Nasehat Sufi Ibrahim bin Adham kepada Ahli Maksiat

 Nasehat Sufi Ibrahim bin Adham kepada Ahli Maksiat

Nasehat Sufi Ibrahim bin Adham kepada Ahli Maksiat (Ilustrasi/Hidayatuna)

HIDAYATUNA.COM, Yogyakarta – Di sebuah kota seorang laki-laki muda yang gemar berbuat kemaksiatan. Ia adalah ahli maksiat yang sering mencuri, selalu menipu, dan tak pernah bosan berzina.

Pada suatu ketika, orang itu mengunjungi Ibrahim bin Adham, seorang Guru Sufi di kota itu. Ia mengadukan permasalahan dalam dirinya kepada Ibrahim bin Adham.

“Wahai Tuan Guru,” kata ahli maksiat. “Aku seorang pendosa yang rasanya tak mungkin bisa keluar dari kubangan maksiat. Tapi, tolong ajari aku seandainya ada cara untuk menghentikan semua perbuatan tercela ini!”

“Jika engkau bisa selalu berpegang pada lima prinsip ini,” Ibrahim bin Adham.

“Niscaya engkau akan terjauhkan dari segala perbuatan dosa dan maksiat.”

“Wahai Tuan Guru,” kata ahli maksiat itu. “Apa sajakah perkara-perkara itu?”

“Pertama, jika engkau akan berbuat dosa dan maksiat, maka usahakanlah agar Allah subhanahu wa ta’ala jangan sampai melihat perbuatanmu itu,” kata Ibrahim bin Adham dengan penuh ketegasan.

Orang itu terperangah dengan prinsip yang dijelaskan oleh Ibrahim bin Adham.

“Bagaimana mungkin, Tuan guru,” kata ahli maksiat.

“Bukankah Allah selalu melihat apa saja yang diperbuat oleh makhluk-Nya? Allah subhanahu wa ta’ala pasti tahu walaupun perbuatan itu dilakukan dalam kesendirian, di kamar yang gelap, bahkan di lubang semut sekalipun!”

“Wahai anak muda,” kata Ibrahim bin Adham.

“Jika yang melihat perbuatan dosa dan maksiatmu itu adalah tetanggamu, kawan dekatmu, atau orang yang engkau hormati, apakah kamu akan meneruskan perbuatanmu? Lalu mengapa terhadap Allah engkau tidak malu, sementara Dia melihat apa yang engkau perbuat?” Ahli maksiat itu tertunduk.

“Baiklah, Tuan Guru,” kata Ahli Maksiat. “Izinkanlah aku mendengar prinsip yang kedua.”

“Kedua, jika engkau akan berbuat dosa dan maksiat, maka jangan pernah lagi engkau makan rezeki Allah,” kata Ibrahim bin Adham.

Ahli maksiat itu semakin terkejut! Menyesali kemaksiatan yang pernah ia lakukan.

“Bagaimana mungkin, Tuan guru,” kata Ahli Maksiat itu.

“Bukankah semua rezeki yang ada di sekeliling manusia adalah dari Allah semata? Bahkan, air liur yang ada di mulut dan tenggorokanku adalah dari Allah juga.”

“Wahai anak muda,” kata Ibrahim bin Adham.

“Masih pantaskah kita makan rezeki Allah sementara setiap saat kita melanggar perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya? Kalau engkau menumpang makan kepada seseorang, sementara setiap saat engkau selalu mengecewakannya dan dia melihat perbuatanmu, masihkah engkau punya muka untuk terus makan darinya?”

“Tentu saja aku malu sekali, Tuan Guru!” kata ahli maksiat itu.

“Ketiga, “kata Ibrahim bin Adham melanjutkan. Jika engkau akan berbuat dosa dan maksiat, janganlah engkau tinggal lagi di bumi Allah subhanahu wa ta’ala.”

Ahli maksiat itu tersentak!

“Bukankah semua tempat ini adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala, Tuan guru?” katanya seakan tidak percaya.

“Bahkan, segenap planet, bintang dan langit adalah miliknya juga?”

Ya, begitulah,” kata Ibrahim bin Adham.

“Engkau bertamu ke rumah seseorang dan numpang makan dari semua miliknya. Akankah engkau cukup tebal muka untuk melecehkan aturan-aturan tuan rumah itu sementara ia selalu tahu dan melihat apa yang engkau lakukan di rumah- nya?”

Ahli maksiat itu terdiam. Air matanya mulai menetes perlahan dari kelopak matanya yang sembab.

“Aku lanjutkan yang keempat,” kata Ibrahim bin Adham.

“Jika engkau akan berbuat dosa dan maksiat dan suatu saat malaikat maut datang untuk mencabut nyawamu sebelum engkau bertobat, tolaklah ia dan janganlah mau nyawamu dicabut!”

“Bagaimana mungkin, Tuan Guru?” kata Ahli maksiat itu semakin tidak percaya dengan apa yang disampaikan Ibrahim bin Adham.

“Bukankah tak seorang pun mampu menolak datangnya malaikat maut?”

“Benar,” kata Ibrahim bin Adham.

“Jika engkau tahu begitu, mengapa masih berbuat dosa dan maksiat? Tidakkah terpikir olehmu, jika suatu saat malaikat maut itu datang justru ketika engkau sedang mencuri, menipu, berzina dan melakukan dosa lainnya?”

Air mata Ahli maksiat itu menetes semakin deras dari kelopak matanya. Ia hanya terdiam dalam tangisannya yang semakin pilu.

“Apakah engkau masih sanggup mendengar prinsip yang kelima?” tanya Ibrahim bin Adham.

“Aku masih ingin mendengarkan nasihatmu, wahai Tuan Guru,” kata ahli maksiat itu memohon.

“Baiklah,” kata Ibrahim bin Adham.

“Yang kelima, jika engkau akan berbuat dosa dan mati dalam keadaan melakukan dosa, maka janganlah mau jika Malaikat Malik akan memasukkanmu ke dalam neraka. Minta- lah kepadanya kesempatan bidup sekali lagi agar engkau bisa bertobat dan menambal dosa-dosamu itu!”

Ahli Maksiat itu pun menangis semakin keras. “Ob, Tuan Guru,” kata ahli maksiat itu dengan sesenggukan.

“Bagaimana mungkin aku bisa minta kesempatan hidup lagi, Tuan Guru? Bukankah hidup hanya sekali?”

“Ya, kau benar,” kata Ibrahim bin Adham.

“Hidup itu hanya sekali. Kita tidak pernah tahu kapan maut akan menjemput kita. Sementara itu, semua yang telah kita perbuat pasti akan kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Apakah kita masih akan menyia-nyiakan hidup ini banya untuk menumpuk dosa dan maksiat?”

Laki-laki ahli maksiat itu langsung tersungkur badannya. Ia menangis tiada henti.

Dalam tangisan itu, ia masih sempat meminta pertolongan kepada Ibrahim bin Adham agar dibantu pertobatannya. Ibrahim bin Adham berjanji akan membantunya.

Sejak saat itu, orang- orang mengenal ahli maksiat itu sebagai seorang ahli ibadah yang jauh dari perbuatan-perbuatan tercela. []

[]

Muhammad Ahsan Rasyid

Muhammad Ahsan Rasyid, magister BSA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang juga aktif di berbagai organisasi dan kegiatan sukarelawan. Tinggal di Yogyakarta, dapat disapa melalui Email: rasyid.ahsan.ra@gmail.com.

Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *