Potret Awal Islamisasi di Bima
HIDAYATUNA.COM – Di banyak literatur kita menjumpai sekian narasi tentang masuknya Islam di negeri ini. Secara garis besar, narasi tersebut melulu memuat strategi yang digunakan oleh kalangan muslim tempo dulu dalam menebar ajaran Islam. Perdagangan, perkawinan, mengakomodasi kultur setempat, membuat pemukiman di pesisir, sampai pada peperangan adalah strategi-strategi yang dimaksud.
Strategi yang sama juga berlaku saat ajaran Islam mulai merangsek ke wilayah timur di negeri ini, salah satunya Bima. Sebuah kota yang kini dikenal dengan dominasi umat muslim hampir di segala lini kehidupan.
Kendati demikian, hanya ada sedikit literatur yang membahas tentang kedatangan ajaran Islam di kota Bima ini. Kekurangan sumber literatur membuat kita mesti telaten memasang dan memila puzle kejadian dengan ketat, dari sekian literatur babon yang ditulis oleh orientalis atau cendekia muslim generasi awal di negeri ini.
Helius Syamsuddin dalam artikelnya The Coming of Islam and The Role of The Malays as Middelman on Bima (1980) berpendapat bahwa, kemunculan Islam di Bima dan sekitarnya bebarengan dengan kejayaan Malaka. Pada tahun 1511, Malaka memang menjadi pelabuhan besar yang jadi tujuan untuk berdagang, selain juga untuk menyebarkan ajaran Islam.
Sementara itu, Tome Pires dalam dalam karya monumentalnya, Suma Oriental mencatat tentang pelayaran yang dilakukan oleh banyak saudagar Malaka ke Maluku yang melewati pelabuhan besar di Jawa dan Bima. Di Bima, beberapa saudagar muslim ada yang singgah dan menetap. Mereka yang menetap kemungkinan menjadi cikal bakal meluasnya ajaran Islam di Bima dan wilayah sekitarnya.
Penyebaran ini didukung dengan banyaknya temuan inkripsi pada makam-makam tua yang ada di Bima dan sekitarnya. Inkripsi tersebut banyak yang menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu. Hal ini semakin menguatkan pendapat terkait jejaring ulama dan tranmisi keilmuan antara Malaka, Jawa, dan Bima dalam konteks keberislaman di masa lalu.
Pendapat lain ditulis oleh H. J. de Graaf melalui karyanya Lombok in de 17e Eeuw (1941) tentang awal Islamisasi di Bima. Ia menyandarkan pendapatnya dari sumber lokal, Babad Lombok.
Di dalam babad tersebut memuat cerita tentang figur yang membawa ajaran Islam dari Jawa, Sunan Prapen dari Giri, Gresik. Sunan Prapen merupakan ulama kenamaan di Jawa pada masa itu. Ia melakukan perjalanan ke timur dan berhasil mengislamkan Pulau Lombok. Setelah itu ia tidak kembali ke Jawa, tetapi meneruskan perjalanannya ke timur: Sumbawa, Bima, dan sekitarnya.
Jika mengacu pada sumber lokal di Babad Lombok ini, kita dapat menduga islamisasi di Bima terjadi di masa agak awal. Sebab peristiwa ini terjadi antara 1506-1546 ketika masa pemerintahan Sunan Dalem di Giri.
Dari narasi ini kita dapat menduga bahwa Malaka dan Jawa, terutama Gresik menjadi asal kedatangan Islam di Bima. Bahkan hari ini di sebelah barat dan timur pelabuhan Bima terdapat pemukiman orang-orang Melayu, kampo Melayu. Penduduk di sana disebut dau Melayu.
Kampo Melayu menjadi pusat belajar Islam, terutama belajar mengaji kitab suci Al-Qur’an. Penduduknya, dau Melayu tidak hanya dikenal menguasi ajaran Islam saja, tetapi mereka juga piawai berdagang dan menjadi perantara pertemuan dua kultur, antara Melayu dan kultur setempat. Bahkan dalam riwayatnya, mereka juga yang menjembatani komunikasi antara kelompok etnik, kolonial, dan orang-orang yang baru datang ke wilayah tersebut.
Maka wajar bila di masa itu, sultan memberi tanah lantas membebaskan pajak untuk orang-orang muslim Melayu-Jawa yang mau menetap di sana. sampai-sampai dibuat aturan bahwa nantinya, baik keturunan sultan maupun masyarakat setempat tidak diperkenankan untuk mengambil tanah tersebut.
Saya rasa perjalanan panjang ajaran Islam di Bima ini masih dapat terus berkembang seiring dengan temuan-temuan baru. Temuan yang mungkin mengafirmasi narasi historis lama, atau malah menegasi lantas merekonstruksi perjalanan Islam di Bima dan sekitarnya.