rujukannya (gontornews.com)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Semua tahu kalau fiqih itu hasil ijtihad ulama. Dan semua tahu kalau ulama itu ada banyak.

Masing-masing punya cara dan metode ijtihad yang istimewa meski tidak selalu sama hasilnya.

Maka wajar kalau belajar fiqih itu sebenarnya belajar banyak perbedaan. Perbedaan itu disebabkan beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut:

1. Siapa Mujtahidnya

Walaupun satu Mazhab, namun amat besar kemungkinan terjadi perbedaan. Ulama Mazhab Syafi’i itu ada banyak, semuanya satu Mazhab. Tapi bisa amat sangat berbeda satu sama lain.

Maka ketika kita sebutkan hukum suatu masalah menurut Mazhab Syafi’i, masih perlu juga disebutkan siapa ulamanya dan nama kitabnya sekalian.

Soalnya bisa jadi ada beberapa kitab Mazhab Syafi’i tapi saling berbeda satu sama lain.

2. Sumber Hukum Berbeda

Sumber hukum Islam bukan hanya Al-Quran dan Sunnah, masih ada Ijma’ dan Qiyas.

Bahkan kalau mau diteruskan masih ada Mashalih Murasalah, Istihsan, Istihsan, Qaul Shahabi, Syar’u Man Qablana, ‘Urf dan lainnya.

3. Metodologi Berbeda

Meski sama-sama pakai hadits, tapi amat besar kemungkinan berbeda dalam metodologi menarik kesimpulannya.

Ada yang cenderung pakai sistem gugur, mana yang lebih shahih digunakan, mana yang kurang shahih ditinggalkan.

Tapi ada juga yang dipakai semuanya dengan dipadukan satu sama lain. Sehingga tidak ada istilah meninggalkan hadits.

4. Tempat dan waktu ketika berijtihad

Bagian ini yang banyak luput dari perhatian. Ijtihad para ulama itu sangat dipengaruhi tempat dan waktu saat berijtihad.

Beda tempat bisa beda ijtihad, beda waktu juga berubah lagi ijtihadnya.

Maka kita harus maklum kalau menemukan riwayat Imam Ahmad bin Hambal yang ada banyak versi fatwanya.

Versi satu bilang haram, versi dua bilang makruh, versi tiga bilang mubah. Terus kita harus bagaimana?

Kesimpulan

1. Belajar fiqih itu bukan berarti kita berijtihad sendiri. Tapi kita mempelajari jalan ijtihad para ulama dengan segala variasi hasil ijtihadnya.

2. Menisbahkan suatu pendapat kepada seorang ulama tentu tidak boleh asal sebut. Kita wajib mencantumkan sumber rujukan aslinya, yaitu kitab yang menyebutkan pendapat itu.

3. Tidak ada perintah untuk mentarjih perbedaan pendapat ulama. Sebab pendapat mereka itu sendiri sudah merupakan tarjih yang paling rajih serajih-rajihnya.

Maka Imam Malik menolak mentah-mentah permintaan sang Khalifah untuk menjadikan kitab Al-Muwaththa’ karyanya dijadikan satu-satunya tolok ukur kebenaran dalam fatwa.

Beliau sangat menghargai beragam ijtihad para ulama yang ada. Tidak merasa paling benar dan merasa harus menyalahkan pendapat ulama lain.

4. Namun belajar fiqih seperti yang dijabarkan di atas memang terlalu tinggi levelnya buat para beginers.

Untuk beginners, boleh lah diberi apa yang sekiranya cocok untuk sekedar menjadi hamba Allah. Tapi bukan untuk menggurui orang lain, tidak juga untuk update status, apalagi merasa benar sendiri.

Sebab di atas langit masih ada langit. []

Ahmad Sarwat

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *