Jawaban “Kenapa Disebut Jihad Akbar”

 Jawaban “Kenapa Disebut Jihad Akbar”

Nafsu yang Berpahala (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Terlepas dari perbedaan pendapat tentang status hadis berikut, “Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar yaitu jihad (melawan) nafsu…”. Namun substansi yang terkandung di dalamnya bahwa jihad melawan nafsu adalah jihad akbar, benar adanya. Tentu tanpa memandang ringan jihad melawan musuh di medan perang.

Bagaimana tidak, jihad melawan nafsu artinya jihad melawan diri sendiri ; keinginan-keinginannya dan hal-hal yang disukainya. Oleh karena itu, ketika seseorang menang dalam jihad ini, ia akan melakukan sesuatu yang tampak ‘mustahil’.

Di Turki ada sebuah masjid bernama Sanki Yedim Cami. Artinya lebih kurang “Seolah-olah aku sudah memakannya.” Masjid ini dibangun di masa kekhilafahan Turki Utsmani pada abad 17 M oleh seorang laki-laki bernama Khairuddin Afandi.

Ia hanya laki-laki biasa, bukan ulama, bukan juga orang kaya. Tapi ia punya tekad untuk membangun sebuah masjid di daerah tempat ia tinggal.

Setiap pergi ke pasar, ia melihat berbagai jenis makanan yang lezat dan buah-buahan yang segar yang tentu saja sangat menggoda nafsu perutnya. Tapi ia ingat tekad dirinya untuk membangun sebuah masjid.

Akhirnya setiap melihat makanan dan buah-buahan itu, ia hanya membayangkan dirinya menikmati makanan dan buah-buahan itu sambil berkata dalam dirinya: “Sanki yedim cami… (seolah-olah aku sudah memakannya).” Lalu uang yang bisa saja ia belanjakan untuk membeli makanan dan buah-buahan itu ia simpan dan tabung.

Begitulah setiap ia pergi ke pasar dan melihat makanan yang menggoda seleranya. Ia cukup membayangkan seolah-olah ia sudah menikmati makanan itu lalu uang yang bisa saja ia belanjakan untuk membelinya ia simpan dan tabung.

Jihad Melawan Diri Sendiri

Hal itu berlangsung bertahun-tahun. Ia selalu menahan hasrat untuk membeli makanan dan buah-buahan, kecuali untuk kebutuhan pokok, demi mewujudkan cita-cita besar membangun sebuah masjid.

Setelah terkumpul jumlah yang agak lumayan, mulailah ia mewujudkan mimpinya. Ternyata ia tak sendiri, ia dibantu oleh sahabatnya Muhammad Syauqi Afandi. Masyarakat yang mendengar kisah Khairuddin Afandi akhirnya turun tangan untuk mewujudkan mimpi besar ini.

Khairuddin Afandi wafat sebelum masjid impiannya rampung. Tapi kisah dan semangatnya telah menginspirasi banyak orang. Untuk mengenang jasa dan perjuangannya, masyarakat sepakat menamai masjid ini dengan Sanki Yedim Cami.

Suatu hari Umar bin Khattab ra melihat putranya Ashim sedang makan daging. Bagi Umar, seorang yang zuhud dan wara’, memakan daging adalah tanda menyenangkan diri yang menjadi indikasi kekalahan melawan dirinya sendiri.

Ia bertanya pada anaknya, “Apa ini?” Anaknya menjawab, “Kami rindu (bahasa Minangnya; taragak) makan daging.”

Mendengar itu Umar berkata:

وَكُلَّمَا قَرِمْتَ إِلَى شَيْءٍ أَكَلْتَهُ، كَفَى بِالْمَرْءِ سَرَفًا أَنْ يَأْكُلَ كُلَّ مَا اشْتَهَى

“Apakah setiap ‘taragak’ sesuatu engkau langsung makan? Cukuplah menjadi sebuah saraf (berlebih-lebihan) ketika seseorang memakan semua yang ia sukai.”

Yendri Junaidi

Pengajar STIT Diniyah Putri Rahmah El Yunusiyah Padang Panjang. Pernah belajar di Al Azhar University, Cairo.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *