Ngobrolin Gus Dur, Antara Humor dan Humanisme

 Ngobrolin Gus Dur, Antara Humor dan Humanisme

Pesan Gus Dur: Agama Jangan Dijadikan Peran Pendukung, Tapi Harus Jadi Peran Utama (Ilustrasi/Istimewa)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab disapa Gus Dur pernah mengatakan bahwa “semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya.”

Sekilas kata-kata Gus Dur tersebut terlihat sederhana, tapi kalau kita tarik dengan realita yang terjadi di masa kini, kata-kata tersebut memiliki makna yang komprehensif.

Apa yang sering orang sebut sebagai krisis moralitas merupakan sebuah fenomena yang timbul akibat disrupsi peradaban yang menuntut semua orang aktif dan terlibat dalam dinamika media sosial.

Beberapa oknum masyarakat sangat mudah menghakimi satu sama lain hanya bermodalkan komentar di laman media sosial.

Oknum birokrasi mulai abai terhadap kemaslahatan masyarakatnya, oknum pelaku bisnis melakukan kecurangan dalam perniagaan serta kridibelitas dunia akademik mulai dipengaruhi oleh kepentingan-kepertingan tertentu yang cenderung mengarah pada merugikan kelompok mustad’afin.

Tidak hanya itu, beberapa oknum tokoh agama juga memiliki kecenderungan melakukan penyelewangan berkedok dakwah agama yang sangat merugikan masyarakat.

Hal-hal negatif tersebut seringkali tertutupi oleh sikap apatis serta minimnya kepekaan terhadap sesama akibat kecenderungan yang ditimbulkan akibat media sosial.

Jika kita membayangkan jikalau saat ini Gus Dur masih hidup, apa tanggapannya terhadap situasi yang penuh anomali seperti sekarang ini?

Mungkin saja Gus Dur akan aktif bersama komunitas stand up komedi Indonesia yang sekarang menjadi salah satu arena paling bebas dalam menyuarakan pendapat.

Atau mungkin Gus Dur akan melanjutkan perjuangannya pasca dilengserkan dari kursi RI 1 yang lebih aktif memperjuangkan kemaslahatan bangsa dari kalangan-kalangan kelas menegah kebawah.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut muncul bersama ciri khas “gitu aja kok repot” yang sangat ikonik dengan sosok Gus Dur.

Tapi yang pasti, seperti kata kebanyakan orang bahwa Gus Dur adalah sosok seorang tokoh bangsa yang mampu melampaui zamannya.

Pemikiran-pemikiran yang Gus Dur wariskan untuk generasi saat ini nyatanya telah dirumuskan bahkan sebelum bergulirnya era reformasi seperti sekarang ini.

Bagi Gus Dur, antara fiqh dan akhlaq bukanlah sekedar pondasi teologis dalam koridor keagamaan semata, melainkan dalam koridor sosial kebangsaan.

Gus Dur mengakomodir pemikiran humanismenya dalam kaidah tasharraful imam ‘ala ra’iyah manuthun bil maslahah (kebijaksanaan seorang pemimpin harus berkaitan dengan kemasalahatan rakyat).

Dalam kacamata sederhana, kebijakan yang diterapkan oleh birokrasi harus berlandaskan pada kebutuhan rakyat kecil.

Gus Dur juga memberikan kritik tajam terhadap teori-teori sosial modern yang mengabaikan tradisi kultural dalam kerangka penerapannya.

Bagi Gus Dur, pendekatan sosial harus berkaitan langsung dengan objek sosial yang dituju.

Gus Dur mengatakan bahwa “memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.”

Kalimat tersebut terkoneksi langsung dengan hakikat manusia yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai khalifah fil ‘ard.

Maka dari itu, prinsip dasar humanism tidak akan pernah bertentangan dengan ketuhanan, melaikan humanism merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang telah Allah perintahkan.

Hal ini terlihat jelas dengan bagaimana Gus Dur mengatasi konflik-konflik horizontal tidak hanya di Indonesia, melaikan di negara lain.

Contoh sederhanaya adalah bagaimana Gus Dur mengatasi krisis yang terjadi di Papua, Ambon dan wilayah-wilayah lain.

Ketika diundang oleh Raja Faisal dari Arab Saudi, Gus Dur berhasil membuat Raja Arab tertawa dan Bahagia sehingga mendapat pujian dari rakyat Arab Saudi sendiri.

Teladan inilah yang patut kita pelajari dan sedikit demi sedikit kita praktekkan paling tidak di  kalangan terdekat kita.

Dan menggunakan humor sebagai media penyampaian aspirasi, berdakwah dengan santun atau sekedar mencairkan suasana menjadi sebuah konsepsi besar agar kedamaian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat terwujudkan secara paripurna. []

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *