Bolehkah Zakat Fitrah di Tempat Kerja?

 Bolehkah Zakat Fitrah di Tempat Kerja?

Bolehkah Zakat Fitrah di Tempat Kerja? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Para ulama membagi kewajiban zakat menjadi dua; zakat mal (harta benda) dan zakat fitrah.

Dalam literatur-literatur fikih Syafi’iyah, zakat mal terdiri dari zakat perdagangan (tijarah), hewan ternak (mawasyi), emas dan perak (asman), buah-buahan (simar) dan pertanian (zuru’) dengan ketentuan-ketentuan diantaranya telah mencukupi nisab (standar minimum yang menyebabkan seseorang wajib mengeluarkan zakat), mencapai haul (1 tahun dalam hitungan hijriyah), dimiliki penuh oleh pemiliknya (al-milku al-tam) untuk jenis zakat tiga pertama.

Sementara untuk zakat simar dan zuru’ hanya disyaratnya telah mencukupi nisab, dan tidak disyaratkan telah mencapi haul, karena kewajiban zakatnya diberlakukan pada saat panen.

Kedua jenis zakat tersebut memiliki tujuan yang berbeda-beda. Zakat mal bertujuan mensucikan harta benda si muzakki. Sedangkan zakat fitrah bertujuan mensucikan dosa-dosa yang dikerjakan selama bulan Ramadhan.

Syarat dan Ketentuan Zakat Mal dan Zakat Fitrah

Dalam Matan Taqrib disebutkan bahwa syarat wajib zakat mal disesuaikan dengan jenisnya.

Untuk zakat asman (emas-perak) dipersyaratkan harus beragama Islam, merdeka, dimiliki secara penuh (al-milku al-tam), mencukupi nisab (85 gram emas/595 gram perak), dan telah mencapai haul.

Sedangkan zakat mawasyi (hewan ternak) selain syarat-syarat sebagaimana disebut, ditambah dengan al-saum (sepanjang tahun digembalakan di lahan umum/tidak dicarikan rumput).

Sedangkan untuk zakat zuru’ (pertanian) hanya disyaratkan mencapai nisab (jika berbentuk beras: 8 kwintal, 13,7 kg, dan jika berupa gabah: 1 ton, 6 kwintal).

Kemudian ditambah syarat lain yaitu berbentuk makanan pokok dan tanaman tersebut harus dimiliki oleh seseorang yang menanamnya.

Sementara zakatnya dikeluarkan pada saat panen. Untuk zakat simar (buah-buahan) syaratnya sama dengan zakat asman.

Sedangkan untuk zakat fitrah harus memenuhi tiga syarat, 1). Beragama Islam, 2). Muzakki masih hidup saat matahari terbenam pada hari terakhir di bulan Ramadhan, dan 3).

Ada kelebihan harta (mal) setelah digunakan untuk kebutuhan dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya pada malam hari raya dan pada saat hari raya.

Artinya, jika pada malam hari raya (malam 1 Syawal) dan pada saat hari raya (tanggal 1 Syawal), seseorang tidak memiliki kelebihan harta atau memiliki harta tetapi tidak mencukupi untuk kebutuhan dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya pada malam hari raya/pada saat hari raya, maka tidak diwajibkan baginya untuk membayar zakat.

Sebaliknya, jika seseorang memiliki kelebihan harta setelah digunakan untuk kebutuhan dirinya dan keluargnya di malam hari raya dan pada saat hari raya, meskipun setelah itu ia tidak memiliki apa-apa.

Maka dalam kondisi yang demikian, ia tetap diwajibkan mengeluarkan zakatnya. (Musthafa Bugha dan Musthafa al-Khan, Al-Fiqh al-Manhaji, Damaskus: 2022, juz 1, hlm. 137)

Apakah Zakat Fitrah Boleh di Tempat Kerja?

Zakat fitrah di tempat kerja berarti terkait dengan naqlu al-zakat (mendistribusikan zakat ke desa lain) sementara masih ada orang yang berhak menerima zakat di desanya sendiri (idza wujida al-mustahiqquna laha fi baladiha).

Mengenai hukum naqlu al-zakat, mayoritas ulama’ Syafi’iyah dan pendapat yang populer (masyhur) dalam mazhab Syafi’i menegaskan tidak bolehnya (tidak mencukupi dan tidak sah) mendistribusikan zakat ke desa lain, meskipun jarak keduanya berdekatan.

Dalam kitab Fath al-Muin dijelaskan:

وَلاَ يَجُوْزُ لِمَالِكٍ نَقْلُ الزَّكَاةِ عَنْ بَلَدِ الْمَالِ وَلَوْ إِلَى مَسَافَةٍ قَرِيْبَةٍ، وَلاَ تُجْزِئُ

Artinya:

“Tidak diperbolehkan bagi pemilik harta (muzakki) mendistribusikan zakatnya ke desa lain meskipun jaraknya berdekatan, dan bahkan tidak mencukupi (tidak sah).”

Dalam konteks yang sama, Syaikh Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaff dalam kitabnya al-Taqrirat al-Sadidat mengatakan:

لاَ يَجُوْزُ نَقْلُ الزَّكَاةِ مِنْ بَلَدِ الْمُزَكِّي إِلَى بَلَدٍ آخَرَ عَلَى الْمَشْهُوْرِ فِي الْمَذْهَبِ

Artinya:

“Tidak diperbolehkan mendistribusikan zakat dari desa muzakki ke desa lain menurut pendapat yang mayshur dalam mazhab Syafi’i.”

Namun ada sebagian kecil ulama Syafi’iyyah yang memperbolehkan adanya naqlu al-zakat, yaitu imam Ibnu Ujail al-Yamani.

Dalam al-Taqrirat al-Sadidat dijelaskan bahwa menurut Imam Ibnu Ujail ada tiga fatwa yang menyelisihi pendapat yang populer dalam mazhab Syafi’i, di antaranya adalah kebolehan memindah zakat ke desa/wilayah lain.

قَالَ الْإِمَامُ اِبْنُ عُجَيْلٍ رحمه الله : ثَلاَثُ مَسَائِلَ يُفْتَى بِهَا عَلَى غَيْرِ الْمَشْهُوْرِ فِي مَذْهَبِ الإِمَامِ الشَّافِعِي، وَهِيَ جَوَازُ صَرْفِ الزَّكَاةِ إِلَى صِنْفٍ وَاحِدٍ وَجَوَازُ دَفْعِ زَكَاةِ وَاحِدٍ لِوَاحِدٍ مِنَ الصِّنْفِ وَجَوَازُ نَقْلِ الزَّكاَةِ مِنْ مَوْضِعِهَا إِلَى بَلَدٍ أَخَرَ.

Artinya:

“Imam Ibnu Ujail berkata, “Tiga permasalahan yang difatwakan berbeda dengan pendapat yang populer dalam mazhab Syafi’i adalah:

1). Bolehnya mendistribusikan zakat untuk satu golongan penerima zakat, 2). Bolehnya memberikan zakat kepada satu orang dari satu golongan, dan 3). Bolehnya memindah zakat ke daerah lain.” (hlm. 426)

Sementara itu, Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Bugyat al-Mustarsyidin menyebut ulama lain dari mazhab Syafi’i selain Imam Ibnu Ujail, yang memperbolehkan naqlu al-zakat (memindah zakat) yaitu imam Ibnu Salah.

Pendapat ini menurutnya diikuti oleh imam al-Rauyani dan al-Khattabi. Bahkan Imam Ibnu Atiq secara tegas mengatakan kebolehan bertaqlid dengan mereka.

وَعِبَارَةُ ب الرَّاجِحُ فِى الْمَذْهَبِ عَدَمُ جَوَازِ نَقْلِ الزَّكاَتِ وَاخْتَارَ جَمْعٌ الْجَوَازَ كَابْنِ عُجَيْلٍ وَابْنِ الصَّلاَحِ وَغَيْرِهِمَا. قَالَ أَبُو مَخْرَمَةَ وَهُوَ الْمُخْتاَرُ إِذاَ كاَنَ لِنَحْوِ قَرِيْبٍ. وَاخْتَارَهُ الرَّوْياَنِى وَنَقَلَهُ الْخَطَّابِى عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَماَءِ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَتِيْق فَيَجُوْزُ تَقْلِيْدُ هَؤُلاَءِ

Artinya:

“Ungkapan Syaikh Abdullah bin Husain bahwa pendapat yang unggul dalam mazhab (Syafi’i) adalah tidak diperbolehkannya memindah zakat.

Namun ada sekelompok ulama yang memperbolehkan, diantaranya Ibnu Ujai, Ibnu Shalah dan yang lainnya.

Abu Makhramah mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipilih, jika jarak (keduanya) dekat.

Pendapat ini juga dipilih oleh al-Rauyani, dan dikutip oleh al-Khattabi dari mayoritas ulama. Oleh sebab itu, imam Ibnu Atiq mengatakan bahwa pendapat mereka (tentang kebolehan naqlu al-zakat) boleh diikuti.” (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyat al-Mustarsyidin, Beirut: Dar al-Fikir, 2022, hlm. 234)

Sayyid Abu Bakar Syataha’ juga menegaskan bahwa pendapat ulama tentang pemindahan zakat ke daerah lain boleh diikuti.

عَلِمْتُ أَنّ الْقَوْلَ بِالنَّقْلِ يُوْجَدُ فِى مَذْهَبِ الْإِمَامِ الشَّافِعِي وَيَجُوْزُ تَقْلِيْدُهُ وَالْعَمَلُ بِمُقْتَضَاهُ

Artinya:

“Saya tahu bahwa pendapat tentang pemindahan zakat ditemukan dalam mazhab Syafi’i, dan boleh mengikuti pendapat tersebut dan melaksanakan ketentuan-ketentuannya.” (Sayyid Abu Bakar Syatha, I’anat al-Thalibin, Beirut: Dar al-Fikir: 2002, juz 2, hlm. 212)

Walhasil, hukum membayar zakat fitrah di tempat kerja menurut mazhab Syafi’i terjadi perbedaan pendapat ulama.

Mayoritas ulama Syafi’iyah dan pendapat yang populer dalam amzhab Syafi’i, menyatakan bahwa zakat di tempat kerja hukumnya tidak sah meskipun jarak keduanya berdekatan.

Namun sebagain kecil ulama Syafi’iyyah, ada yang memperbolehkan zakat di tempat kerja, diantaranya adalah imam Ibnu Ujail dan Imam Ibnu Shalah.

Bahkan Syaikh Abu Bakar Syatha’ dan imam Ibnu Atiq secara tegas memperbolehkan taqlid kepada mereka. []

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *