Mengenal I’jaz Falsafi Dalam Al-Qur’an
HIDAYATUNA.COM, Jakarta – Selain kemukjizatan i’jaz ‘ilmi (kemukjizatan ilmiah), Al-Qur’an juga disebut mengandung i’jaz falsafi. Kemukjizatan Al-Qur’an jenis ini secara teori menurut cendikiawan muda Nahdlatul Ulama (NU) Muhammad Al-Fayyadl masih belum banyak kenal.
Lantas apa yang disebut dengan i’jaz falsafi? Al-Fayyadl menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan i’jaz falsafi adalah kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi filosofis.
“Kita dapat menyebutnya “i’jaz falsafi”,” kata Muhammad Al-Fayyadl dilansir Hidayatuna.com dari laman Facebook pribadinya, Selasa (21/7/2020).
Al-Fayyadl menjelaskan kemukjizatan ini kurang lebih dapat dipahami sebagai keunggulan Al-Qur’an sebagai suatu keterangan (bayan) yang memuat petunjuk-petunjuk akan suatu corak berpikir tertentu yang mampu mengoreksi atau mengatasi keterbatasan sistem-sistem filsafat yang pernah berkembang atau akan berkembang dalam peradaban manusia, dari dulu hingga nanti. Juga mengantisipasinya.
“Sejauh ini, belum pernah dikenal teori tentang kemukjizatan filosofis ini,” sambungnya.
Mengapa bisa demikian? Menurut Al-Fayyadl ada dua kemungkinan. Pertama, karena rasa canggung para filsuf membaca Al-Qur’an secara sistematik, karena dikhawatirkan menyalahi kaidah tafsir yang baku.
“Selain terkadang karena “gengsi” pribadi para filsuf jika mengutip Al-Qur’an pemikirannya tampak tidak orisinal, atau dicap “tekstualis”,” ucapnya.
Kedua, karena filsafat barang asing bagi umat Islam yang masih dipandang dengan curiga, alih-alih lapang dada. Seringkali tuduhan “liberal” akan datang ketika hal-hal berbau filsafat diterapkan kepada Al-Qur’an.
“Maksud lebih tepatnya, bukan menafsirkan Al-Qur’an dengan filsafat tertentu, atau mengekstrapolasi pandangan filosofis tertentu untuk kemudian diterapkan begitu saja kepada Al-Qur’an,” ujarnya.
Dalam hal ini, maksudnya adalah menggali “sistem filsafat” di dalam Al-Qur’an sedemikian rupa secara mendalam, koheren, sesetia mungkin kepada ilmu-ilmu tradisional Al-Qur’an (‘Ulum Al-Qur’an) sebagai perangkat awalnya.
“Juga mengacu kepada tafsiran berbagai mufassir dari berbagai masa, untuk kemudian menunjukkan “rangka tubuh” bangunan argumen Al-Qur’an secara filosofis, baik secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis, sedemikian rupa dan melakukan penghadap-hadapan serta dialog yang intens antara Al-Qur’an dan filsafat-filsafat Timur maupun Barat, yang pernah ada,” jelasnya.