Benarkah Wisata ke Candi Haram? Ini Penjelasan Ulama Mazhab

 Benarkah Wisata ke Candi Haram? Ini Penjelasan Ulama Mazhab

Bagaimana Hukum Berwisata Candi? (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM – Viral sebuah video jawaban seorang ustaz yang mengatakan bahwa wisata ke Candi Borobudur hukumnya adalah haram karena dianggap tasyabbuh dengan orang-orang Budha. Penyataan itu terlontar atas pertanyaan sebagian jemaah di pengajiannya, mengenai hukum mengunjungi tempat ibadah non Muslim.

Bahkan menurutnya, berkunjung ke Candi yang menjadi tempat ibadah orang kafir, sama saja setuju dengan ajaran mereka dan itu haram. Kecuali untuk satu tujuan, yaitu membubarkan orang yang sedang beribadah kepada selain Allah.

Kalimat ini sangat provokatif, rawan memecah belah, dan dapat merusak harmonisasi hubungan antar umat beragama yang selama ini dibangun.

“Idza wussidal amru ila ghairi ahlihi fantazhiris sa’ah” (jika suatu urusan diserahkan kepada seseorang yang tidak kompeten, maka tunggulah kehancuran). Begitu bunyi hadis Nabi tentang bahayanya menyerahkan atau menyampaikan sesuatu oleh orang yang tidak kompeten di bidangnya.

Para ulama yang sangat mendalam ilmunya, bertitel “Mujtahid Muthlaq”, dan pendiri mazhab fikih, tak pernah merasa gengsi untuk mengatakan “Saya tidak tahu”. Jika mereka memang benar-benar tidak tahu persoalan itu.

Jangan Malu Mengaku Tidak Tahu

Imam Malik, guru dari imam al-Syafi’i pernah didatangi oleh seorang utusan dari Maroko dengan membawa 40 pertanyaan. Namun dari empat puluh pertanyaan tersebut, imam Malik hanya menjawab delapan pertanyaan.

Betapa kecewanya utusan itu karena orang yang dianggpanya sangat alim itu tidak menuntaskan 40 pertanyaan yang dibawanya. Ia lantas berujar, “Apa yang harus aku katakan kepada kaumku?” Kata imam Malik, “Katakan kepada mereka kalau Malik tidak tahu.”

Di kesempatan yang lain, imam Malik mengatakan, “Benteng seorang Muslim adalah perkataan ‘Aku tidak tau”. Jika ia meninggalkan perkataan tersebut, maka ceramah-ceramahnya akan menjadi musibah.”

Diam atau mengatakan “Aku tidak tahu” sebagaimana yang telah dicontohkan imam Malik merupakan pelajaran berharga bagi kita. Agar kita tidak mengatakan sesuatu yang tidak kita ketahui.

Toleran Terhadap Perbedaan

Toleransi antar umat beragama di Indonesia yang selama ini telah dibangun bersama bisa hancur dalam sekejap hanya karena pernyataan orang atau kelompok tertentu yang menyampaikan agama secara tekstualis saja. Sebagai orang yang bijak, persoalan khilafiyah-furu’iyyah seperti wisata ke candi ‘dianggap haram’ ini seharusnya dimaknai sebagai bentuk rahmat Allah kepada manusia.

Jangan lantas memanfaatkan perbedaan tersebut dengan cara mengambil satu pendapat tertentu. Kemudian menyabotase pendapat yang lain hanya untuk melegitimasi kebenaran mazhab atau alirannya.

Di antara persoalan khilafiyah-furu’iyyah itu adalah hukum orang Islam masuk ke dalam rumah ibadah orang non muslim seperti gereja, vihara, Sinagoge, candi atau yang lainnya.

Jika ada yang berpendapat bahwa mengunjungi atau memasuki rumah-rumah ibadah atau tempat-tempat wisata milik kaum non Muslim itu haram. Dengan dalih kisah Sayyidina Umar yang menolak ketika dijamu oleh beberapa orang Nashrani di dalam Gereja.

Lalu ia memerintahkan Sayyidina Ali untuk menghadirinya, maka pendapat tersebut perlu dikaji ulang.

Kisah penolakan Umar tersebut diantaranya dapat dibaca dalam kitab kitab al-Mughni karya Imam Ibnu Quddamah atau I’lam al-Sunan karya Ahmad al-Usmani al-Tahwani. Penolakan Umar masuk ke dalam Gereja adalah karena adanya kekhawatiran jejaknya akan diikuti oleh orang-orang Islam.

Kalau saja ia menerima jamuan orang-orang Nashrani tersebut karena posisinya saat itu adalah sebagai khalifah. Sebagaimana yang pernah ia lakukan pada saat penaklukan Yerussalem. (Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, juz 2, hlm. 225)

Oleh karena itu, untuk menghindari kekhawatiran-kekhawatiran tersebut, ia lantas mengutus Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat untuk menghadiri undangan di Gereja.

Masuk Rumah Ibadah Non-Muslim Menurut Empat Mazhab 

Mari kita simak dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah bagaimana ulama mendiskusikan persoalan khilafiyah ini. Menurut ulama Hanafiyyah, hukum memasuki Sinagoge dan Gereja bagi orang Islam adalah makruh karena tempat-tempat tersebut adalah pusat berkumpulnya para setan.

Sementara itu dalam mazhab Syafi’i, terjadi perbedaan pendapat ulama. Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang Islam boleh masuk ke dalam Geraja, jika mendapat izin dari mereka (kaum Nashrani).

Jika tidak mendapat izin, maka hukum memasukinya adalah haram. Sedangkan menurut sebagian ulama Syafi’iyyah yang lain, hukum memasuki gereja adalah boleh, meski tanpa melalui izin dari mereka.

Adapun menurut pendapat mazhab Hanbali, masuk ke dalam Sinagoge, Gereja dan tempat-tempat ibadah agama lain seperti Candi, termasuk salat di dalamnya adalah boleh. Namun imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa hukum memasuki Gereja bagi orang Islam adalah makruh, jika di dalam tempat-tempat ibadah tersebut terdapat gambar (salib dan sejenisnya).

Sebaliknya, jika tidak ada gambar/lukisan, maka boleh seorang muslim masuk dan salat di dalam Sinagoge dan Gereja. Demikian pendapat Ibnu Tamim.

Kemudian Ibnu Abbas dan imam Malik juga berpendapat bahwa kemakruhan masuk ke dalam Gereja dikarenakan adanya gambar/lukisan. Jika tidak tidak terdapat gambar/lukisan, maka dibolehkan.

Imam Ibnu Taimiyyah

Menurut Ibnu Taimiyyah, hukum memasuki Gereja, termasuk salat di dalamnya – sebagaimana diikuti oleh Ashabu Ahmad – adalah makruh. Jika di dalam Gereja tersebu terdapat gambar/lukisan. Ia mengatakan:

وَالْمَذْهَبُ الَّذِي عَلَيْهِ عَامَّةُ الأَصْحَابِ كَرَاهَةُ دُخُوْلِ الْكَنِيْسَةِ الْمُصَوَّرَةِ، فَالصَّلاَةُ فِيْهَا وَفِي كُلِّ مَكَانٍ فِيْهِ تَصَاوِيْرُ أَشَدُّ كَرَاهَةً. وَهذَا هُوَ الصَّواَبُ الَّذيِ لاَ رَيْبَ فِيْهِ وَلاَ شَكَّ

Menurut pendapat yang dipegangi oleh mayoritas Ashabu Ahmad bin Hanbal adalah makruhnya memasuki Gereja yang terdapat gambar/lukisan di dalamnya. Adapun salat di Gereja dan tempat-tempat lain yang di dalamnya terdapat lukisan hukumnya adalah sangat makruh. Pendapat inilah yang benar dan tidak ada keraguan di dalamnya. (Ibnu Taimiyah, al-Fatawa al-Kubra, juz 5, hlm. 327)

Walhasil, dengan melihat perbedaan-perbedaan diskusi ulama tentang hukum memasuki tempat-tempat ibadah orang non Muslim di atas. Seseorang harusnya lebih bijak untuk menyampaikan persoalan-persoalan agama yang sifatnya khilafiyyah-furu’iyyah.

Semestinya tidak asal memvonis haram berwisata ke candi. Apalagi menyampaikan hal-hal tentang agama yang sensitif tanpa mengetahu illat-nya.

Abdul Wadud Kasful Humam

Dosen di STAI Al-Anwar Sarang-Rembang

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *