Islam Membolehkan Perempuan untuk Menentukan Pasangan Hidupnya Sendiri

 Islam Membolehkan Perempuan untuk Menentukan Pasangan Hidupnya Sendiri

Islam Membolehkan Perempuan untuk Menentukan Pasangan Hidupnya Sendiri (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Salah satu hasil musyawarah keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI-2) di Jepara pada tahun 2022 yang lalu adalah hukum melindungi perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan.

Setelah melalui berbagai forum, akhirnya KUPI tegas menyatakan bahwa pemaksaan perkawinan terhadap perempuan hukumnya haram.

Selain itu,  Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah juga menyampaikan bahwa Islam sama sekali tidak membenarkan pemaksaan dalam perkawinan, justru siapapun termasuk perempuan yang mengalami pemaksaan berhak untuk menolak.

Bahkan bisa saja melapor ke pihak yang berwenang, jika pernikahan tersebut tetap dilangsungkan.

Terkait dengan ini, dalam salah satu hadis Nabi sudah jelas disampaikan bahwa perempuan boleh menolak lamaran laki-laki yang tidak dia kehendaki.

Bunyi hadis tersebut ialah

“Aisyah r.a pernah menceritakan mengenai kedatangan seorang perempuan bernama Khansa binti Khidam al-Anshariyah. Ia mengatakan:Ayahku telah mengawinkan aku dengan anak saudaranya. Laki-laki itu berharap dengan mengawini aku maka kelakuan buruknya akan hilang. Aku sendiri sebenarnya tidak menyukainya.” Aisyah mengatakan: “Kamu tetap duduk di sini sambil menunggu Rasulullah Saw.” Begitu nabi datang, dia menyampaikan persoalan tadi. Nabi kemudian memanggil ayahnya, lalu memintanya agar menyerahkan persoalan perjodohan itu kepadanya (anak perempuannya itu). Si perempuan kemudian mengatakan kepada nabi: “Wahai Rasulullah, aku sebenarnya menuruti apa yang telah diperbuat ayahku. Akan tetapi aku hanya ingin memberitahukan kepada kaum perempuan bahwa sebenarnya para bapak/ayah tidak mempunyai hak atas persoalan ini.” (HR. An-Nasa’i).

Dari teks hadis ini bisa kita pahami bahwa perempuan berhak memilih pasangan hidupnya sendiri dan tidak boleh ada satu pihak pun yang memaksanya, sekalipun ayahnya sendiri.

Namun masalahnya, sampai saat ini masih banyak yang memaknai bahwa ayah atau pihak laki-laki mempunyai hak untuk memaksa perempuan untuk menikah. Hal ini didasarkan pada konsep ijbar dalam Islam.

Ijbar adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggung jawab. Dalam fiqh madzhab Syafi’i, orang yang memiliki hak ijbar atas anak perempuan adalah ayah atau, kalau tidak ada ayah, kakek/walinya.

Dalam beberapa kasus pemaksaan perkawinan, ayah yang mempunyai hak ijbar kerapkali  memaksa putrinya untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, tanpa mempertimbangkan kerelaan atau persetujuan sang anak.

Padahal KH. Husein Muhammad dalam buku Fiqh Perempuan menjelaskan bahwa makna ijbar dalam soal perkawinan ialah kekuasaan seorang ayah terhadap seorang perempuan untuk menikah dengan laki-laki pilihannya.

Bukan dengan cara memaksakan kehendaknya sendiri tetapi atas dasar tanggungjawab terhadap anak perempuan yang belum atau tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak sendiri.

Sehingga ketika sang ayah hendak mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang telah ia pilih, yang harus diperhatikan terlebih dahulu ialah kerelaan sang anak.

Sebab ijbar adalah tanggungjawab ayah terhadap anaknya untuk memastikan anak dan cucu perempuannya mengalami kehidupan yang baik, aman dan nyaman. Bukan hak untuk memaksa.

Dalam Mazhab Syafi’i juga disebutkan bahwa ada beberapa persyaratan dalam hak ijbar diantaranya ialah, tidak ada kebencian dari kedua mempelai dan tidak ada konflik atau selisih paham antara anak perempuan dengan ayahnya.

Dengan begitu, sudah sangat jelas bahwa ayah atau laki-laki mana pun tidak boleh memaksa perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dia kehendaki.

Karena hal tersebut bisa menimbulkan kebencian dan konflik atau selisih antara anak dengan ayah.

Sedangkah salah satu tujuan dari pernikahan adalah mewujudkan kehidupan yang  sakinah, mawwadah dan rahmah dan tujuan ini tidak mungkin tercapai jika salah satu pihak merasa terpaksa dan tidak ridha dengan pernikahan tersebut.

Oleh karenanya, perempuan harus diberi ruang seluas-luasnya untuk menentukan pasangan hidupnya.

Karena yang akan menjalani suka maupun duka dalam kehidupan berumah tangga bukan orangtua atau anggota keluarga yang lain, tetapi dirinya sendiri.

Sehingga hal baik dan buruknya harus benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan. []

Fitri Nurajizah

Fitri Nurajizah, biasa disapa Fitri. Saat ini bekerja sebagai staff admin media sosial mubadalah.id dan aktif di komunitas perempuan berkisah, cherbon feminist dan puan menulis. Fitri biasa mengabadikan kegiatan sehari-harinya di Instagram @fitri_nurajizah dan bisa dikontak melalui email fitrirul24@gmail.com atau 085221322714.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *