Pengaruh Islam dalam Seni dan Budaya di Indonesia

 Pengaruh Islam dalam Seni dan Budaya di Indonesia

Pengaruh Islam dalam Seni dan Budaya Indonesia (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Agama Islam telah memberikan corak tersendiri dalam perkembangan seni dan budaya di Indonesia pada masa madya.

Terutama terhadap seni bangunan, agama Islam telah berhasil memadukan seni bangunan setempat yang masih tradisional dengan budaya Islam.

Sehingga memunculkan bentuk-bentuk seni bangunan yang baru dan berbeda dari negara-negara Islam yang lainya.

Unsur tradisional dalam konsep bangunan ini masih dominan. Contohnya bangunan masjid, keraton dan makam.

Masjid yang digunakan sebagai tempat peribadatan yang terletak di sebelah barat alun-alun dan tak terpisahkan dari pusat kota. Kekhasan bentuk masjid terletak pada bagian atapnya.

Atapnya yang bertingkat lebih dari satu yang disebut atap tumpang. Jumlahnya selalu ganjil dan biasanya ada tiga buah.

Namun adakalanya yg bertingkat lima, seperti masjid di Banten. Bentuk atap yang tumpang ini menunjukan adanya suatu kelanjutan dari seni bangunan tradisonal Indonesia kuno.

Bangunan masjid biasanya bergabung dengan makam. Hal ini tidak saja ada di tempat-tempat suci, namun ada di ibu kota kerajaan seperti di Demak, Kotagede dan Banten.

Bangunan makam ini juga menggunakan desain tradisonal seperti gapura-gapuranya maupun cungkupnya.

Gapuranya berbentuk kori yaitu beratap dan berpintu dan gapura candi bentar (tanpa atap dan tanpa pintu).

Ziarah makam pada masa Islam itu sebenarnya melanjutkan kebiasaan dari mengunjungi candi atau tempat suci lainnya dengan maksud untuk melakukan pemujaan roh atau nenek moyang.

Islam tidak serta merta menghapus tradisi dan budaya ziarah, tetapi mengadopsinya dan memodifikasinya sehingga sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Seni bangunan di Indonesia yang mengambil bentuk-bentuk gaya arsitektur tradisional tidak saja memberikan kekhasan terhadap budaya Islam di Indoneia, tetapi sekaligus memperlihatkan gaya kepribadian kita yang kontinyu sejak masa-masa pra-Islam.

Agama dan budaya diserap sesuai dengan kepribadian bangsa sendiri. Hal ini dimungkinkan karena pembauatan bangunan itu orang Indonesia sendiri.

Berbagai kitab hikayat dan babad juga menunjukan bahwa tukang dan para pekerja yang membangun masjid, keraton dan makam adalah orang Jawa asli.

Babad Cirebon misalnya menyebutkan bahwa yang membangun Masjd Cirebon adalah Raden Sepat yang berasal dari Majapahit.

Bangun keraton dan masjid di Banjarmasin, Kutai dan Sulawesi menurut hikayat setempat juga dibangun dengan semangat gotong-royong oleh tukang dan para pekerja setempat.

Tentu saja para pembuat bangunan itu adalah orang Indonesia yang telah menganut agama Islam.

Namun, rupanya tidak mudah untuk begitu saja melepaskan kemahiran dalam membuat bangunan-bangunan secara tradisional.

Di Indonesia, tradisi yang berkembang setelah terpengaruh oleh sentuhan modernisme.

Dalam bidang ritual keagamaan sampai saat ini, di negara kita masih banyak sekali kita dapati.

Upacara tersebut bukan hanya dilakukan oleh orang-orang non-muslim, tetapi juga oleh orang-orang Islam.

Bagi masyarakat Indonesia, upacara sangat sulit untuk ditinggalkan, bahkan sudah mendarah dan mendaging (mentradisi).

Hal itu dikarenakan sebagian masyarakat Indonesia sulit untuk membedakan mana yang agama dan mana yang bukan agama (budaya).

Oleh karena itu, di mana-mana dapat dijumpai berbagai macam upacara, baik yang terkait dengan upacara daur hidup, upacara tahunan, upacara kenegatan dan yang lain.

Lebih-lebih, budaya yang muncul di Indonesia yang semula berasal dari suatu agama berlangsung secara estafet, dari agama yang satu ke agama yang lain sehingga sulit dibedakan mana budaya Islam dan mana bukan budaya Islam.

Peresapan budaya itu dapat melalui jalur difusi, akulturasi ataupun jalur lain.

Seni ukir telah berkembang sejak lama jauh sebelum masuknya Hindu dan Islam di Indonesia. Bangunan-bangunan Keraton, Masjid, dan Makam banyak dihiasi dengan ukir-ukiran yang sangat indah.

Ukiran-ukiran itu dipahatkan pada tiang-tiang, dinding, atap dan sebagainya. Ukiran ini biasanya diberi tatawarna yang sangat bagus sehingga menambah semaraknya seni ukir tersebut.

Ragam seni ukir ini banyak mengambil pola-pola dari jaman kuno, di samping pola daun-daunan, bunga-bungaan, bukit-bukit karang, pemandangan dan garis-garis geometri.

Sering pula terdapat pola kala makara dan kalamerga, suatu hal yang sebenarnya kurang sesuai dengan peraturan Islam, namun hal ini juga dapat diterima karena tidak dirasakan sebagai suatu kelanggaran.

Seni wayang adalah boneka tiruan orang dan lain sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh di pertunjukan drama tradisional.

Orang yang memainkan wayang ini disebut dalang. Dipilihnya seni wayang, di samping aspek akulturasinya jelas jugaterkaynyadengan seni-seni yang lain.

Adapun cabang-cabang seni yang terdapat di dalam seni wayang antara lain yaitu seni mengarang, seni sastra, seni suara vokal, seni suara instrumental, seni tari, seni pahat, seni bentuk, seni lukis.

Di dalam meragakan wayang tersebut adanya cerita-cerita atau kisah-kisah dari hasil karangan dan hasil seni atau hasil penerimaan ilham yang luar biasa.

Karena menampakkan anyaman cerita-cerita yang jalin-menjalin sangat rapi, sebagai hasil khayal atau hasil penerimaan ilham yang istimewa.

Persesuian dengan perkembangan jaman itu digelarkan dalam cerita itu sendiri dengan kecakapann ki dalang serta di dalam filsafat dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Seni sastra terdapat di dalam wayang, merupakan hasil seni sastera daerah yang beraneka ragam, dari dialog-dialog di kalangan yang rendah sampai lapisan yang tinggi, dari sajak-sajak, dari parikan-parikan harian sampai tembang-tembang gedhe yang sangat bermutu.

Seni suara vokal atau suara manusia yang berlagu dari yang sangat sederhana sampai yang berliku-liku penuh berirama, dari suara rendah sampai jenis suara tinggi.

Seni suara instrumental sebagai hasil seni konser gamelan yang lengkap dengan bunyi karena pukulan, geseran, tokelan dengan jari, tiupan, dengan timbre yang bermacam-macam.

Karena ada yang dari logam dan ada yang dari kayu, ada yang disertai getaran suara dalam kayu, dalam bambu, dalam kulit dalam logam sehingga seluruhnya merupakan perpaduan suara yang luar biasa.

Seni tari sebagai hasil gerakan seperti berjiwa dari wayang, karena kecakapan ki dalang dan kecintaannya dalam cabang seni itu.

Pada saat itu, gapura-gapura juga banyak dihiasi dengan pahatan-pahatan ukiran yang sangat indah. Hiasan-hiasan pada gapura di Sendangduwur Tuban sangatlah mewah.

Berpolakan gunung-guug karang, puncak gapura juga berupa puncak gunung, yang didukung oleh sayap. Sayap yang melebar melingkupi seluruh pintu gerbangnya.

Terdapat pula cabang seni ukir yang disebut kaligrafi. Dalam hal ini ukiran bentuk daun digantikan dengan komposisi huruf-huruf Arab.

Komposisi huruf-huruf arab itu merupakan ayat Alquran. Seperti halnya seni ukir, seni kaligrafi inipun juga digunakan untuk menyamarkan lukisan suatu tokoh atau binatang.

Di sini nampak bahwa bangsa Indonesia menyerap budaya Islam yang senantiasa menerima dan mengembangkan seni budaya baru tanpa kehilangan unsur-unsur tradisional.

Seni sastra Islam pada masa Indonesia madya ini terutama berkembang di sekitar perairan Selat Malaka dan di Jawa.

Seni sastra di sekitar Selat Malaka (sastra Melayu) merupakan suatu pertumbuhan baru. Sedangkan di Jawa merupakan perkembangan lebih lanjut dari sastra Jwa kuno.

Corak Islam dalam sastra Indonesia Madya mendapat pengaruh yang sangat besar dari certa-cerita Persia bahkan menjadi sumber utama.

Demikianlah muncul cerita-cerita Amir Hamzah, cerita Bayan Budiman dan cerita Seribu Satu Malam.

Tetapi pengaruh dari sastra lama terutama di Jawa tidak kalah juga peranannya pada masa ini.

Dari cerita Mahabarata, Samayana dan Pancatantra lahirlah gubahan baru dalam bentuk hikayat Pendawa Lima, Hikayat Seri Rama, dan Hikayat Pancatanderan.

Dalam sastra Indonesia pada masa madya yang justru memiliki sifat tersendiri yaitu yang dinamakan suluk. Kitab-kitab suluk ini biasanya membentangkan masalah-masalah tasawuf.

Pada abad ke-16 banyak menghasilkan kitab-kitab suluk. Sunan Bonang telah mengembangkan ilmu suluk dalam bentuk tembang yang dihimpun dalam kitab Bonang.

Kitab suluk dari Jawa yang lainnya ialah Suluk Sakarsa, Suluk Wuji, dan Suluk Malang Sumirang.

Ronggo Warsito juga telah menulis karya sastra sastra yang di dalamnya mengandung ajaran-ajaran agama yang diantara bukunya disebut Serat Wirid.

Kitab-kitab Suluk dari Sumatera yang terkenal adalah karya Hamzah Fansuri.

Kitab-kitab Suluk Hamzah Fansuri tersebut antara lain, Syair Perahu, Syair Si Burung Pingai dan Asrar al-Arifin sutu kitab gancaran yang membentangkan zat dan ma’rifat.

Demikian seni Sastra Indonesia Islam sebagaimana seni-seni dan cabang-cabang lainnya juga memperlihatkan masih banyak yang berakar pada pola-pola tradisional.

Sehingga telah menghasilkan suatu corak budaya Indonesia yang khas yang dapat diterima oleh masyarakat tanpa banyak guncangan dan pertentangan.

Kedatangan Islam tidak lantas ‘mengusir’ eksistensi budaya yang telah ada sebelumya, namun membaur dengannya dan menjadikannya sebagai ‘raga.’

Seni, tradisi dan budaya adalah raga dan nilai-nilai ajaran Islam merupakan ruh-nya. []

Lutfi Maulida

Saat ini aktif di Komunitas Puan Menulis dan Komunitas Santri Gus Dur Yogyakarta. Perempuan yang menyukai bacaan, film/series dan kuliner. Dapat disapa melalui Instagram @fivy_maulidah dan surel lutfimaulida012@gmail.com

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *