Fiqih Perbandingan Mazhab

 Fiqih Perbandingan Mazhab

Al-Karaji: Ahli Matematika dan Insinyur Hidrolik Islam Abad Ke-10 (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Terus terang kajian Fiqih Perbandingan Mazhab di negeri kita masih terbilang langka. Alih-alih didukung, saya malah banyak bertemu dengan para tokoh yang agak-agak risih mendengar istilah Fiqih Perbandingan Mazhab.

Biasanya yang mereka soroti adalah kekhawatiran kalau sampai mencampur-campur mazhab alias talfiq. Itu haram dan sesat, begitu mereka bilang.

Atau juga alasan lain yaitu sebuah peringatan yang bdersifat retoris yakni pakai satu mazhab saja belum becus, kok sudah bicara mazhab yang lain. Nanti jadi mencla-mencle lho. Awas hati-hati.

Dan masih banyak lagi yang lainnya, dimana para intinya agak-agak menyangsikan kajian Fiqih Perbandingan Mazhab. Saya harus bisa memaklumi kecenderungan satu ini.

Bukan apa-apa, kebanyakan ulama kita ini memang rata-rata belajar fiqih hanya lewat satu mazhab saja. Sedangkan mazhab yang lain, benar-benar tidak punya rujukan.

Maka kalau dengar ada Kajian Fiqih Perbandingan Mazhab, yang terpikir di kepala agak-agak kurang nyambung.

Saya memang bisa memaklumi semua kekhawatiran itu, apalagi mereka yang belajar fiqihnya hanya satu mazhab.

Terbiasa pakai satu mazhab, begitu ada mazhab lain yang berbeda, rasanya kayak tidak ikhlas dan kurang sreg.

Apalagi kalau mengajar fiqih pakai doktrin dan main paksa. Pokoknya yang benar hanya yang saya bilang, yang lain itu salah, salah, salah dan salah.

Sejak kecil belajar fiqihnya dengan gaya-gaya induksi kayak gitu, begitu sudah jadi kiyai dan punya banyak santri, memang jadi agak mbrebet kalau diskusi terkait perbandingan mazhab.

Bawaannya pengen belain mazhab sendiri sambil menuding-nuding mazhab lain.

Lahir sebagai kombatan yang siap tempur dengan pendapat yang berbeda. Itulah faktanya dan memang agak pahit rasanya.

Dan memang dulu-dulu sebelum sempat kuliah di Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab, gaya-gaya pendekatan saya pun sama juga.

Bela satu pendapat dengan semua dalil, lalu habisi semua pendapat yang tidak sejalan dengan pendapat saya. Titik.

Alhamdulilah akhirnay saya diberi kesempatan belajar Fiqih Perbandingan Mazhab secara lebih tersturktur.

Sehingga meladeni perbedaan pendapat para ulama sudah jadi makanan saya sehari-hari. Tidak perlu stress, tegang, bingung, apalagi deg-degan.

Kalau pun para ulama berbeda pendapat, memang itu kerjaan mereka sehari-hari. Perbedaan itu justru ciri khas ilmu fiqih itu sendiri.

Belajar Fiqih kok tanpa ada perbedaan, berarti itu Fiqih untuk anak-anak SD.

Lantas bagaimana dengan kekhawatiran terjebak pada talfiq atau campur aduk antar mazhab? Bukankah mereka yang belajar Perbandingan Mazhab itu kecenderungannya jadi sok main comot sana dan comot sini, lalu bikin pendapat baru alias ihdatus qaulin tsalits?

Jawabanya sederhana sekali, yaitu bahwa talfiq itu bukan sekedar haram, tetapi tidak logis.

Talfiq itu ibarat kita beli mobil dengan teknologi terbaru, tapi begitu mobilnya datang, langsung kita bongkar dan preteli satu per satu.

Hanya orang iseng kebanyaka duit dan kurang kerjaan saja yang melakukan tindakan bodoh seperti itu.

Kalau orang waras, dia beli mobil dengan harga milyaran, maka dia akan jaga dan rawat. Tidak perlu mesinnya dibongkar-bongkar dan diotak-atik.

Maka yang kerjaannya suka main talfiq itu biasanya bukan orang benar-benar cinta dan penggemar berat ilmu fiqih.

Yang suka kanibal-kanibal gitu biasanya tukang loak dan besi tua.

Maka dalam Kajian Fiqih Perbandingan Mazhab tidak pernah dikenal yang namanya talfiq alias campur-campur mazhab.

Lantas bagaimana dengan tindakan berikutnya yaitu melakukan tarjih atas salah satu pendapat?

Apakah ini juga dilakukan ketika kita melakukan Kajian Fiqh Perbandingan Mazhab?

Jawabannya lagi-lagi tidak. Karena siapapun yang belajar ilmu fiqih pasti tahu bahwa kita semua ini orang awam alias muqallid mutlak mustaqil.

Muqallid itu kalaupun ijtihadnya benar, sudah pasti salah. Apalagi ijtihadnya salah, maka lengkaplah kesesatannya.

Dan men-tarjih itu masih saudara kandung dengan itjihad, hanya boleh dilakukan oleh mujtahid betulan yang profesional dan original.

Sedangkan kita-kita ini cuma ngakunya doang jadi mujtahid, sedangkan ilmu dan kemampuannya nol besar.

Mujtahid dalam tanda petik, yaitu mujtahid KW. Kalau mau jujur dan sesuai fakta, kita ini semua hanya berhenti di level muqallid.

Tidak boleh berijtihad apalagi mentarjih. Kalau maksa, yang terjadi bukan mentarjih, tetapi asal pilih saja.

Pilihan-pilihan sesuatu selera dan kepentingan, bukan didasarkan pada kajian yang ilmiah.

Belajar Fiqih Perbandingan Mazhab yang saya alami selama kuliah S-1 di Fakultas Syariah memang unik.

Kita tidak dalam posisi sedang mengkritisi suatu pendapat. Sama sekali tidak.

Justru yang kita lakukan adalah mengagumi, memberikan apresiasi, bahkan memuji-muji setinggi langit hasil usaha dan ijtihad para ulama di masing-masing mazhab itu.

Bahkan meski suatu pendapat itu agak kurang kita sukai, namun kita tetap bersikap profesional dan proporsional.

Tidak ada hasil ijtihad para ulama itu yang kita mentahkan, apalagi kita bilang marjuh, lemah, sesat, bid’ah atau tidak sesuai sunnah. Tidak ada satu pun.

Kajian Fiqih Perbandingan Mazhab punya dasar-dasar etika yang luhur, yaitu menghargai dan memberi apresiasi yang setinggi-tingginya kepada para ulama di masing-masing mazhab.

Dan lebih dari itu, kajian ini melakukan validasi (baca : tahkik) lebih dalam kepada kitab-kitab fiqih yang muktamad di masing-masing mazhab.

Kita coba tepis hal-hal yang bersifat isu, kabar burung, bahkan hoaks terkait dengan pendapat para ulama.

Semua pendapat para ulama itu harus bersumber dari teks-teks terpercaya. Bukan sekedar  katanya dan katanya.

Sebut saja konon diisukan bahwa Mazhab Syafi’i itu rajin pakai hadits dhaif. Katakanlah qunut shubuh itu diisukan merupakan hadits dhaif.

Sehingga keluar pernyataan aneh, bahwa Mazhab Syafi’i tidak sesuai sunnah dan hanya mengamalkan hadits dha’if.

Maka kajian Fiqih Perbandingan Mazhab bertanggung-jawab untuk meluruskan statemen-stamen seperti itu.

Justru kita telaah lebih dalam ke dalam kitab-kitab Mazhab As-Syafi’i yang representatif.

Kita pelajari secara serius dalil-dalil yang digunakan mazhab itu  untuk mendapatkan dasar yang kuat pijakan mazhab itu dalam fatwa-fatwanya.

Oleh karena itu ciri khas Kajian Fiqih Perbandingan Mazhab itu tidak pernah sampai ke titik kesimpulan mana yang paling rajih.

Justru kesimpulannya adalah semua pendapat itu meski saling berbeda, tetapi semuanya rajih, kuat, sangat  bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

Kesimpulannya: Tidak ada yang salah dari masing-masing pendapat dalam mazhab Fiqih. Semuanya rajih dan semuanya benar.

Tidak perlu ada yang harus dibuang atau direndahkan apalagi dipojokkan.

Namun demikian, bukan berarti semuanya kita pakai seenaknya. Juga tidak boleh mencampur-campur keping demi keping dari tiap mazhab itu.

Disini harus hati-hati, karena banyak juga mereka yang belum matang dalam memahami Fiqih Perbandingan Mazhab malah terjebak dengan jebakan satu ini, yaitu tergoda untuk bikin mazhab baru dari hasil cocok-cokokan sesuai selera. []

Ahmad Sarwat

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *