Keraton Yogyakarta sebagai Refleksi Sufistik-Mistik-Filosofis Islam Indonesia

 Keraton Yogyakarta sebagai Refleksi Sufistik-Mistik-Filosofis Islam Indonesia

Sultan Agung Sosok yang Mendamaikan Keraton dengan Tradisi Islami (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang biasa dikenal dengan sebutan Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berlokasi di Daerah Isrimewa Yogyakarta.

Meski kesultanan tersebut telah resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1960, namun kompleks istana tersebut masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan.

Rumah tangga istana pun masih menjalankan tradisi-tradisi keraton hingga sekarang.

Raja yang memipin saat ini adalah Perbedaan antara Keraton Yogyakarta dan istana-istana negara yang mengalami indianisasi berasal dari kenyataan bahwa semua berdasarkan kosmologi-kosmologi yang berbeda.

Keraton Yogyakarta sendiri merupakan kesultanan Islam yang masih bertahan hingga saat ini di Indonesia.

Di dalamnya dapat ditemukan berbagai hal yang merefleksikan perpaduan antara budaya lokal dengan nilai-nilai keislaman.

Sebagai suatu susunan monarki, Keraton Yogyakarta dipimpin oleh seorang sultan sebagai puncak pemerintahan tertinggi dalam hierarki keraton.

Berdasarkan satu kepercayaan yang berkembang dsalam masyarakat bahwasannya seorang sultan berkuasa dibantu oleh empat penjaga.

Keempat penjaga tersebut adalah Ratu Kidul, Sunan Merapi, Sunan Lawu, dan Semar. Dalam kepercayaan Jawa, Sunan Lawu dianggap sebagai raja terakhir Majapahit.

Sunan Merapi adalah raja ruh halus yang istananya terletak di puncak Gunung Merapi bagian utara kota. Semar adalah tokoh wayang yang disebut sebagai penasehat spiritual sultan.

Mereka bersama-sama menetapkan batas negara, mengisi kekuasaan keraton, dan menggunakan kesaktian mereka untuk membantu sultan menaklukkan musuh-musuh dan roh-roh jahat.

Hubungan sultan dengan keempat penjaga itu bersifat kontraktual. Sultan mengirim persembahan-persembahan, dan sebagai balasannya sultan memperoleh kesaktian atau kasekten dan bantuan dari mereka.

Dalam teori kejawian Jawa, kasekten memiliki posisi yang bersifat subordinat terhadap wahyu dan kewalian.

Seperti yang disebutkan oleh Mark R. Woodward bahwasannya keraton adalah suatu model kosmik, tetapi kosmos yang ia wakili adalah Islami.

Ikonografi, simbol-simbol, serta arsitektur bangunan keraton menggambarkan struktur kosmos muslim, hubungan antara Sufisme dengan Syariat, rumusan introspektif dan kosmologis jalan mistik, dan lain sebagainya.

Keraton menghabiskan area empat belas ribu meter persegi termasuk alun-alun, pohon, bangunan, paviliun terbuka, tembok, pintu gerbang yang masing-masingnya memiliki satu atau lebih makna keagamaan yang berbeda. []

Redaksi

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *