Film Siksa Kubur dan Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah

 Film Siksa Kubur dan Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah

Film Siksa Kubur dan Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – “Pandangan terhadap suatu film akan selalu sesuai dengan pengalaman dan nilai nilai yg dianut oleh penontonnya.”

Satu kalimat yang saya pegang, sebelum akhirnya memutuskan untuk menonton film Siksa Kubur yang sedang asyik diperbincangkan banyak orang.

Film ini bercerita tentang ambisi Sita ( Diperankan oleh Widuri Puteri dan Faradina Mufti) untuk membuktikan eksistensi siksa kubur setelah kakaknya Adil (diperankan oleh Muzakki Ramadhan dan Reza Rahardian) diberi sebuah rekaman suara siksa kubur oleh seseorang yang membuat ayah ibunya meninggal.

Ambisi tersebut mengantarkan sita untuk mencari orang paling berdosa yang pernah ia temui di hidupnya dengan harapan ia bisa mengubur dirinya bersama orang tersebut untuk membuktikan apakah sosok yang hidupnya dipenuhi dengan aksi kejahatan akan begitu tenang setelah dikuburkan?

Ataukah siksa kubur untuk orang-orang kejam itu benar adanya?

Film karya Joko Anwar ini pun cukup mendominasi perbincangan dan pembicaraan banyak orang.

Beberapa ulasan yang saya temukan merujuk pada bagaimana Joko Anwar berhasil mengemas film ini tanpa kesan preaching atau menjadikan agama sebagai komoditas semata.

Ada lagi yang memberikan ulasan bahwa film Siksa kubur ini merupakan film yang kontroversial namun penting sebagai bahan renungan khazanah keislaman.

Perbincangan seputar film siksa kubur ini juga seolah menjadi bahan diskusi yang panjang, setelah saya melihat banyak sekali tanggapan orang-orang yang berusaha memecahkan isi pesan dan teori yang disajikan dalam film berdurasi kurang lebih 119 menit ini.

Alih-alih turut mencoba mendalami berbagai teori yang muncul di film ini, saya justru lebih tertarik untuk membahas sebuah dialog yang saya anggap tidak tuntas dan bahkan menimbulkan pertanyaan baru dalam salah satu scene di film tersebut.

Kehilangan kedua orang tua di waktu kecil, membuat Sita dan Adil bersekolah di sebuah pesantren gratis yang jauh dari perkotaan.

Pesantren yang pada akhirnya mempertemukan Sita dengan orang yang ia cari untuk memuaskan ambisinya mengungkap kebenaran siksa kubur, Wahyu (diperankan Slamet Rahardjo) sebagai sosok donatur pesantren yang ternyata tidak sebaik orang-orang kira.

Scene dengan latar belakang pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam ini tentu mengajarkan sita untuk percaya pada siksa kubur yang seolah sudah menjadi doktrin dari agama itu sendiri.

Namun, pernyataan pernyataan tersebut malah membuat sita semakin bertanya-tanya mengapa siksa kubur itu harus ada?

Pertanyaan itu ia sampaikan kepada sosok guru di sebuah pesantren tersebut.

Pertanyaan yang pernah terlintas dipikiran saya, yang selama ini hanya terjawab dengan hujjah dan dalil yang menguatkannya.

Namun sayangnya film tersebut hanya menampilkan scene dialog Sita dan gurunya yang menuntutnya untuk percaya tanpa menunjukkan detail dalil penunjangnya.

Percakapan yang tidak tuntas, pikir saya. Namun meski begitu, scene itulah yang mengantarkan saya untuk lebih tertarik membahas dalil dan hujjah bahwa siksa kubur adalah hal yang nyata.

Ramadhan lalu, saya berkesempatan untuk mengkaji sebuah kitab karya KH. Ali Maksum berjudul Hujjah Ahli Sunnah Wal Jamaah.

Salah satu bab dalam kitab tersebut juga mempertanyakan apakah Siksa Kubur itu benar adanya?

Argumentasi yang disampaikan KH. Ali Maksum untuk menjawab pertanyaan tersebut merujuk pada Q.S. Al-Mukmin ayat 46:

ٱلنَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدْخِلُوٓا۟ ءَالَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ ٱلْعَذَابِ

Artinya:

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (Q.S. Al-Mukmin ayat 46)

Maksud dari ditampakkan neraka pada ayat di atas adalah siksa yang akan diterima oleh seseorang.

Pada dasarnya, ayat tersebut tidak menunjukkan latar waktu kapan Fir’aun ditampakkan neraka pada pagi dan petang. Di dunia, kuburan atau akhirat?

Kalau saja latar yg dimaksud dalam ayat tersebut adalah dunia, kita tahu bahwasanya Fir’aun sebagai salah satu makhluk pembangkang di muka Bumi ini hidup dengan penuh nikmat dengan kekayaan yg ia punya. Maka penampakan neraka (siksa) tersebut jelas tidak ia dapatkan di dunia.

Jika yang dimaksud adalah akhirat, maka hal tersebut akan menimbulkan kerancuan sebab kalimat setelah ia ditampakkan neraka (siksa) pada pagi dan petang adalah “dan pada hari terjadinya Kiamat.

(Dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.”

Kalimat tersebut menunjukkan bahwa siksa yg di dapat Fir’aun adalah siksa sebelum ia masuk ke neraka yang berada pada alam akhirat, alam paling akhir yang akan kita tinggali setelah hari kiamat tiba.

Maka melalui penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Fir’aun sebagai salah satu contoh manusia pendosa di muka Bumi ini akan mendapatkan siksa setelah ia mati, di tempat dimana ia menunggu hari kiamat tiba. Siksa di dalam kuburannya.

Penjelasan mengenai hujjah adanya siksa kubur inilah yang saya anggap menjadi pelengkap percakapan yang tidak tuntas dalam salah satu film Siksa Kubur ini.

Namun yang perlu diingat bahwa Joko Anwar sudah sangat sesuai dalam mengemas alur film ini.

Bayangkan saja jika penjelasan dalil dan hujjah tersebut dimasukkan kedalam filmnya, maka yang terjadi adalah perubahan genre film yang menjadi ajang dakwah agama Islam.

Namun tidak bisa dipungkiri, film siksa kubur ini pun menjadi salah satu film yang berhasil menyampaikan pesan dakwah dalam alur cerita dan dialog dialognya.

Terlepas dari percakapan yang saya anggap tidak tuntas, Joko Anwar berhasil menciptakan sebuah dialog yang memang terdengar biasa biasa saja jika kita tidak menonton film ini dengan tuntas.

Padahal lewat kata-kata dari dialog tersebut, kita akan memahami dan mengetahui eksistensi siksa kubur tanpa harus mencari argumentasi dan bukti bukti.

Sebuah dialog yang berkata bahwa “Kuncinya adalah percaya.” Sebab agama Islam pun memiliki seni ketertiban yang mendahulukan iman (kepercayaan) sebagai pondasi, kemudian Islam sebagai bentuk kepatuhan dan ihsan sebagai tahap di mana kita ikhlas menjalankan nilai-nilai kebaikan. []

Clara Satrianti Sukma

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *